Pernahkah kita memperhatikan dengan seksama barang-barang yang kita miliki? Pernahkah kita sadari bahwa mungkin ada barang milik kita yang sebenarnya over-priced dibandingkan dengan fungsi dasarnya? Misalnya, mungkin tak pernah kita tanyakan pada diri sendiri, mengapa kita membeli dan memakai cincin emas atau platinum, padahal cincin dari logam biasa juga bisa dihias indah dan berasa sama di jari yang mengenakannya. Barangkali tak pernah pula kita tanyakan, misalnya, mengapa kita memakai dasi sutra buatan Pierre Cardin dengan jepitan emas produk bertatahkan intan, padahal dasi satin yang dibeli di pasar grosiran pastilah tak akan beda rasanya di kerah baju kita. Atau sangat boleh jadi kita tak pernah tanya mengapa kita pakai pena Montblanc padahal pulpen merek Pilot juga bisa digunakan untuk menanda-tangani kesepakatan proyek bernilai milyaran rupiah sekalipun. Dan seterusnya. Jika kita sempat mempertanyakan semua itu, kira-kira apakah jawabnya?
Mungkin jawabannya karena semua itu adalah token of membership ketika kita ingin diakui sebagai bagian dari suatu level atau kelompok sosial tertentu dalam masyarakat. Barang-barang itu jelas kita bayar dengan harga yang jauh di atas makna fungsionalnya. Yang lebih menentukan pertimbangan kita dalam membeli barang-barang tersebut adalah nilai simboliknya. Uang yang kita keluarkan untuk membeli barang-barang mahal yang merupakan itu adalah membership fee yang telah kita anggap lazim. Mahal tak masalah, yang penting kita telah menjadi bagian dari semuah komunitas setelah membayarnya. Bukankah begitu?
Sangat boleh jadi, pemilihan umum (pemilu) pada taraf tertentu telah menjadi sebuah token of membership bagi sebuah negara jika ingin bergabung dalam sebuah mars peradaban bernama demokrasi. Pemilu adalah salah satu ornamen paling penting dalam modernitas politik, semenjak demokrasi dan manifestasi proseduralnya menjadi pilihan yang nyaris tunggal bagi penyelenggaraan negara.
Salah satu kredo paling penting yang banyak dipegang manusia modern adalah apa yang dirumuskan filsuf Prancis René Descartes (1596-1650), ‘cogito ergo sum’ (‘I think, therefore I am; ‘aku berpikir, karenanya aku ada’). Dewasa ini, demokrasi pun bisa dirumuskan dalam kredo senada: ‘aku berdemokrasi, karenanya aku ada’. Sangat sedikit orang, kelompok orang, atau bangsa yang secara tegas menolak sentralitas gagasan demokrasi dalam ide politik modern. Pun dengan cara yang sama, pemilu sebagai salah satu bagian dari prosedur demokrasi telah menjadi harga mati yang tak ditolak kecuali oleh sekelompok kecil kalangan. Pemilu adalah ‘tanda keanggotaan’ yang penting untuk dimiliki oleh banyak negara ketika mereka ingin diakui sebagai bagian dari masyarakat demokrasi dunia. Bahwa sebagai sebuah prosedur demokrasi itu pemilu meminta harga sangat mahal (terlebih dalam sistem presidensiil dimana eksekutif memerlukan mandat langsung dari rakyat, terpisah dari mandat untuk legislatif), barangkali tak lagi dianggap masalah berarti mengingat kebutuhan akan identifikasi diri sebagai negara demokratis. Menariknya, bahkan negara yang sebenarnya non-demokratis sekalipun juga turut melaksanakan pemilu untuk mengisi posisi-posisi politik. Terkait dengan proposisi bahwa kerapkali pemilu sekadar merupakan cara untuk meng-klaim sebagai negara demokratis, dengan sangat tepat Shiveli (2005: 225) menggambarkan:
Today elections are widespread around the world, even though a number of the world’s states are not democracies. Many non-democratic states, such as the pre-1989 Soviet Union, have held them regularly. Why are elections so in vogue?
Part of the answers, of course, is that democracy is a word that purrs with respectability. Even states that are not democratic wish to appear democratic, and holding elections is one of the easiest ways to follow some of the forms of democracy even if the state is not democratic.
A second reason is that elections can serve more purpose for the state than merely thedemocratic one of allowing the mass of people to help in the selection of leaders and policies. Elections were invented to make democracy possible; but once invented, they turned out to have further uses.
Tentu saja semua ini tak dimaksudkan untuk mengatakan bahwa pemilu bukanlah aspek penting dalam proses politik. Bahkan dapat dikatakan bahwa pemilu merupakan elemen sentral dalam proses rekrutmen politik modern. Pemilu juga merupakan titik penyeimbang antara kebutuhan akan sirkulasi elit di satu sisi, dengan keperluan adanya jaminan kontinyuitas sistem di sisi yang lain. Selain itu, pemilu juga merupakan salah satu ukuran terpenting bagi derajat partisipasi politik di sebuah negara (Axford et al. 2002: 147). Yang tak kalah penting, terwujudnya pemilu yang bebas biasanya merupakan indikator mulai bekerjanya energi-energi reformasi di negara yang sedang mengalami transisi dari otoritarianisme.
