pembuka profil penelitian&publikasi kuliah kontemplasi
27 Sept 2007
Kabinet Bayangan

Sejumlah politisi di DPR RI baru-baru ini menyatakan hendak menyusun sebuah kabinet bayangan. Kabinet bayangan ini akan terdiri dari sejumlah menteri, namun tanpa menko atau perdana menteri. Semua posisi itu sepadan dengan jabatan menteri yang ada dalam kabinet di bawah pimpinan presiden. Gagasan ini kemudian mengundang pro dan kontra. Sejumlah pengamat mengkritisi langkah sebagian anggota DPR (yang disebut atau menyebut diri ‘politisi muda’) ini sebagai ancang-ancang untuk urusan bagi-bagi kuasa di tahun 2009.

Ide kabinet bayangan ini mengingatkan saya pada hal serupa di tahun 2004, ketika kalangan partai politik maupun pengamat politik berbicara tentang perlunya kabinet bayangan untuk mengawasi pemerintah, seperti bisa dibaca dalam berita ini dan ini.

Tapi tahukah Anda, apa sebenarnya ‘kabinet bayangan’ itu? Apakah kabinet bayangan semata-mata berarti ‘kabinet yang membayangi pemerintah yang berkuasa’?

Menurut pengertian yang dikenal dalam ilmu politik, kabinet bayangan adalah struktur yang terdapat dalam sistem parlementer, yang terdiri dari anggota-anggota parlemen dari partai (atau koalisi partai) oposisi. Tugas utama struktur ini adalah mengawasi kinerja pemerintah yang dibentuk oleh partai (atau koalisi partai) dominan di parlemen. Mereka yang berada dalam struktur ini memang secara formal bertugas untuk membayangi setiap langkah kebijakan kabinet yang berkuasa. Itulah sebabnya mereka disebut kabinet bayangan.

Untuk memahami makna kabinet bayangan ini lebih jauh, kita perlu pula mengetahui makna dan perbedaan dua sistem pemerintahan, yakni sistem presidensil dan sistem parlementer. Kedua sistem pemerintahan dapat dibedakan berdasarkan cara pengorganisasian lembaga eksekutif dan legislatif. Di bawah ini akan kita simak beberapa pengertian ringkas, namun pada intinya dalam sistem parlementer eksekutif dipilih dari, dan bertanggung-jawab kepada, parlemen. Sedang dalam sistem presidensiil, eksekutif memiliki mandat terpisah dari parlemen, dan karenanya eksekutif tidak bertanggung-jawab pada parlemen, melainkan kepada kepala negara (presiden) yang sekaligus adalah kepala pemerintahan yang memimpin kabinet.

Untuk memudahkan pemahaman, mari kita lihat beberapa aspek yang membedakan kedua sistem pemerintahan itu. Aspek-aspek tersebut adalah hubungan kelembagaan, pola rekrutmen, serta pola pengawasan dan pertanggung-jawaban. Tabel berikut ini barangkali bisa memudahkan.

Aspek

Sistem

Presidensiil

Parlementer

Hubungan kelembagaan

- Terdapat pemisahan kekuasaan eksekutif dan legislatif. Namun tak ada pemisahan antara jabatan kepala negara dan kepala pemerintahan.

- Eksekutif dipegang oleh presiden sebagai kepala pemerintahan yang sekaligus adalah kepala negara. Kekuasaan legislatif berada di Parleman. Eksekutif dan legislatif memiliki kekuasaan terpisah yang seimbang.

- Sebutan bagi kepala pemerintahan yang sekaligus kepala negara adalah presiden. Karenanya sistem ini disebut presidensiil.

- Terdapat pemisahan antara kepala negara dan kepala pemerintahan. Namun tak ada pemisahan antara kekusaan eksekutif dan legislatif.

- Baik eksekutif maupun legislatif berada di parlemen. Jajaran eksekutif adalah anggota parlemen. Karenanya sistem ini disebut parlementer.

- Kepala pemerintahan adalah pimpinan kekuatan mayoritas di parlemen. Kepala negara hanya memiliki kekuasaan simbolik di luar eksekutif dan legislatif.

- Sebutan kepala pemerintahan: perdana menteri atau prime minister. Sebutan kepala negara: presiden, raja, ratu, gubernur jenderal, dll.

Pola rekrutmen

- Tak ada tumpang-tindih personal antara lembaga eksekutif dan legislatif.

- Anggota legislatif dipilih langsung lewat pemilihan umum.

- Pimpinan eksekutif (yakni presiden dan wakil presiden) dipilih langsung melalui pemilihan umum.

- Jajaran eksekutif lini kedua (yakni para menteri) diangkat oleh presiden.

- Terdapat tumpang-tindih personal antara eksekutif dan legislatif.

- Anggota legislatif dipilih langsung lewat pemilihan umum.

- Partai dengan kursi mayoritas di parlemen membentuk pemerintahan. Pimpinan partai ini menjadi perdana menteri.

- Anggota parlemen dari partai mayoritas itu menjadi menteri-menteri.

Pola pengawasan dan pertanggung-jawaban

- Terdapat mekanisme checks-and-balances antara eksekutif dan legislatif.

- Legislatif menyusun perundangan, namun memerlukan pelaksanaan oleh eksekutif.

- Eksekutif bisa mem-veto kebijakan legislatif, atau menolak untuk melaksanakan perundangan, namun legislatif memiliki hak utk meng-impeach eksekutif.

- Presiden sebagai pimpinan eksekutif memiliki hak untuk mengangkat pejabat negara, namun memerlukan persetujuan legislatif.

- Legislatif tak bisa memberhentikan presiden, dan presiden tak bisa membubarkan legislatif.

- Terdapat mekanisme pemerintah-oposisi dalam legislatif.

- Partai kekuatan kedua di parlemen membentuk oposisi. Pimpinan partai ini menjadi ketua oposisi, anggota-anggota partai lainnya menjadi anggota kabinet bayangan sehingga disebut pula sebagai menteri-menteri bayangan.

- Kebijakan pemerintah diperdebatkan di parlemen dengan pihak oposisi sesuai dengan lingkup masing-masing (misal: perdana menteri dengan pimpinan oposisi, menteri keuangan dengan menteri keuangan bayangan).

- Legislatif dapat membubarkan pemerintahan dengan mosi tidak percaya, dan mendesakkan pemilu untuk memilih anggota parlemen baru.

