pembuka profil penelitian&publikasi kuliah kontemplasi
30 Mar 2008
Home
Yoggyakarta, by KLa


...baca selengkapnya
28 Mar 2008
Dakwah dan Politik
[Catatan: Ini cuma cerita khayalan. Nama orang dalam cerita cuma rekaan. Kalau ada yang mirip dengan nama di dunia nyata, ya anggap saja rejeki.]

Ihsan sudah lama gelisah. Hatinya bimbang. Kamar tidurnya belakangan kian terasa sempit dan pengab. Padahal udara sih nyaman-nyaman saja. Ini sudah bulan Nopember 1954, dan hujan sudah sejak dua bulan lalu turun. Memang, udara malam kadang terasa agak lebih hangat dibandingkan bulan-bulan lalu. Tapi sebenarnya hujan telah membuat udara terasa bersih. Harusnya Ihsan bisa tidur lebih nyaman. Tapi nyatanya tidak.

Ihsan gelisah bukan karena apa-apa. Ia bingung mau ikut ajakan siapa. Tahun depan, beberapa bulan lagi, akan ada pemilu. Sebagai orang yang sudah memenuhi syarat, Ihsan akan ikut nyoblos. Ia yakin bahwa nyoblos dalam pemilu ini penting sebab ia ingin turut menentukan siapa pemimpinnya. Namanya juga santri, urusan nyoblos dalam pemilu ia nanya kiai. Kalau urusan nyoblos yang lain-lain bisa saja tidak pakai nanya-nanya kiai. Tapi untuk nyoblos yang ini, mending nanya-nanya dulu. Nah ini dia. Gara-gara itu, mahasiswa tingkat dua di sebuah fakultas kedokteran ini jadi bingung. Dua kiai yang ia tanya memberi jawaban beda-beda. Kiai Umar di pesantren Al-Huda bilang, Ihsan sebaiknya pilih Masyumx, karena partai ini adalah wadah bersama ummat Islam Indonesia yang paling tepat untuk jadi wasilah politik. Tapi Kiai Ali di pesantren An-Nur lain lagi. Beliau nyuruh Ihsan nyoblos partai NX saja. Partai yang baru misah dari Masyumx dua tahun lalu ini, kata Kiai Ali, adalah satu-satunya wadah bagi para ahlussunnah wal-jamaah seperti kita.

Ihsan jadi puyeng. Dua Kiai ini, dua-duanya ia jadikan panutan, kok tumben ngasih nasehat beda-beda. Biasanya nasehat mereka selalu sama. Ya kalaupun ada beda, biasanya cuma beda-beda tipis. Lha ini, urusan nyoblos pemilu kok bedanya jadi rada tebel? Satu nyuruh nyoblos Masyumx, satunya nyuruh milih NX. Bukan cuma pada Ihsan mereka berkata begitu. Dalam tausiyah umum pada masyarakat pun mereka kadang selilpkan pesan seperti itu. Jadi mau ikut yang mana ini?

Ya, ya, ya… Ihsan tahu, Kiai Umar akan nyalon jadi anggota lembaga nasional di Jakarta sana dari Masyumx, sedang Kiai Ali bakal nyalon dari NX. Entah mereka akan nyalon untuk Konstituante atau untuk DPR, Ihsan tak tahu persis. Yang sudah terbayang adalah kebingungan: nyoblos partainya Kiai Umar apa partainya Kiai Ali. Ia harus pilih salah satu. Pilih dua-duanya tidak sah (kecuali kalau beliau-beliau itu nyalon untuk dua lembaga yang beda). Tapi kalau tidak pilih keduanya, gak bisa juga. Ia ingin nyoblos, sebab ini bakalan jadi pengalaman pertama ada pemilu di negeri yang baru beberapa tahun lalu merdeka ini. Apa ia mau pilih PNX? Ah, partai sekuler. Kaum santri masak mau nyoblos partainya orang abangan. Kalla! Atau sekalian saja nyoblos PKX, partainya orang-orang komunis itu? Ah, amit-amit. Na’udzubillaahi min dzaalik.

Dalam gundah, akhirnya Ihsan memutuskan untuk melakukan salat istikharah. Ia ingin memohon petunjuk Sang Kuasa agar dapat menentukan pilihan secara lebih mudah. Malam itu ia berwudlu lalu siap-siap untuk salat.

