Saya mengingat lagi kisah perjalanan Marco Polo. Saya mengingat pula perjalanan Cheng Ho yang sebenarnya jauh lebih hebat dan kontributif terhadap arah sejarah ketimbang perjalanan Marco Polo, namun karena Western bias dalam pencatatan sejarah maka kisahnya tak selalu dituturkan sehebat penjelajah asal Itali itu. Yang tak kalah penting, saya mengingat juga kisah perjalanan Ibnu Battuta yang dulu di masa SD dan SMP kerap disebut-sebut dalam pelajaran sejarah.
Dalam rangka menyegarkan lagi pemahaman tentang perjalanan Ibnu Battuta itu, tempo hari saya memesan buku memoir penjelajah Arab itu dari situs Amazon. Seperti biasa, belanja buku di toku buku online ini selalu murah dan reliable (meski harus menunggu sekitar dua minggu hingga buku yang dipesan terkirim dari Amerika ke Perth).
Di Amazon, saya memperoleh sebuah buku catatan perjalanan Ibnu Battuta yang telah diterjemahkan dalam Bahasa Inggris . Buku yang saya dapat ini terbit tahun 2004 (Dover Publications, New York). Namun sebenarnya, buku ini terbit pertama kali tahun 1829 di Inggris. Kisah perjalanan ini diterjemahkan oleh Samuel Lee, seorang pendeta yang juga ahli Bahasa Arab di University of Cambridge. Di halaman awal, terdapat cetakan asli sampul buku ini ketika terbit pertama kali, dengan font setting yang persis sama. Kata pengantar asli buku ini juga masih disertakan. Judul buku ini saat terbit pertama kali adalah The Travels of Ibn Battuta. Kini judul lengkap buku ini menjadi The Travels of Ibn Battuta in the Near East, Asia and Africa 1325-1354.
Buku setebal 234 halaman ini berisi catatan lengkap yang dibuat oleh Ibn Battuta sendiri dengan cara didiktekan kepada Ibnu Juzay (seorang penulis dan sejarawan asal Andalusia) seusai perjalanannya melintasi banyak tempat (termasuk Afrika Timur, Byzantium, Iraq, Rusia bagian selatan, India, Srilanka, dan Cina). Perjalanan ini dimulai oleh Ibnu Battuta pada tahun 725 H (1324 atau 1325 M). Saat itu ia meninggalkan kampung halamannya, Tanjier (Morocco) untuk melakukan ibadah haji. Ibnu Battuta, yang lahir di sebuah keluarga terpandang dan terpelajar dengan nama lengkap Abu Abdullah Muhammad Ibnu ‘Abdullah Al Lawati Al Tanji Ibnu Battuta (1304-1368? 1377?), kemudian melanjutkan perjalanannya ke tempat-tempat lain. Perjalanan itu baru sepenuhnya berhenti 27 tahun kemudian (menurut tarikh Masehi — sekitar 30 tahun menurut tarikh Hijriah), setelah ia menempuh jarak total sekitar 120.000 km.
Dalam catatan perjalanannya, Ibnu Battuta menggambarkan dengan detail keindahan dan keunikan tempat-tempat yang dikunjunginya, termasuk keindahan arsitektur setiap tempat serta mata pencaharian penduduknya. Di banyak bagian, ia sajikan pula konteks sosial dan sejarah tiap keunikan itu. Ketika menggambarkan kota Balkh di Khorasan misalnya, Ibnu Battuta menulis:
Its mosque was one of the largest and handsomest in the world. Its pillars were incomparable: three of which were destroyed by Jengis Khan, because it had been told him, that the wealth of the mosque lay concealed under them, provided as a fund for its repair. When, however, he had detroyed them, nothing of the kind was to be found; the rest, therefore, he left as they were. (h. 93-94)
Banyak tempat yang disebutkan oleh Ibnu Battuta dalam buku ini tak lagi ditemui di peta dunia sekarang. Perubahan nama, pergeseran setting geo-politik dunia, serta keberulangan proses alamiah memecah-menyatu-memecah dalam sejarah manusia bernegara telah menyebabkan banyak tempat itu kini ‘hilang’ atau terletak dalam lingkup wilayah yang berbeda dari saat ia dikunjungi oleh Ibnu Battuta. Untungnya, buku ini menyertakan catatan kaki yang cukup rinci yang dibuat oleh sang penterjemah. Penjelasan Samuel Lee tentang letak tempat-tempat yang disebut oleh Ibu Battuta menurut peta bumi modern (tentu ‘modern’ ini menurut abad ke-19 saat buku ini pertama terbit) sangat memudahkan pembaca memahami buku ini.
Tentu saja, buku ini adalah memoir. Sumber data buku ini hanya satu, yakni ingatan sang penulis. Tak ada konfirmasi. Tak banyak uji data dalam buku ini. Terhadap catatan kejadian yang dialami oleh Ibnu Battuta yang dikisahkannya dalam buku ini, kita bisa sepenuhnya percaya sebagai catatan yang jujur dan objektif, atau bisa pula meragukannya sebagai kisah yang mungkin diimbuhi dengan hayalan dan pelebihan dalam rangka dramatisasi. Apapun pilihan sikap kita terhadap isinya, buku ini tetaplah sebuah sumbangsih besar dalam sejarah. Sudahkah Anda membacanya?
...baca selengkapnya
0 Comments:
Post a Comment
Kontemplasi