Di antara kedua sistem yang sangat berbeda itu, tentu selalu ada sistem gabungan yang mengambil sebagian mekanisme presidensialisme, dan sebagian mekanisme parlementarianism. Jerman adalah contoh negara yang menerapkan semi-parlementarianisme, dimana pimpinan eksekutif dipilih dari kekuatan mayoritas di parlemen (jadi seperti sistem parlementer) namun ia menyusun kabinet sendiri dengan anggota yang tak harus dari dalam parlemen. Ia bertanggung-jawab kepada parlemen, namun tak bisa begitu saja diberhentikan oleh parlemen. Pimpinan eksekutif ini memegang kekuasaan pemerintahan, yang terpisah dari kekuasaan kepala negara yang berada di tangan presiden.

Sistem gabungan lain dapat ditemui di Prancis, dimana presiden dan anggota parlemen dipilih secara terpisah (jadi menerapkan mekanisme presidensiil). Namun presiden hanya menduduki jabatan kepala negara. Dia lah yang kemudian akan mengangkat perdana menteri selaku kepala pemerintahan, serta mengangkat para menteri anggota kabinet. Parlemen tidak bisa memberhentikan presiden, namun bisa membubarkan kabinet dan memberhentikan perdana menteri. Sementara itu presiden bisa membubarkan dewan perwakilan rakyat, namun tidak bisa membubarkan senat.

Di manakah Indonesia berada? Indonesia pernah menerapkan sistem gabungan dimana presiden dipilih oleh MPR, namun kabinet diangkat dan bertanggung-jawab kepada presiden. Sejak tahun 2004, Indonesia telah mencoba untuk menerapkan sistem presidensiil secara murni, dimana kekuasaan eksekutif dan legislatif memiliki mandat terpisah sebab masing-masing dipilih secara langsung. Dalam sistem presidensiil murni ini, yang berjalan seharusnya adalah mekanisme checks-and-balances dan bukannya mekanisme pemerintah-oposisi.

Kabinet Indonesia sama-sekali tak bertanggung jawab kepada parlemen. Demikian pula, dalam parlemen Indonesia tak dikenal adanya kelompok partai berkuasa dan kelompok partai oposisi. Kendati SBY menjadi presiden dengan tiket dari Partai Demokrat, dan JK dengan tiket Partai Golkar, keduanya direkrut dalam pola yang sama sekali ekstra-parlementer sehingga Partai Demokrat dan Partai Golkar di DPR tak bisa disebut sebagai partai penguasa. Dengan cara berpikir yang sama pula, PDI-P yang calonnya (Megawati) kalah dalam Pilpres 2004, sama sekali tak perlu (dan tak dimungkinkan) menjadi kekuatan oposisi di parlemen.

Karena berada dalam sebuah sistem presidensiil, pemerintahan Indonesia tak memerlukan suatu kabinet bayangan di parlemen. Kabinet yang menjalankan pemerintahan sepenuhnya bertanggung-jawab kepada presiden, dan tak perlu dipangaruhi oleh konstelasi politik di DPR. Sekali lagi, mereka yang duduk di parlemen memiliki mandat kekuasaan yang terpisah dari mereka yang berada di kursi kepresidenan. Dengan ini menjadi sangat jelaslah bahwa terminologi ‘kabinet bayangan’ di dalam DPR sebagaimana dicetuskan beberapa ‘politisi muda’ itu sangat melenceng. Barangkali penggunaan frase ‘kabinet bayangan’ secara tidak tepat itu adalah bagian dari plesetan semantik dalam politik Indonesia seperti yang pernah saya tulis di sini.

Tentu saja adalah hak sesiapapun (termasuk anggota DPR RI) untuk mengekspresikan gagasan. Namun penting diingat, para politisi partai ini juga mengemban tugas pendidikan politik pada masyarakat. Tugas pendidikan politik ini menuntut kehati-hatian yang sangat tinggi dalam menggunakan istilah-istilah politik.

Jadi jika Anda politisi, cobalah untuk lebih cermat dalam menggunakan termonologi politik. Cobalah hindari penggunaan istilah yang asal-asalan. Meski istilah yang Anda pakai mungkin tersimak hebat dan gagah, bukankah cukup memalukan kalau ternyata istilah itu digunakan tidak pada tempatnya?


...baca selengkapnya
24 Sept 2007
Razia Puasa

Tidak terlalu mengagetkan sebenarnya, kalau FPI main razia-raziaan, sweeping-sweepingan, dan merusak tempat-tempat milik orang krn tuduhan maksiat.

Yang barangkali kita bisa renungkan, mungkin kita-kita sendiri pun sebenarnya memiliki cara pikir seperti itu. Dulu saya ingat ada sebuah dialog Ramadlan di salah satu radio di Jogja, dengan narasumber Prof Damarjati Supajar kalau saya tidak salah ingat. Ada pendengar yang menanyakan: "kok warung-warung di Jogja banyak yang buka di bulan Ramadlan?"

Pak Damarjati menjawab: "Ya warung-warung itu memang harus buka, sebab banyak orang yang tidak berpuasa, seperti non-Muslim, atau Muslim tapi musafir, sakit, hamil, dan tetap butuh makan. Bagi kita yang puasa, ya tak perlu lihat warung-warung itu."

Lalu pembawa acaranya menimpali: "Tapi bukankah warung-warung itu harus menghargai yang berpuasa Prof?"

Pak Damar menjawab: "Penghargaan dan pahala puasa itu dari Allah, bukan dari tukang-tukang warung itu."

Jawaban itu sangat mengesankan bagi saya. Betapa banyak kita dengar tudingan tentang perilaku syirik, yakni menyekutukan Allah sebagai tempat meminta dan berserah diri. Saya jadi kuatir, pemaksaan berlebihan agar orang lain menghargai yang sedang berpuasa itu juga adalah perbuatan syirik samar.

Naudzubillah.

http://liputan6.com/daerah/?id=148020

24/09/2007 05:33 Penertiban

FPI Merazia Orang Tidak Berpuasa

Liputan6.com, Bantul: Sekitar 100 anggota Front Pembela Islam (FPI) Ciamis, Jawa Barat, Ahad (23/9), bertindak keras terhadap warung-warung makan yang dianggap tidak menghormati bulan puasa. Tempat-tempat yang dicurigai menjual minuman beralkohol juga tidak luput dari razia.

Massa FPI menjadi beringas saat mengetahui ada tempat makan yang berjualan secara terbuka. Mereka merusak warung itu dan memukul seorang pelanggannya. Sedangkan sang pemilik tak bisa berbuat apa-apa.
Tak hanya itu, seorang pria yang dianggap preman turut dipukuli tanpa alasan yang jelas. Terminal bus Ciamis ikut menjadi sasaran razia. Salah satu warung jamu yang menjual minuman keras didobrak. Satu dus minuman keras diambil dan dihancurkan di depan kios.