Tapi ketika hendak mulai salat istikharah, Ihsan tercenung. Lah, masak salat istikharah menanyakan hal yang terlalu sederhana, cuma urusan nyoblos. Kenapa tidak sekalian bertanya sesuatu yang lebih besar, yang lebih substansial?

Betul juga. Tapi apa yang lebih substansial itu?

Lama Ihsan duduk diam berpikir di atas sajadah-nya. Aroma parfum Hadjar Aswad oleh-oleh Kiai Ali dari tanah suci yang ia usapkan di sajadah tercium samar-samar. Tasbih cendana pemberian Kiai Umar dalam genggamannya meruapkan wewangian lain. Keduanya menemaninya berpikir beberapa lama. Ditimbangnya banyak hal, hingga akhirnya ia bisa menemukan pertanyaan yang tepat. Ah, ternyata mau bertanya saja sulit, apalagi mau menjawab.

Tapi kini Ihsan mantap, dalam salat istikharah ia akan mencari jawaban untuk pertanyaan ini: bisakah politik dan dakwah dituang bersama dalam satu gelas? Ia tahu bahwa Islam adalah kaffah. Ia paham bahwa dakwah dan politik tak bisa dipilih salah satu atau dibuang salah satu. Masalahnya, bisakah keduanya diminum bersamaan dari satu gelas yang sama? Yak, itulah pertanyaannya.

Maka berdirilah ia. “Allahu Akbar…,” ucapnya, dan dimulailah usahanya untuk mencoba melakukan dialog personal dengan Sang Maha Pembimbing.

Usai salat, separuh beban rasanya telah sirna. Maka tidurlah Ihsan malam itu dengan nyenyak, hingga suara tarhim pagi itu membangunkannya. Bergegas ia wudlu dan pergi ke masjid sebelah untuk salat subuh berjamaah. Hari pun berjalan dalam rutinitas biasa.

Ketika malam tiba, Ihsan mulai gelisah lagi. Mengapa belum ada tanda-tanda jawaban akan pertanyaannya dalam salat istikharah semalam? Mengapa belum ada ilham sama sekali dalam seharian ini untuk dijadikannya sebagai rujukan jawaban? Tilawah Qur’an hari ini juga tak secara khusus bisa ditafsirkannya sebagai jawaban terhadap pertanyaan itu.

“Mungkin harus salat lagi,” batin Ihsan.

Malam itupun ia mengulangi istikharahnya, masih dengan pertanyaan yang sama. Dan malam itupun ia tidur lagi dengan harapan yang sama. Tapi hari esoknya berjalan tetap dalam kekosongan jawaban yang sama. Hari ketiga juga begitu. Esoknya lagi tetap sama. Lusanya juga… dan tak terasa sudah sepuluh malam Ihsan ber-istikharah tanpa menemukan sedikitpun petunjuk yang menenangkan hati.

Malam kesebelas Ihsan salat istikharah lagi dengan keyakinan bahwa jika kali ini tetap belum ada hasil, barangkali memang pertanyaan ini terlalu remeh untuk ditanyakan dalam salat. Atau barangkali jawabannya telah sangat jelas. Entahlah. Dalam gamang yang sempurna, Ihsan ber-takbiratul ihram.

Rampung salat ia tidur dalam kegundahan seperti sebelum salat istikharah di malam pertama. Semua terasa begitu tak jelas. Ia siap-siap kalau tidurnya akan gelisah. Apalagi hujan malam itu deras sekali. Mudah-mudahan tak ada petir yang bisa merusak tidur.

Tapi justru inilah saat. Malam inilah saat datangnya sebuah ilham dalam mimpi yang sama sekali tak diharapkannya. Mimpi itu, rasanya agak janggal. Dalam mimpi itu ia merasa sedang berdiri di atas mimbar sebuah masjid yang sangat indah. Dari atas mimbar itu ia memberikan tausiyah pada jamaah yang tekun mendengarkannya.

“Amma ba’du…,” Ihsan mulai berbicara usai membuka khutbah. “Jamaah rahimakumullah. Politik dan dakwah adalah nafas dan darah bagi ummat Islam.”

Dalam mimpi Ihsan berdeham sedikit, membersihkan tenggorokan. “Tanpa dakwah, kita ini ibarat raga tanpa darah. Tanpa politik, kita ini ibarat makhluk hidup tapi tak bisa bernafas.”