Indonesia termasuk negara yang kerap diombang-ambing perubahan politik besar-besaran yang berulang. Demokrasi di negeri tercinta ini juga mengalami naik-turun yang cukup signifikan. Tak beda dengan kecenderungan umum di banyak negara, perubahan politik serta naik-turunnya kualitas demokrasi di negara ini juga berimplikasi pada (dan karenanya dapat diamati manifestasinya di) dalam penyelenggaraan pemilu. Keluhan-keluhan utama tentang kualitas demokrasi di masa pemerintahan Orde Baru antara lain dialamatkan pada penyelenggaraan pemilu yang intimidatif dan penuh kecurangan. Sebaliknya, kebanggaan akan era reformasi pun senantiasa dinisbahkan pada kemampuan bangsa kita untuk menyelenggarakan pemilu multi-partai yang bebas, jujur dan adil semenjak tahun 1999.
Kendati begitu, pemilu di Indonesia tak selalu mudah dipahami oleh publik dan para pemilih. Regulasi yang senantiasa berubah-rubah memiliki sumbangsih sangat besar terhadap munculnya kebingungan akan sistem dan tata cara pemilu kita. Sementara itu, informasi yang lengkap tentang pemilu di Indonesia tak selalu mudah untuk ditemui.
Buku yang sedang Anda pegang ini berusaha memotret hal-ihwal pemilu-pemilu di Indonesia dari tahun 1955 hingga 2004. Kontribusi terpenting buku ini bagi kajian politik di Indonesia adalah gambarannya yang menyeluruh tentang berbagai aspek dalam pemilu, mulai dari regulasi (termasuk tata cara pemberian suara dan metode konversi suara menjadi kursi), peta partai politik, hingga konfigurasi politik yang dihasilkan oleh pemilu. Yang juga sangat esensial, buku ini menyajikan ulasan-ulasan teoritik tentang pemilu. Dengan demikian, buku ini akan sangat bermanfaat bagi spektrum pembaca yang luas. Bagi mereka yang berada lingkungan akademik (peneliti, dosen, mahasiswa), buku ini termasuk upaya pionir untuk secara khusus menyediakan referensi konseptual tentang pemilu dalam bahasa Indonesia. Kendati dimaksudkan sebagai ulasan introduktori tentang pemilu, namun elaborasi teoritik dalam buku ini boleh dibilang lengkap. Bagi masyarakat awam, buku ini bisa memberikan gambaran yang sangat utuh tentang bagaimana pemilu Indonesia dikelola. Pembaca bisa membangun pengetahuan yang utuh tentang tata cara penyelenggaraan pemilu di negara ini, dan bagaimana suara mereka dalam pemilu diolah dan diterjemahkan menjadi kursi jabatan publik.
Kalaupun ada kelemahan dalam buku ini, barangkali itu adalah absennya ulasan yang memadai tentang konflik yang muncul dalam pemilu-pemilu Indonesia. Di luar isu-isu elektoral, konflik dalam pemilu sebenarnya sangat menarik untuk dibahas, terutama karena konflik-konflik itu menggambarkan situasi umum politik negeri ini. Pada tahun 1955, misalnya, konflik dalam pemilu kerap terkait dengan ketegangan daerah yang luar biasa marak waktu itu. Atau kalau tidak, konflik dalam pemilu 1955 banyak terkait dengan penyalahgunaan birokrasi oleh PNI yang merupakan partai terkuat waktu itu (Feith 1962, 1977). Selama pemilu Orde Baru, konflik sangat terpola antara negara (yang direpresentasikan oleh Golkar dengan dukungan birokrasi dan militer) dan masyarakat (yang bisa dianggp sebagian terrepresentasi dalam PPP atau PDI). Sementara itu, dalam pemilu-pemilu pasca jatuhnya Soeharto, konflik kerap bersifat horisontal antara elemen masyarakat, terkait dengan proses pemilu maupun ketegangan dalam partai politik yang berimbas pada pemilu.
Meski demikian, kelemahan kecil tersebut sama sekali tak mengurangi makna kontributif buku ini. Kenyataan bahwa tak lama setelah buku ini terbit segera dilangsungkan pemilihan umum yang ketiga di masa reformasi juga memberikan nilai tambah padanya. Bagaimana pergeseran-pergeseran regulasi, dan apa konsekuensinya bagi proses pemilu 2009 bisa dipelajari dari buku ini.
Selamat membaca.[]
Referensi:
- Axford, Barrie, et al. 2002. Politics: an introduction. New York: Routledge.
- Feith, Herbert. 1962. The decline of constitutional democracy in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press.
- Feith, Herbert. 1977. The Indonesian Elections of 1955. Ithaca: Interim Report Series, Modern Indonesia Project, Southeast Asia Program, Cornel University.
- Shively, W. Phillips. 2005. Power & choice: an introduction to political science. New York: McGraw-Hill.
...baca selengkapnya
0 Comments:
Post a Comment
Kontemplasi