Selama razia, praktis tidak ada polisi yang terlihat di lokasi. Sedangkan warga tak dapat berbuat apa-apa menyaksikan tindakan tersebut. Dihubungi melalui telepon, Kepala Kepolisian Resort Ciamis Ajun Komisaris Besar Polisi Aries Syarief menyatakan, ia menyayangkan adanya kekerasan dalam razia tersebut.

Situasi berbeda di Bantul, Yogyakararta, saat laskar Front Jihad Islam merazia tempat maksiat dan lokasi penjualan minuman keras, pekan silam. Ketika itu, aparat Polres Bantul bertindak keras dan meminta razia dihentikan. Alasannya, warga sipil tidak berwenang menggelar razia. (BOG/Tim Liputan 6 SCTV)


...baca selengkapnya
21 Sept 2007
Korupsi para Bupati

Pagi ini saya membaca berita di detik.com tentang 41 orang Bupati di seluruh Indonesia yang terkait dengan kasus korupsi. 41 orang itu tidak sedikit. Mengingat jumlah kabupaten di seluruh Indonesia tak sampai 400, itu berarti lebih dari 10 % Bupati tersandung kasus korupsi.

Otonomi daerah jelas telah memberikan wewenang dan kekuasaan besar kepada daerah. Banyak peluang dan harapan baru dengan adanya desentralisasi. Namun berita semacam ini lagi-lagi membuat kita sedih, sebab boleh jadi ia hanya akan memberi alasan bagi pusat untuk melakukan resentralisasi (seperti sering berulang dalam sejarah Indonesia).

***

41 Bupati Terkait Kasus Korupsi

Arfi Bambani Amri - detikcom

Jakarta, Tahun 2007 ini, 41 bupati dari seluruh Indonesia terkait kasus korupsi. Status hukumnya beragam, ada yang dalam proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan bahkan sudah divonis bersalah.

17 Bupati di antaranya berstatus saksi atau kasusnya masih dalam penyelidikan dan tidak menutup kemungkinan menjadi tersangka. 20 Bupati sudah ditetapkan menjadi tersangka korupsi.

2 Bupati, yakni Bupati Kutai Kartanegara Syaukani HR dan Bupati Semarang Bambang Guritno sudah memasuki tahap penuntutan sebagai terdakwa korupsi. Kemudian dua bupati sudah divonis, salah satunya Bupati Kendal Hendy Boedoro yang baru saja divonis 5 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Selasa 18 September 2007 lalu.

Berikut daftar 41 bupati tersebut berdasarkan data yang dikumpulkan Indonesian Corruption Watch (ICW) per 20 September 2007 yang disusun menurut abjad provinsi:

1. Bupati Pandeglang, Banten, Achmad Dimyati Natakusumah, status diambil keterangan
2. Bupati Bone Bolango, Gorontalo, Ismet Mile, status tersangka
3. Bupati Sarolangun, Jambi, Muhammad Madel, status diambil keterangan
4. Bupati Garut, Jawa Barat, Agus Supriadi, status tersangka
5. Bupati Purwakarta, Jawa Barat, Lili Hambali Hasan, status diambil keterangan
6. Bupati Kendal, Jawa Tengah, Hendy Boedoro, tervonis
7. Bupati Pemalang, Jawa Tengah, M Machroes, status diambil keterangan
8. Bupati Semarang, Jawa Tengah, Bambang Guritno, sedang diadili
9. Bupati Wonogiri, Jawa Tengah, Begug Purnomosidi, status diambil keterangan
10. Bupati Madiun, Jawa Timur, H Djunaedi Mahendra, status tersangka
11. Bupati Magetan, Jawa Timur, Saleh Muljono, status tersangka
12. Bupati Malang, Jawa Timur, Sujud Pribadi, status diambil keterangan
13. Bupati Pamekasan, Jawa timur, Achmad Syafii Yasin, status diambil keterangan
14. Bupati Pasuruan, Jawa Timur, H. Jusbakir Aldjufri, status diambil keterangan
15. Bupati Sidoarjo, Jawa Timur, Wien Hendrarso, status diambil keterangan
16. Bupati Situbondo, Jawa Timur, Ismunarso, status tersangka
17. Bupati Ketapang, Kalimantan Barat, Morkes Effendi, status diambil keterangan
18. Bupati Sintang, Kalimantan Barat, Milton Crosby, status diambil keterangan
19. Bupati Tanah Laut, Kalimantan Selatan, Ardiansyah, status tersangka
20. Bupati Barito Selatan, Kalimantan Tengah, Baharudin H Lisa, status diambil keterangan
21. Bupati Barito Utara, Kalimantan Tengah, Achmad Yuliansyah, status tersangka
22. Bupati Lamandau Bustani, Kalimantan Tengah, Hj Mahmud, status tersangka
23. Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Syaukani HR, sedang diadili
24. Bupati Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Yusran Aspar, status tersangka
25. Bupati Tulang Bawang, Lampung, Abdurachman Sarbini, status diambil keterangan
26. Bupati Dompu, Nusa Tenggara Barat, Abu Bakar Ahmad, tervonis
27. Bupati Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, Iskandar, status diambil keterangan
28. Bupati Kupang, Nusa Tenggara Timur, Ibrahim Agustinus Medah, status tersangka
29. Bupati Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, Christian Nehemia Dillak, status tersangka
30. Bupati Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, Daniel Banunaeak, status diambil keterangan
31. Bupati Jayawijaya, Papua, David Agustein Hubi, status tersangka
32. Bupati Nabire, Papua, Drs Anselmus Petrus Youw, status tersangka
33. Bupati Pelalawan, Riau, Tengku Azmun Jaafar, status tersangka
34. Bupati Mamasa, Sulawesi Barat, HM Said Saggaf, status diambil keterangan
35. Bupati Luwu, Sulawesi Selatan, Basmin Mattayang, status tersangka
36. Bupati Tana Toraja, Sulawesi Selatan, Johanis Amping Situru, status tersangka
37. Bupati Morowali, Sulawesi Tengah, Andi Muhammad AB, status tersangka
38. Bupati Muaraenim, Sumatera Selatan, Kalamudin Djinab, status diambil keterangan
39. Bupati Ogan Komering Ulu Selatan, Sumatera Selatan, Muhtadin Serai, status tersangka
40. Bupati Nias, Sumatera Utara, Bina B Bahaiak, status tersangka
41. Bupati Sleman, Yogyakarta, Ibnu Subiyanto, status tersangka.