Hadirin manggut-manggut tanda setuju.

Ihsan melanjutkan: “Tanpa dakwah dan tanpa politik, kita sebagai ummat akan ‘laa yamuutu fiiha wa laa yahya‘. Maka kita harus menyeimbangkan kedua-duanya.”

Hadirin makin manggut-manggut. Dan Ihsan dalam mimpi pun kian bersemangat.

“Tapi — ya, tetapi hadirin yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, darah dan nafas itu tak pernah tercampur mentah-mentah dalam raga kita. Memang kedua-duanya nanti akan berujung pada niatan besar yang sama, tapi prosesnya terpisah. Kedua-duanya dianugerahi Allah organ yang berbeda kendati letaknya berdekatan. Kita bernafas dengan paru-paru, dan darah kita diatur oleh jantung.” Ah, iya. Dalam tidurpun si mahasiswa fakultas kedokteran ini masih bisa berceramah tentang anatomi.

“Maka oleh karena itulah,” Ihsan menandaskan dengan yakin, “dakwah dan politik pun tak boleh kita campur sembarangan, sama seperti darah dan nafas yang tak bercampur serampangan dalam perjalanan awalnya.”

Setengah sadar Ihsan berusaha membantah ceramahnya dalam mimpi. Tapi diri yang dalam mimpi tak mau di-interupsi. “Dakwah dan politik memang kita harus punya. Kedua-duanya kita harus punya. Harus! Tapi kedua-duanya itu harus kita atur sebaik-baiknya agar tak tercampur secara salah.”

Diri dalam mimpi itu lalu melempar tanya pada hadirin: “Bagaimanakah pencampuran yang salah itu?”

Dijawabnya sendiri, “untuk mengetahui pencampuran yang salah, kita harus mengetahui pencampuran yang benar.” Ah lumayan, belajar kitab As-Sullam dulu membuatnya bisa bermain-main logika sedikit.

“Pencampuran yang benar,” lanjut Ihsan, “adalah ketika politik dilandasi oleh tujuan-tujuan dakwah. Oleh karena itu, pencampuran yang salah adalah adalah ketika dakwah dicampuri oleh kepentingan-kepentingan politik.”

“Ya sodara-sodara,” Ihsan menaikkan suara, “politik harus dipengaruhi oleh niat dakwah, tapi dakwah tak boleh dipengaruhi oleh niat politik.”

“Mengapa?” Ihsan melempar tanya lagi, “mengapa begitu?”

Pertanyaan retoris ini dijawabnya sendiri. “Sebab politik itu urusan kuasa, dan dakwah itu urusan amar ma’ruf nahi munkar. Politik itu, sodara-sodara, bersifat eksklusif. Dakwah itu, sodara-sodara, bersifat inklusif. Yang inklusif boleh mempengaruhi yang eksklusif dan bukan sebaliknya.”

“Dalam politik, saya bisa mengajak sodara-sodara untuk memilih si A. Orang lain mengajak sodara-sodara memilih si B. Sodara-sodara hanya bisa mengikuti ajakan saya, atau mengikuti ajakan orang lain itu. Tak bisa sodara-sodara ikuti keduanya. Itulah contoh eksklusifitas politik.”

“Tapi dalam dakwah, sodara-sodara, kita bisa ikuti seruan kebaikan sesiapapun. Saya mengajak sodara-sodara salat dan zakat. Orang lain mengajak sodara-sodara puasa dan memperbanyak sodaqah. Kedua-duanya bisa diikuti tanpa saling meniadakan. Itulah inklusifitas dakwah.”

“Jadi hadirin,” Ihsan melemparkan kalimat simpulannya, “kita boleh berpolitik dengan niat dakwah, tapi tak boleh berdakwah dengan niat politik.”

Dilihatnya hadirin mengangguk-angguk mantap. Hatinya senang.

“Wallaahul-muwafiq ilaa aqwaamith-thariq,” Ihsan menutup ceramahnya, “wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.”

… ‘Ash-shalaatu was-salaamu ‘alaik. Yaa imaamal-mujaahidiin…’ Suara bacaan
tarhim di masjid sebelah membangunkan Ihsan dari mimpi ceramahnya. Ia membuka mata. Masih dalam baring, ia tercenung. Mimpi aneh, pikirnya. Mengapa ia yang memberikan nasehat, dan bukan orang lain yang memberinya nasehat untuk menjawab kegundahan hatinya?

