Beberapa tahun lalu, mungkin beberapa belas tahun lalu, pakar pendidikan Prof. Arif Rahman pernah bilang kira-kira begini:
Salah satu masalah pendidikan di Indonesia adalah sistem ujian dan sistem ranking yang sangat menekan serta memberatkan siswa. Kedua sistem itu mendorong siswa hanya untuk menjadi penghafal, dan sekaligus membuat siswa terbelenggu kompetisi yang melelahkan dan tidak sehat. Dalam sebuah kelas, sistem ranking membuat kira-kira lima orang siswa merasa pandai, dan 35 orang lainnya merasa bodoh. Sistem ini melahirkan bangsa yang tidak percaya diri.
(Pak Arif mohon maaf kalau kutipannya tidak persis; sebab saya cuma me-recall ingatan saja...)
Waktu itu saya tak bisa memahami sepenuhnya apa yang dimaksud oleh Pak Arif. Bagi saya waktu itu, tidak masuk akal rasanya kalau sekolah tanpa ujian dan tanpa ranking. Lha, bagaimana siswa harus naik kelas? Bagaimana mereka dinilai? Bagaimana mereka mengetahui posisi pencapaian-belajar mereka dalam sebuah kelas? Dll, dsb, etc; masih banyak lagi serentetan keberatan saya terhadap pendapat itu--waktu itu.
Memang saya merasa, sekolah (terutama di masa SMA) sama sekali tak menyenangkan. Saya berangkat tiap pagi ke sekolah semata-mata karena ingin bertemu dengan kawan-kawan. Keinginan belajar? Hah, minim sekali, sebab ruang kelas dan mata pelajarannya sama sekali tak menyenangkan.
Seingat saya, PR dan ujian adalah dua hal paling menyebalkan di sekolah. Saya selalu berpikiran, namanya belajar matematika, fisika dll itu ya di sekolah saja. Di rumah, saya mending baca novel, buku sejarah, atau biografi orang-orang yang saya sukai. Mengerjakan PR dan belajar untuk ujian adalah buang-buang waktu. Saya ikhlas saja kalau sering diomeli guru karena sangat malas mengerjakan PR. Diomeli kan tidak lama; tapi mengerjakan PR di rumah itu mengganggu kebahagiaan :) :)
Jadi, saya tahu bahwa sekolah memang melelahkan dan menyebalkan. Tapi sekolah tanpa ujian dan tanpa sistem ranking? Sama sekali tak terbayangkan.
Tapi begitu saya melihat bagaimana anak saya bersekolah di primary school di Perth setelah menyelesaikan pre-primary tahun lalu, tahulah saya apa yang dimaksud Pak Arif waktu itu.
Murid di primary school itu tidak dipusingkan oleh tes hasil belajar, ulangan umum bersama, dan segala macam ujian. Mereka tak kenal ranking atau ulangan umum untuk kenaikan kelas. Setiap siswa akan naik kelas secara otomatis setiap tahun. Kalau ada siswa yang baru masuk, ia akan ditempatkan di kelas yang sesuai dengan umurnya. Jika ia mesti mengejar sesuatu pelajaran (bahkan kalau harus mengejar kemampuan bahasa Inggrisnya kalau ia baru tiba dari negara lain), sekolah akan membimbing secara khusus.
Belajar nampak selalu menyenangkan buat murid-murid itu. Mereka belajar dengan cara bermain untuk mengenali pengetahuan dan mengembangkan kreatifitas. Memang ada homework, tapi saya lihat bentuknya berbeda dari yang ada di Indonesia. Murid-murid itu diberi tugas membaca, dan mereka boleh memilih sendiri bukunya, dan boleh diselesaikan kapan saja. Kadang mereka melakukan penelitian kecil-kecilan di internet untuk membuat cerita ringkas tentang suatu topik. Tak ada penilaian 0 sampai 10 untuk PR itu. Semua akan dinilai secara kualitatif oleh guru (yang selalu murah-hati dengan pujian untuk setiap karya murid-muridnya).
Setiap akhir term, murid akan menerima assessment secara kualitatif tentang kemajuan belajar dia. Tak ada ranking. Tak ada murid yang bersedih karena rankingnya rendah. Tak ada murid yang kegirangan karena depresi-nya selama satu semester terbayar dengan perolehan ranking satu. Tak ada bapak-ibu yang nyinyir membanggakan ranking anaknya.
Setelah belasan tahun berlalu, kini saya mengerti apa yang dimaksud Pak Arif Rahman.
...baca selengkapnya
31 July 2007
Sekolah
24 July 2007
Sore di Kakaskasen
Tadi malam saya berusaha mengingat-ingat dan mencari tahu lewat google, bagaimana sebenarnya hidung kita mendeteksi bebauan, dan mengapa bebauan itu sangat mudah memanggil kenangan. Saya menemukan beberapa info tentang bagaimana nostril kita bekerja untuk mengenali dan mendefinisikan bebauan. Saya menemukan pula bahwa kenangan yang datang karena kita mencium bebauan itu kerap disebut pula sebagai Proustian memory, mengacu pada novelis Marcel Proust, yang dalam novelnya Swan's Way melukiskan datangnya kenangan akibat bebauan itu dengan sangat memukau.