...baca selengkapnya
20 Sept 2007
Reuni tahun 2009, Gus?

Baru-baru lalu (Selasa, 18/9) Mantan Presiden Abdurrahman Wahid membuat pernyataan bahwa ia bersedia untuk kembali dicalonkan dalam pemilihan presiden (pilpres) tahun 2009. Ia bahkan menyatakan bahwa dirinya tinggal menunggu isyarat dari 5 (lima) orang kiai sepuh NU untuk memastikan pencalonan itu, yang akan dijadikannya sebagai sarana guna menerapkan konsep untuk mengatasi krisis yang kini melanda bangsa Indonesia.

Perihal isyarat atau restu kiai sepuh itu sudah sangat jamak kita dengar dari Ketua Dewan Syuro PKB ini. Namun bagaimana kita bisa memahami pernyataan kesediaan pencalonan diri dalam pilpres 2009 itu? Apa sajakah konteks politik lebih luas yang bisa kita lihat?

***

Salah satu tujuan dasar pemilihan umum (pemilu) adalah untuk mendorong sirkulasi elit secara luas. Peristiwa demokrasi yang biasanya berbiaya sangat besar ini dimaksudkan untuk memastikan lahirnya pemimpin-pemimpin baru dalam masyarakat politik secara berkala, sistematis, dan dapat-diramalkan.

Tapi sayang, tak semua pemilu berjalan sesuai dengan tujuan dasar itu. Pemilu di Indonesia terbukti hanya sanggup untuk melahirkan pemimpin-pemimpin baru jika pemilu itu berlangsung segera setelah terjadinya perubahan politik penting. Pemilu 1999 adalah salah satu di antaranya. Pemilu ini berjalan segera setelah jatuhnya Soeharto tahun 1998, dan banyak membuka peluang lahirnya tokoh-tokoh politik baru baik di tingkat nasional maupun di tingkat lokal (terlepas dari keluhan akan kualitas sebagian tokoh politik baru itu).

Pilpres 2004 secara terbatas juga bisa dinilai berhasil melahirkan pemimpin politik baru, kendati itu bisa dianggap sebagai keniscayaan mengingat pilpres ini adalah sebuah mekanisme yang memang sama sekali baru.

Di luar kedua pemilihan tersebut, pemilu-pemilu Indonesia cenderung hanya memungkinkan berjalannya sirkulasi elit secara sangat terbatas. Pemilu legislatif tahun 2004 berjalan seperti itu. Dan kita boleh menduga, pemilu dan pilpres 2009 juga tak akan mampu menghasilkan pemimpin-pemimpin baru secara signifikan.

Beberapa gejalanya sudah mulai terlihat dari sekarang. Calon-calon presiden yang muncul tak jauh-jauh dari tokoh yang sudah pernah atau sedang menjabat sebagai presiden. Kandidat utama tentu saja adalah SBY dan Jusuf Kalla, dimana sang wapres kemungkinan akan mencoba keberuntungannya untuk maju sebagai calon presiden dengan tiket Golkar. Kita belum bisa mengukur apakah faktor ‘non-Jawa’ pada diri JK akan menjadi hambatan berarti atau tidak dalam ambisinya ini.

Calon lain yang telah tegas menyatakan (dan sejak lama memang tak pernah menutupi) ambisinya untuk maju dalam laga capres adalah mantan presiden Megawati dengan PDI-P-nya. Yang terbaru kita dengar bersama adalah pernyataan Gus Dur bahwa iapun siap untuk turut dalam kontestasi politik tahun 2009 sebagaimana disinggung di atas.
Pernyataan pencalonan Gus Dur ini bisa menguatkan kekhawatiran bahwa pilpres 2009 hanya akan menjadi ritual politik yang tak membawa efek berarti. Dengan deretan calon potensial yang makin jelas berwajah lama, sirkulasi elit tak akan berjalan, atau hanya akan berjalan secara sangat terbatas, di tahun 2009.

Kita patut khawatir bahwa pilpres 2009 hanya akan menjadi ajang ‘reuni’ para tokoh politik sambil membawa pertentangan-pertantangan lama antar mereka. Sangat tidak berguna bagi perbaikan politik bangsa jika pilpres 2009 itu hanya akan menjadi arena penuntasan dendam lama antara ex-presiden dan ex-wapresnya, atau antara ex-presiden dan ex-menkonya.

Tentu saja semua tokoh itu berkualitas, tapi rasanya seperti de ja vu saja kalau tahun 2009 lagi-lagi kita hanya akan melihat SBY, JK, Megawati, dan kali ini tambah Gus Dur, di kertas suara pemilihan presiden. Ada baiknya kita persilakan saja mereka reuni di tempat lain, bukan di kertas suara. Kita butuh pemimpin baru yang (mudah-mudahan bisa) lebih berkualitas.

[Catatan ini dimuat di harian Kedaulatan Rakyat]


...baca selengkapnya
19 Sept 2007
Ayo Sekolah...

Salah satu hal yang bagi saya paling menyenangkan adalah ketika menerima email dari teman di jurusan atau fakultas, atau mantan mahasiswa saya, yang mengabarkan mereka akan melanjutkan studi pascasarjana, atau meminta saya menulis surat rekomendasi untuk aplikasi studi pascasarjana ke luar negeri. Dunia yang saya kenali sejauh ini 'hanyalah' dunia sekolahan dan penelitian, dan kabar semacam itu rasanya seperti segelas air putih yang saya minum setelah seharian berpuasa. Segar dan mak nyusss...

Itu sebabnya, setiap kali ada email terkait dengan rencana teman atau mantan mahasiswa saya untuk studi lanjut, saya segera luangkan waktu untuk membaca dan membalasnya. Jika email itu berisi permintaan surat rekomendasi dari mantan mahasiswa, saya segera kumpulkan informasi tentang yang bersangkutan, dan segera mulai menulis surat dimaksud. Jika email itu berisi permintaan saran tentang kiat untuk mengajukan aplikasi beasiswa, atau kiat untuk mengikuti wawancara jika sudah ada panggilan untuk seleksi lebih lanjut, saya segera tulis email jawaban berisi saran-saran sesuai dengan apa yang saya alami selama mencari dan mengikuti seleksi beasiswa.