Ia bangun, menyeret kaki ke kamar mandi, lalu berwudlu. Saat wudlu ia berpikir: Ilham bisa datang dengan cara apa saja. Siapa tahu mimpi ceramahnya tadi adalah sebuah ilham yang sebenarnya telah lama bersemayam dalam diri, dan menemukan jalan keluar dalam mimpi. Mimpi tadi adalah jawaban bagi gundahnya.

Alhamdulillah, bisiknya dalam hati. Aku telah menemukan jawaban. Aku akan bermakmum selalu pada Kiai Ali dan Kiai Umar dalam dakwah. Tapi coblosan tahun 1955 nanti, itu urusan lain…

...baca selengkapnya
23 Mar 2008
South West Holiday
South West adalah kawasan di bagian selatan Western Australia. Kawasan ini meliputi kota-kota pesisir (seperti Bunburry, Busselton, Augusta, dan Albany), kota-kota di area pedalaman yang terkenal dengan hutan-hutan wisatanya (seperti Pemberton dan Walpole), serta kota-kota yang kondang dengan winery-nya terutama Margaret River.

Minggu lalu, kami sekeluarga memutuskan untuk bolos beberapa hari agar bisa berlibur menjelajahi sebagian kawasan South West ini, khususnya di sisi barat. Beberapa bulan lalu kami sudah melihat-lihat sisi timur kawasan ini ketika berlibur ke Albany, maupun ketika saya melakukan penelitian tentang penduduk Muslim di Katanning.

Sebenarnya ada long weekend mulai tanggal 21 sampai tanggal 25 Maret dalam rangka Easter. Tapi justru karena itulah saya memutuskan untuk berlibur minggu lalu, sebab saat long weekend nanti pastilah tujuan-tujuan wisata dan akomodasi akan penuh orang dan terlalu rame. Dari dulu saya cenderung memilih untuk berlibur di luar waktu-waktu libur publik (kecuali mudik lebaran) biar tidak terlalu hiruk-pikuk.

***

Rute hari pertama: Perth ke Pemberton.

Jarak kedua kota adalah 343 km. Jarak ini sebenarnya bisa ditempuh dalam waktu kira-kira 4 jam karena kami melewati banyak highway dengan kecepatan maksimal 110 km/jam. Namun karena kami berhenti di banyak tempat (termasuk Collie, Donnybrook dan Bridgetown), maka perjalanan yang dimulai di Perth jam 09:30 ini baru berakhir di Pemberton jam 19:00.

Baru beberapa menit keluar dari Perth, di Armadale kami melihat sebuah farm yang penuh dengan kangguru. Meski bertahun-tahun di Australia, saya tak pernah melihat kangguru sebanyak ini. Maka kami putuskan untuk berhenti sejenak di tempat yang tak jauh dari pertigaan Albany Highway dan South Western Highway ini.

Dari sini kami lanjutkan perjalanan melalui kota-kota kecil seperti Keysbrook dan Pinjarra. Setelah perjalanan selama kira-kira satu jam lebih sedikit, kami berhenti di Waroona, sebuah kota yang terletak sekitar 110 km di seletan Perth, untuk makan siang agak awal sebab anak-anak kelihatannya sudah keburu ngantuk.

Usai makan siang kami masuk lagi ke South Western Hwy dan melanjutkan perjalanan ke Collie. Di Collie kami berhenti di Wellington Dam yang merupakan bagian dari Wellington National Park. Sayang sedang ada proyek perbaikan di dam ini, sehingga tak seluruh bagiannya bisa kami jelajahi.

Dalam perjalanan dari Collie ke Pemberton, kami berhenti lagi di tepi Blackwood River di Bridgetown. Blackwood River adalah sungai terpanjang di South West, membentang sepanjang 270 km hingga ke Flinders Bay di Augusta. Jam 6 sore lewat, baru kami santai bergerak lagi ke arah Pemberton.

[Foto-foto hari pertama bisa dilihat di sini].

***

Rute hari kedua: Pemberton ke Busselton, dengan jarak 143 km.