Tentang cara untuk mencari beasiswa, tak banyak yang perlu disampaikan. Kalau saya lihat, akses terhadap informasi peluang beasiswa beberapa tahun belakangan ini jauh lebih banyak ketimbang akhir tahun 1990-an ketika pertama kali saya berupaya mencari beasiswa. Dulu saya sangat tergantung kepada informasi cetak, baik surat kabar, majalah, maupun leaflet yang dikirim ke jurusan saya. Pilihan-pilihan beasiswa seringkali juga terbatas.

Seiring dengan meluasnya penggunaan internet, informasi beasiswa ini bisa diperoleh secara sangat mudah dalam tempo yang sangat cepat. Informasi beasiswa itu kini benar-benar real-time: detik ini dipublikasikan di internet, detik itu juga informasi itu menyebar ke seluruh dunia. Pencari beasiswa kini bisa memperoleh informasi apapun yang mereka butuhkan. Mesin pencari google adalah sarana yang paling mudah digunakan untuk itu. Selain itu weblog pribadi banyak juga yang menyediakan kompilasi informasi beasiswa yang sangat handy. Saya kira ini adalah salah satu efek positif dari komersialisasi blog dengan iklan-iklan seperti adsense atau adbrite, yang memaksa si pemiliki untuk memastikan agar banyak orang berkunjung ke blognya dan meng-klik iklan yang ada di situ. Dalam iklim weblog komersial seperti itu, klik adalah uang, dan info beasiswa adalah salah satu umpan paling mujarab untuk mendatangkan pengunjung. :)

Karena info beasiswa sudah jauh lebih mudah didapat kini, saya lebih cenderung memberikan saran tentang proses seleksinya. Kepada mereka saya biasanya sampaikan beberapa saran pokok. Terkait dengan aplikasi beasiswa, saya selalu sampaikan bahwa formulir aplikasi anda adalah satu-satunya media bagi pihak penyedia beasiswa untuk mengetahui siapa anda (kecuali, tentu saja, jika anda adalah publik figur yang sudah sangat dikenal). Oleh karenanya, formulir itu harus bisa menjadi sarana untuk meyakinkan pihak yang melakukan seleksi awal bahwa anda adalah orang yang sungguh-sungguh memenuhi kualifikasi yang dikehendaki.

Yang paling penting untuk ditekankan dalam aplikasi beasiswa itu adalah catatan akademis yang pernah anda capai, dan rencana pengembangan diri secara akademik serta profesional di masa depan. List publikasi adalah lampiran yang sangat penting untuk disertakan dalam aplikasi beasiswa itu, beserta rencana penelitian (jika aplikasi itu terkait dengan research study), dan komunikasi dengan calon supervisor/profesor di lembaga pendidikan yang akan dituju. Yang paling penting untuk dilampirkan dalam aplikasi itu adalah CV yang meyakinkan. Dalam hal ini, saran saya kepada teman-teman selalu: be assertive.

Saran serupa juga berguna jika aplikasi itu lolos, dan anda dipanggil untuk mengikuti wawancara. Be assertive! Sikap merendah (apalagi berlebihan) mungkin berguna di hadapan calon mertua :) tapi bukan di hadapan tim pewawancara. Namun juga jangan kelihatan terlalu pede. Assertive adalah sikap yakin diri secara tepat dan proporsional. Tunjukkan bahwa anda tahu betul apa yang anda ketahui.

Para pewawancara biasanya adalah tim gabungan yang memiliki beragam latar belakang bidang ilmu. Jika salah seorang atau beberapa dari anggota tim itu memiliki latar belakang bidang ilmu yang sama dengan anda, tunjukkan bahwa anda menguasai asumsi-asumsi pokok dalam bidang ilmu tersebut, dan bahwa anda memiliki spesialisasi tertentu yang bisa memberikan kontribusi keilmuan jika dikembangkan lebih jauh dengan studi pascasarjana. Jika anggota tim itu tak seorangpun yang memiliki latar belakang bidang ilmu seperti yang anda punya, beri mereka 'panduan' untuk menilai seberapa jauh anda menguasai bidang ilmu tersebut.

Yang terpenting, semua itu harus genuine dan tidak dibuat-buat. Tak perlu anda berlagak tahu tentang sesuatu yang sebenarnya anda tidak tahu. Jika ini dilakukan, anda bisa terlihat sangat 'belepotan' saat wawancara, dan akibatnya bisa fatal.

Jika tahap-tahap seleksi ini sudah terlampaui, dan beasiswa yang diincar bisa didapat, sering saya sampaikan juga kepada teman-teman bahwa studi pascasarjana di luar negeri memerlukan kesungguhan yang sangat besar. Dalam hal ini, saya tak berbicara terutama tentang kesungguhan belajar. Saya percaya siapapun yang lolos seleksi beasiswa adalah mereka yang memang senantiasa sungguh-sungguh belajar. Yang saya maksudkan di sini adalah kesungguhan psikologis, dan kemampuan untuk menetapkan prioritas.

Bagi yang sudah bekerja (sebagian besar yang berangkat studi dengan beasiswa adalah mereka yang sudah bekerja), kembali menjadi mahasiswa artinya kembali ke jaman melarat. :) Kembali mengikuti pendidikan berarti terpotongnya akses finansial. Jika selama bekerja anda bisa memperoleh penghasilan berkala yang cukup besar, maka dengan dana beasiswa anda harus siap untuk hidup dengan penghasilan yang lebih terbatas. Memang bisa saja kita kuliah sambil melakukan kerja sambilan. Namun jika tidak hati-hati, pekerjaan sambilan itu bisa menyita waktu yang seharusnya dialokasikan untuk belajar. Jika alokasi waktu untuk belajar ini terganggu, studi bisa gagal, atau kalaupun tidak gagal, hasilnya bisa tidak optimal.

Selain resiko kehilangan (sebagian) akses finansial, barangkali perlu juga anda persiapkan kemungkinan resiko lain seperti yang baru saja saya alami, yakni terkena backpain dan neckpain yang lumayan mengganggu.

Keluhan ini mulai saya rasakan beberapa minggu lalu. Setiap bangun tidur saya merasakan pegal di leher, yang terkadang terasa di kepala saya. Rasa ini akan hilang dengan sendirinya dalam beberapa menit setelah saya bangun. Lama kelamaan rasa pegal itu mulai terasa pula di pundak dan punggung atas. Kadang rasanya begitu berat. Karena itu saya pergi ke dokter untuk mengkonsultasikan keluhan itu.

Saya diperiksa secara menyeluruh oleh dokter. Ia juga menanyakan berapa hal, termasuk berapa jam saya tidur dalam sehari, berapa jam duduk dalam sehari, apa saja yang terutama dikerjakan, merokok apa tidak, dst. Saya jelaskan bahwa saya tidur kira-kira 6-7 jam semalam, dan bahwa sehari-hari saya lebih banyak menghabiskan waktu dengan laptop saya untuk mengerjakan thesis PhD, dan bahwa saya tidak merokok.

Dokter lalu mengatakan bahwa nampaknya otot leher dan punggung atas saya mengalami ketegangan akibat duduk dalam posisi yang tidak ergonomis. Ia menjelaskan bahwa bekerja di depan kompuer (apalagi laptop) sebenarnya memaksa kita untuk duduk dalam posisi salah. Karena itu jika sedang bekerja di depan komputer, paling tidak setiap satu jam kita harus berhenti sejenak, melakukan peregangan dan merilekskan otot-otot leher, pundak dan lengan, dan juga mata. Untuk mengatasi ketegangan otot punggung, leher dan pundak yang saya alami itu, kata dokter saya memerlukan fisioterapi.

Jadi, jika nanti ada teman atau mantan mahasiswa saya yang meminta saran tentang rencana mereka untuk melanjutkan studi pascasarjana, mungkin saya akan beri saran tambahan: jangan lama-lama bekerja di depan komputer. :)


...baca selengkapnya
12 Sept 2007
Korupsi: Haram atau Wajib?
Kalau bicara pada tataran normatif, tentu saja korupsi haram. Korupsi adalah perbuatan yang bisa menimbulkan ke-mudlarat-an sosial luar biasa. Ia adalah dosa sosial yang tak mudah terampuni. Kalau menurut kaidah agama, selama masih ada orang yang menderita karena perbuatan korupsi, selama itu pulalah dosa sang koruptor terus tumbuh. Korupsi adalah dosa yang tak bisa dihapus dengan istighfar.

Tapi dalam dunia politik, barangkali ada kala dimana korupsi sudah tak terasa haram lagi, dan alih-alih malah menjadi suatu kewajiban. Kadang dalam dunia politik, korupsi menjadi aksesori yang tak terhindarkan.

***

Suatu ketika, seorang multiplier, Imam Isnaini, memposting sebuah kisah menarik tentang kejujuran beberapa orang korban lumpur di Sidoarjo. Berikut ini saya kutip cerita lengkapnya:

Tadi pagi saya kagum sekaligus terharu pada warga korban lumpur di Sidoarjo karena bersedia mengembalikan kelebihan pembayaran ganti rugi lahan miliknya. Di saat-saat yang sulit ternyata mereka masih mempunyai hati nurani, tidak menggunakan yang bukan hak mereka.

Saya mencoba mencari-cari berita tentang pengembalian ini. Ternyata, sebelumnya sudah ada beberapa warga yang melakukan hal serupa. Salah satunya adalah Waras, warga Desa Siring. Uang yang dikembalikan terbilang besar Rp 429,4 juta.

Setelah Waras kemudian menyusul Lestari dan Yayuk, keduanya warga Perum TAS. Lestari mengembalikan Rp 32 juta, sedangkan Yayuk sebesar Rp 25,2 juta.

Sikap yang ditunjukkan korban lumpur Sidoarjo seolah membuktikan gurauan yang sering saya dengar, sebenarnya korupsi itu dilakukan bukan oleh orang-orang yang kekurangan, tetapi oleh orang-orang yang bergelimang harta.

Imam benar, bahwa korupsi adalah tindak pencurian yang hanya mungkin dilakukan oleh orang yang kaya dan punya kuasa. Korupsi tak mungkin dilakukan oleh mereka yang miskin dan tak punya kuasa. Orang miskin hanya bisa mencopet, merampok, dan semacamnya. Korupsi? Noway! Kita perlu modal bernama kuasa untuk bisa korupsi.

Untuk bisa melakukan korupsi, kita harus memiliki akses terhadap alokasi keuangan secara otoritatif. Akses terhadap alokasi keuangan ini bisa bersifat langsung (dalam arti kita memegang pengelolaan keuangan) bisa pula bersifat tak langsung (dalam arti kita mengendalikan proses kebijakan atau politik yang memiliki implikasi keuangan). Tentu kita pernah mendengar ucapan seorang sejarawan Inggris di awal abad ke-20, Lord Acton, bahwa "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely". Ucapan ini secara tepat menggambarkan watak kekuasaan yang cederung untuk 'rusak' atau 'merusak' (yakni makna asli kata 'corrupt' yang merupakan akar kata corruption atau korupsi itu). Dalam sebuah struktur kekuasaan yang tidak imbang dan tak ada pengawasan efektif, korupsi hampir bisa dipastikan terjadi.

Yang perlu dicatat, korupsi nyaris tak ada hubungannya dengan moral individual. Artinya kita bisa saja sebenarnya orang baik secara individual, namun jika kita masuk dalam sebuah struktur kuasa, maka kita sangat rentan terhadap sedotan arus-putar korupsi.

Politik, pada intinya, adalah sebuah bisnis berbiaya tinggi. Kita pasti pernah dengar bahwa biaya untuk pencalonan seseorang menjadi bupati atau gubernur bisa sampai trilyunan rupiah. Mungkinkan seorang kandidat memiliki uang pribadi untuk membiayai semua itu? Tentu tidak. Yang mereka lakukan biasanya mengumpulkan dana dari berbagai pihak, yang nantinya akan dikembalikan jika si kandidat terpilih sebagai pejabat politik. Pengembaliannya tak harus berupa uang tunai; kebanyakan justru berupa kebijakan dan alokasi anggaran yang akan menguntungkan si pemberi biaya politik saat pencalonan. Ini adalah salah satu bentuk korupsi.

Kalau anda punya bapak/ibu, atau kakak, atau suami/istri yang politisi atau pejabat (atau barangkali anda sendiri seorang politisi atau pejabat?), cobalah anda tanyakan apakah mereka pernah terlibat atau minimal pernah melihat tindak korupsi. Kalau mereka jujur, saya yakin jawaban mereka adalah: pernah; minimal pernah melihat, tapi tak bisa berbuat terlalu banyak.

Dalam praktek korupsi, biasanya sangat banyak pihak dan kepentingan yang dilibatkan. Karenanya urusan penanganan korupsi bukanlah barang mudah. Jangan heran kita jika ada kasus korupsi yang jumlahnya sangat fantastik namun hukum tak berdaya menyentuhnya.