Pagi hingga siang kami jalan di sekitar Pemberton. Objek wisata utama di kota ini adalah Karri Forest, hutan pohon eukaliptus yang tinggi-tinggi menjulang. Hutan terdekat dengan Pemberton adalah Gloucester National Park, tak jauh dari tempat kami bermalam di Pemberton Caravan Park. Di taman nasional ini terdapat Gloucester Tree, pohon setinggi 61 m yang ditanam tahun 1946 dan namanya diambil dari Duke of Gloucester. Pohon ini memiliki 300 anak tangga, dan kalau mau kita bisa memanjatnya. Tapi saya memilih untuk memotretnya saja, dan menyimpan tenaga untuk nyetir ketimbang untuk memanjat pohon ini. Oya, kalau anda pecinta burung, anda pasti akan sangat menikmati tempat ini.

Objek wisata lain yang juga tak boleh dilewatkan di Pemberton adalah Beedelup lake yang bisa diakses dari Karri Valley Resort. Danau ini berada di tengah hutan eukaliptus yang cukup rimbun, dan sangat menyenangkan untuk dijadikan tempat beristirahat atau menyepi.

Dari Pemberton kami melanjutkan perjalanan ke Nannup, sebuah kota kecil di tengah-tengah antara Pemberton dan Busselton. Tak banyak yang bisa dilihat di kota berpenduduk tak sampai 600 orang ini. Jalan utama di Nannup cuma membentang sekitar 2 km lebih sedikit. Padahal senja harinya, kita akan melihat Busselton Jetty yang panjangnya 2 km. Seluruh kota Nannup bisa diletakkan di kanan-kiri dermaga ini. :-)

[Foto-foto hari kedua bisa dilihat di sini].

***

Rute hari ketiga: Busselton - Margaret River - Augusta - Yallingup - Busselton.

Pada hari ketiga kami berjalan melingkar dari Busselton ke area ‘pedalaman’ sekitar Margaret River, ke kota pelabuhan Augusta, lalu balik lagi ke arah utara melalui pesisir Indian Ocean melewati beberapa kawasan gua dan pantai.

Pagi itu mulanya anak-anak agak sulit diajak berangkat dari Peppermint Park, sebab sejak kemarin mereka sudah berencana untuk berenang pagi-pagi di tempat kami bermalam ini. Untungnya, pagi itu gerimis turun, sehingga ada alasan untuk melarang mereka berenang :-) dan segera bersiap-siap di mobil untuk berangkat ke Margaret River.

Busselton ke Margaret River cuma berjarak 47 km. Melalui Bussel Hwy, jarak ini bisa ditempuh sekitar 30an menit. Margaret River adalah kota berbukit dan berlembah yang sangat indah. Pagi itu, suasana pohon dan jalanan yang basah karena gerimis membuat saya merindukan Kaliurang :-(

Objek wisata utama di Margaret River adalah ladang anggur dan winery, yang menyediakan wine untuk dicoba secara gratis (selain yang untuk dibeli). Kami mampir di beberapa winery untuk melihat-lihat lembah ladang anggur yang indah-indah itu. Selain winery, chocolate factory dan fudge factory di kota ini juga penting untuk dikunjungi. Tapi hari itu kami cuma mampir di Fudge Factory, sebab Chocolate Factory-nya sama seperti yang ada di Swan Valley dan sudah beberapa kali kami datangi.

45 km di selatan Margaret River adalah tujuan kami berikutnya, kota pelabuhan Augusta. Di sini terdapat kawasan pantai yang sangat indah, dan Leeuwin Lighthouse yang merupakan objek wisata utamanya. Sayang siang itu agak mendung, sehingga foto-foto yang diambil di pantai selalu penuh dengan lukisan awan, yang terkadang agak kelabu.

Dari Augusta, kami belok ke arah barat dan kemudian ke utara menyusuri Caves Road. Di sepanjang jalan ini terdapat beberapa gua dan pantai yang juga terkenal sebagai tujuan wisata. Di antara beberapa gua yang ada di sana, kami memilih untuk melihat yang terbesar, yakni Mammoth Cave. Perlu waktu sekitar 1 jam untuk menelusuri gua besar yang penuh dengan fosil hewan purba serta stalaktit dan stalakmit ini. “Guide” yang mengantar ke dalam gua adalah seperangkat MP3 self-guiding audio system yang menjelaskan isi gua ini pada setiap pengunjung lewat headphones.