Modus operandi seorang koruptor tulen adalah: kita ambil uang 100, kita pakai sendiri 10, lalu kita bagi-bagikan lagi yang 90 kepada banyak pihak dalam struktur kuasa dimana kita berada. Semakin banyak jejalur koneksi yang bisa kita buat dengan yang 90 itu, semakin amanlah kita. Hanya koruptor kacangan yang akan mencuri 10 dan memakan semua hasil curiannya sendiri.

Kalau ada pejabat politik yang terjaring oleh proses hukum karena tindak pindana korupsi, dan angka korupsinya tersimak 'janggal' dan 'tanggung', kita patut menduga bahwa pejabat politik itu tak cukup menerapkan metode curi-dan-bagi seperti di atas. Atau kemungkinan lain, pejabat dimaksud sedang akan disingkirkan dari posisi dan karier politiknya. Jerat tuduhan korupsi adalah cara paling mudah untuk menyingkirkan saingan politik. Dengan kata lain, seorang pejabat atau politisi yang terkena jaring anti korupsi kemungkinan besar sudah tak lagi memiliki cantolan politik kuat akibat ia tak bisa merawatnya dengan baik. Selama ia masih memiliki cantolan politik kuat, tuduhan korupsi biasanya mudah ditepis.

Dengan logika yang sama, bisa pula dikatakan bahwa seringkali korupsi adalah kunci terhadap kemampuan kita untuk bertahan secara politik atau bertahan dalam jabatan dan pekerjaan yang dipunyai. Jika kita berada dalam sebuah sistem yang korup, jangankan melawan, kadangkala jika tak ikut berlaku korup kita akan tersingkir dengan segera. Karena itu, menindak koruptor tanpa membongkar keseluruhan sistem yang korup itu adalah sia-sia.

Saya pernah melakukan penelitian tentang aparat keamanan di sebuah kota di Jawa Timur. Di sana, sudah bukan rahasia lagi bahwa kepolisian membekingi peredaran narkoba dan perjudian gelap. Para penjudi dan pengedar narkoba memberikan setoran secara rutin (='berkoordinasi' kata mereka) dengan petugas kepolisian mulai tingkat polsek hingga polwil. Setiap polisi yang bertugas di kota ini tahu betul bahwa mereka harus terkoneksi dengan sistem korup seperti itu. Melawan? Tak seorangpun berani. Jangankan melawan, jika kita anggota kepolisian di sana dan mencoba mengisolasi diri dari praktek korup itu, tak lama kemudian kita pasti akan dimutasi ke tempat lain. Istilah seorang polisi di sana, "di-P***t*n-kan" (merujuk pada nama sebuah kota kecil tak jauh dari kota yang saya maksud ini; artinya kita akan dibuang ke kota kecil itu).

Dalam hal ini, korupsi sudah menjadi kewajiban. Kalau anda seorang politisi atau pejabat pemerintah, anda akan paham apa yang saya maksud. Kalau anda bukan politisi atau pejabat, anda akan paham bahwa inilah akar ungkapan 'politik itu kotor'.

Tapi benarkah bahwa politik itu kotor? Kita akan diskusikan di tulisan lainnya nanti.

...baca selengkapnya
11 Sept 2007
Selamat Ramadlan

Kami sekeluarga mengucapkan selamat menyongsong bulan Ramadlan.

Semoga kita bisa menggunakan saat-saat berharga ini untuk membersihkan diri,
hati dan perbuatan.

Semoga kita bisa menguatkan cinta, dan kesungguhan untuk mengikuti suri-tauladan
junjungan kita Muhammad s.a.w. yang menerima inaugurasi kerasulan-nya dalam bulan mulia ini.

Semoga shalawat dan salam senantiasa Allah anugerahkan kepadanya,
dan kepada seluruh ahlulbayt-nya.

Semoga pula safaat senantiasa terlimpahkan kepada seluruh sahabatnya,
dan seluruh pengikutnya hingga akhir zaman.

Allahumma amin.


...baca selengkapnya
6 Sept 2007
Bani Syarqawi
Ini tema yang pernah saya angkat di paper yang saya presentasikan bulan Pebruari lalu di Voices of Islam in Southeast Asia (VISEA) di Walailak University, Nakhon Si Thammarat, Thailand. Bani Syarqawi adalah nickname yang kadangkala digunakan untuk merujuk sebuah kelompok elit politik berbasis pesantren yang sangat kuat di Sumenep, dan mendominasi politik dan pemerintahan di kota ini khususnya sejak tahun 1999. Nama Bani Syarqawi mengacu pada kalangan yang memiliki ikatan genealogis pada seorang tokoh ulama penting yang hidup di Sumenep pada abad ke-19 bernama Kiai Syarqawi--namun secara longgar istilah itu juga mengacu pada mereka yang memiliki kaitan pendidikan atau hubungan guru-murid dengan jejaring pesantren yang terkait dengan Kiai Syarqawi.

Salah satu area di An Nuqayah -- gambar di-link dari http://www.manalagi.com/jamesplace/indonesia/madura/school.htmlSentra jejaring ini adalah sebuah pesantren besar bernama An Nuqayah yang terletak di desa Luk-Guluk (kadang ditulis sebagai Guluk-Guluk, namun pelafalan yang lazim menurut kaidah bahasa Madura adalah Luk-Guluk).

Pesantren ini memiliki sejarah panjang. Ia dimulai dengan sebuah kejadian yang nyaris tanpa sengaja.

Suatu ketika, seorang ulama dan pedagang dari Parenduan, sebuah desa di pesisir selatan Sumenep, pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Dalam perjalanan di kapal laut, ulama ini berkenalan dengan sorang ulama lain yang lebih muda, berasal dari kota Kudus. Ulama Parenduan ini sangat terkesan dan segera menjadi sangat dekat dengan si ulama muda dari Kudus.

Ketika berada di tanah suci, si ulama asal Parenduan jatuh sakit. Ia merasa ajalnya sudah dekat, sehingga berpesanlah ia pada kawan barunya dari Kudus itu, agar si kawan bersedia menikahi istrinya jika Allah berkenan memanggil-nya pulang saat berada di tanah suci. Ketika Kiai Gemma, si ulama asal Parenduan itu meninggal, maka Mohammad Syarqawi, si ulama muda asal Kudus itu, menikahi jandanya pasca 'iddah dan kemudian turut pulang ke Parenduan.

Di desa inilah Kiai Syarqawi mendirikan sebuah pesantren kecil untuk memulai kegiatan dakwah dan pendidikan keagamaan. Tak lama berada di sana ia sudah dikenal sebagai ulama yang handal. Namun, beberapa tekanan sosial sedikit memaksa Kiai Syarqawi untuk memikirkan relokasi pesantrennya. Ia kemudian memutuskan untuk pindah ke arah utara, ke desa Luk-guluk. Pesantrennya di Parenduan kemudian dilanjutkan oleh Kiai Chotib, dan kelak akan berkembang menjadi pesantren modern Al Amin (yang menerapkan manajemen dan metode serupa di Gontor).

Peta SumenepDi Luk-guluk kiai Syarqawi memulai sebuah pesantren di area bekas sebuah kandang kuda. Catatan tertulis menyebutkan bahwa Kiai Syarqawi mendirikan pesantren ini pada tahun 1887. Di sini pulalah ia memulai sebuah network genealogis penting.

Kiai Syarqawi memiliki sejumlah istri. Beberapa sumber menyebutkan ia memiliki total 6 istri--istri kelima dan keenam dinikahi setelah dua istrinya yang pertama meninggal. Catatan silsilahnya menyebutkan Kiai Syarqawi memiliki 25 orang putra dan putri, baik di Kudus (dari istri pertamanya) maupun di Sumenep.

Keturunan yang di Sumenep itulah yang sejak awal abad ke-20 mulai membangun jejaring elit ulama di kota kecil ini, berpusat di pesantren kiai Syarqawi yang tak lama kemudian berkembang menjadi sebuah compound yang terdiri dari beberapa sub-pesantren. Ketika kiai Syarqawi meninggal pada tahun 1910, pimpinan pesantren ini dilanjutkan oleh putra-putranya, kiai Bukhori dan kiai Idris. Saat itu beberapa putra-nya yang lain masih menempuh pendidikan di berbagai pesantren di Jawa, Madura, dan Timur Tengah.

Tahun 1920an, sejumlah putra almarhum kiai Syarqawi pulang ke Luk-guluk usai menyelesaikan pendidikan. Masing-masing kemudian membangun pesantren sendiri dalam compound warisan sang ayah. Kiai Ilyas mendirikan pesantren di area yang kini dikenal sebagai Lubangsa, berdekatan dengan area asli pesantren kiai Syarqawi yang disebut sebagai Dhalem Tenga (=Gedung Tengah). Kiai Abdullah Sajjad kemudian mendirikan pesantrennya sendiri di area yang kini dikenal sebagai Latee. Sementara itu seorang menantu (yang sekaligus dulunya adalah santri) kiai Syarqawi bernama kiai Hussaini mendirikan pesantren di area yang berdekatan namun tak lagi termasuk dalam compound inti kiai Syarqawi, yakni pesantren Al Furqan di Sabajarin.

Pada pertengahan tahun 1930-an terjadi beberapa perkembangan penting terhadap pesantren-pesantren ini. Perkembangan utama adalah mulai dibentuknya lembaga konfederasi terhadap pesantren-pesantren Lubangsa, Al Furqan dan Latee, yang diberi nama An Nuqayah. Nama ini diambil dari judul sebuah kitab karya Jalaluddin al Suyuti yang berisikan 14 bab tentang ilmu pengetahuan. Perkembangan lain yang juga penting adalah mulai digunakannya sistem madrasi untuk melengkapi sistem sorogan dan wetonan yang sudah digunakan sejak era kiai Syarqawi. Sistem madrasi ini diperkenalkan oleh kiai Khazin, putra kiai Ilyas.

Pada awal tahun 1960-an, kiai Hasan Bashri, salah seorang menantu kiai Ilyas, menambahkan lagi satu pesantren terhadap konfederasi An Nuqayah ini. Pesantren ini didirikan di area yang kini dikenal sebagai Nirmala. Sedikit berbeda dari keluarga besar kiai Syarqawi, kiai Hasan Bashri adalah ulama yang memiliki visi terbuka tentang mazhab fiqh, dan tidak secara khusus menganggap mazhab Syafii lebih superior dibandingkan mazhab lainnya.

Beberapa tahun setelah Nirmala, kiai Ishomuddin, putra kiai Abdullah Sajjad mendirikan satu lagi pesantren, sementara kakaknya kiai Basyir meneruskan kepemimpinan di Latee. Kini terdapat lima pesantren dalam gugus An Nuqayah.

Di luar kelima pesantren dalam sentra jaringan putra-putra kiai Syarqawi ini, sejumlah pesantren lain juga didirikan baik oleh menantunya, maupun mantan murid-muridnya, dengan tetap menjaga afiliasi sosial kepada An Nuqayah. Ini turut menguatkan jejaring sekaligus kompetisi di antara kelompok elit agama yang kian lama kian besar ini.

Dari generasi pertama, salah satu menantu kiai Syarqawi bernama kiai Imam merupakan akar dari salah satu ekstensi jejaring Bani Syarqawi. Putri kiai Imam menikah dengan kiai Ali Wafa yang memiliki pesantren di sebuah desa pesisir utara bernama Ambunten. Kelak pesantren ini (sekarang bernama Al Aswaja) menjadi sangat penting secara sosial dan politik, sebab sebagian besar santri dan jaringan sosialnya menyebar di area kepulauan Sumenep. Cucu kiai Ali Wafa saat ini adalah Ketua PKB di Sumenep.

Dari generasi kedua, putri kiai Ilyas menikah dengan kiai Siradjudin yang mendirikan pesantren Nurul Islam di Bluto, sebuah desa ke arah selatan Luk-Guluk. Pimpinan pesantren Nurul Islam, putra kiai Siradjudin bernama kiai Ramdlan, adalah Bupati Sumenep sejak tahun 2000.

Di DPRD sejumlah cucu kiai Syarqawi juga memainkan peran penting. Tokoh paling menonjol, dengan karier politik paling panjang, adalah kiai Warits Ilyas yang pernah menjadi anggota MPR dan kini memegang jabatan sebagai Wakil Ketua DPRD Sumenep. Ulama dan politisi senior ini kerap menunjukkan kualitas-nya sebagai playmaker politik handal.

Bani Syarqawi, sebuah elit berbasis agama, telah mentransformasi diri menjadi elit politik.

...baca selengkapnya
5 Sept 2007
Aksara Jawa
Dibuatkan oleh teman saya, Balza Achmad, beginilah nama saya Abdul Gaffar Karim jika ditulis dalam aksara Jawa:



Sedangkan Universitas Gadjah Mada, seperti ini tulisannya dalam aksara Jawa:



Tambahan:

Setelah posting ini di-publish, saya jadi ingat bahwa dulu waktu ke Thailand saya pernah minta dituliskan nama saya dalam huruf Thai. Jadinya seperti ini:



...baca selengkapnya