Rampung bergelap-gelap dalam gua, kami bergerak lagi ke arah utara. Sore hari kami berhenti di Yallingup, sebuah pantai berangin yang sangat digemari peselancar. Pantai yang langsung bersanding dengan area bebukitan ini sungguh indah. Di sini ada satu lokasi yang berada di puncak sebuah tebing kecil, dimana kita bisa melihat keindahan pantai dan bukit-nya dari sudut yang sangat strategis.

Melihat air laut sejak siang tadi, anak-anak mulai lagi menagih hutang berenang. Karena itu kami kami lalu meluncur lagi ke Meelup beach di Dunsborough karena di sana ada kawasan pantai landai yang nyaman dan aman untuk berenang anak-anak — walaupun pemandangan alamnya tidak terlalu indah dibandingkan pantai di Augusta dan Yallingup.

Saat maghrib, ketika perut sudah lapar usai berenang di pantai, kami pulang ke Busselton setelah mempir sebentar membeli sosis untuk barbecue malam itu.

[Foto-foto hari ketiga bisa dilihat di sini].

***

Hari keempat: Busselton - Bunbury - Mandurah - Rongkingham - home!

Pagi-pagi di hari terakhir, kami baru nyadar bahwa justru kota Busselton belum banyak kami lihat. Dua malam di sini, rasanya cuma seperti numpang tidur. Karena itu diputuskanlah bahwa pagi-pagi kami akan mulai perjalanan di Busselton, dan nanti menjelang makan siang baru bergerak ke utara ke arah Bunbury.

Pusat kota Busselton berada tak jauh dari pantai dengan dermaga panjang yang saya ceritakan di atas. Dibandingkan dengan Pemberton, kota ini jauh lebih besar dan lebih berkesan modern. Sebenarnya ada train yang melintas dari kota hingga ke ujung Busselton Jetty. Sayangnya beberapa bagian dermaga ini sedang diperbaiki sehingga train ini tak beroperasi. Maka kami puas-puaskan saja berjalan di seputar pantai.

Menjelang siang, kami mulai perjalanan ke Bunbury yang terletak 50an km di arah utara.

Bunbury adalah kota besar yang sudah mirip-mirip dengan Perth, bahkan di beberapa bagian tampak lebih modern karena memang baru-baru dibangun. Pantai tentu saja adalah andalan wisata kota ini. Di salah satu bagian kota ini terdapat lighthouse yang terlihat sangat berbeda dari yang ada di Augusta. Yang di Bunbury ini lebih tersimak seperti roket ketimbang lighthouse. Tak jauh dari lighthouse ini, kita bisa naik ke Rotary Lookout Tower di Marlston Hill, dan memandang seluruh kota Bunbury dari ketinggian.

Dari Bunburry, perjalanan kami lanjutkan ke Mandurah, 100an km ke arah utara. Kami sampai di Mandurah sekitar jam 4 sore. Anak-anak minta berenang lagi lagi di pantai, namun jam 4 sore di musim gugur matahari masih bersinar garang seperti jam 2 siang di Indonesia. Ashar masih setengah jam lagi. Setelah berputar-putar beberapa waktu, kami berhenti di Mandjar Bay dan istirahat di sana. Tak lama kemudian saya rebahan di atas rumput diteduhi pohon cemara, dan angin pantai yang semilir membuai dengan sangat cepat hingga saya tertidur…

Saya baru bangun jam 6 lewat, karena teriakan anak-anak yang bermain di playground. Matahari musim gugur baru akan tenggelam kira-kira 45 menit lagi. Miming menawarkan untuk jalan ke ke arah Perth, dan berhenti Rockingham agar anak-anak bisa berenang di pantai.

Rockingham terletak kira-kira 25 km dari Mandurah, dengan garis pantai yang cukup panjang dari selatan ke utara kota. Di sini terdapat Pinguin Island, tapi sore itu sudah sangat nanggung untuk menyeberang ke sana. Keinginan anak-anak untuk berenang juga tak bisa terlaksana karena sampai di Rockingham matahari sudah hamppir terbenam. Akhirnya kami nikmati saja keindahan maghrib di kota ini dan kemudian kembali ke Perth, kira-kira 45 menit perjalanan dari sini.

Usai sudah liburan, dan besok pagi rutinitas sudah menunggu…

[Foto-foto hari terakhir bisa dilihat di sini].


...baca selengkapnya