Saya mencari informasi tentang bebauan dan kenangan itu karena siang tadi di kampus, saya membaui sesuatu dan tiba-tiba saja sebuah kenangan datang tanpa bisa dihalau. Teman satu ruangan saya, Anton Birowo, dosen Universitas Atmajaya yang juga sedang ambil PhD di Curtin University, siang tadi menyeduh indocafe coffee mix. Aroma kopi 3-in-1 itu segera memenuhi ruangan kami, dan saya tertegun sebab aroma itu mengingatkan saya pada sesuatu.
Bukan sekali-dua kali saja saya minum indocafe coffee mix itu di Indonesia. Tapi entah kenapa, aroma kopi itu siang kemarin membawa saya pada kenangan akan suatu sore di Kakaskasen.
Kakaskasen adalah nama sebuah desa di Kota Tomohon, Sulawesi Utara. Ketika melakukan penelitian di Manado untuk keperluan disertasi, saya kerap kali pergi ke Tomohon yang terletak kita-kira satu jam perjalanan dari Manado ini. Sebab utamanya adalah karena Sinode GMIM terletak di kota kecil yang indah ini. Saya harus menemui dan mewawancarai banyak tokoh GMIM di kota ini.
Salah satu tokoh --meski kini tak berada dalam struktur formal-- GMIM yang sangat mengesankan bagi saya adalah Dr. Bert Adriaan Supit yang biasa dipanggil sebagai dokter Supit. Ia adalah tokoh yang memiliki pandangan politik khas, yang berbeda dari cara berpikir umum tokoh GMIM. Seperti kebanyakan orang Minahasa, dokter Supit adalah sosok yang asertif, hangat, dan egaliter.
Saya pertama kali menemui dokter Supit pada suatu sore di kantor ICRES (Institute of Community Research and Empowerment), sebuah LSM yang turut didirikannya. Kantor ICRES ini terletak di Kakaskasen, tak jauh dari Kantor Walikota Tomohon. Di area depan kantor LSM ini terdapat pula Perpustakaan AZR Wenas yang juga menjadi alasan lain mengapa saya datang ke sana.
Bangunan kantor ICRES adalah khas Minahasa--sebuah rumah panggung yang terbuat dari kayu. Saya berbincang-bincang dengan dokter Supit dan sebelumnya dengan Veldy Umbas, direktur ICRES, di sebuah ruangan yang jendelanya menghadap ke pemandangan lembah hijau berlatar belakang Gunung Lokon yang sangat indah di bagian barat kota Tomohon.
Di tengah-tengah buaian angin sore Kakaskasen yang sejuk, dan pemandangan sangat memukau di jendela, bincang-bincang dengan dokter Supit terasa hangat, sebab tokoh senior ini selalu bicara dengan antusias dan kadang meledak-ledak.
Kita berbicara tentang peran politik gereja, dimana dokter Supit menganggap bahwa gereja harus memiliki sikap dan suara politik tegas agar tak mudah dimanfaatkan oleh tarik-menarik kekuasaaan dan politik praktis. Kita berbincang pula tentang federalisme. Dokter Supit memiliki keyakinan bahwa federalisme adalah format yang lebih tepat diterapkan di Indonesia ketimbang unitarianisme. Ia, dalam hal ini, mengingatkan saya pada Prof. Amien Rais dulu.
Usai berdiskusi, dokter Supit memberi saya dua buku karyanya (satu autobiografi dan satu buku kumpulan tulisan) serta beberapa copy jurnal Nga'asan.
Selama berbincang-bincang hingga senja ini, kami ditemani oleh sepiring pisang goreng khas Minahasa, dan cangkir-cangkir berisi indocafe coffee mix. Itulah sebabnya, aroma kopi ini kemarin membawa kenangan saya kembali pada saat-saat mengesankan di Kakaskasean, sore itu.
Lain kali ingin saya bisa kembali ke sana, tapi untuk berlibur tanpa harus memikirkan penelitian...
...baca selengkapnya
Saya mencari informasi tentang bebauan dan kenangan itu karena siang tadi di kampus, saya membaui sesuatu dan tiba-tiba saja sebuah kenangan datang tanpa bisa dihalau. Teman satu ruangan saya, Anton Birowo, dosen Universitas Atmajaya yang juga sedang ambil PhD di Curtin University, siang tadi menyeduh indocafe coffee mix. Aroma kopi 3-in-1 itu segera memenuhi ruangan kami, dan saya tertegun sebab aroma itu mengingatkan saya pada sesuatu.
Bukan sekali-dua kali saja saya minum indocafe coffee mix itu di Indonesia. Tapi entah kenapa, aroma kopi itu siang kemarin membawa saya pada kenangan akan suatu sore di Kakaskasen.
Kakaskasen adalah nama sebuah desa di Kota Tomohon, Sulawesi Utara. Ketika melakukan penelitian di Manado untuk keperluan disertasi, saya kerap kali pergi ke Tomohon yang terletak kita-kira satu jam perjalanan dari Manado ini. Sebab utamanya adalah karena Sinode GMIM terletak di kota kecil yang indah ini. Saya harus menemui dan mewawancarai banyak tokoh GMIM di kota ini.
Salah satu tokoh --meski kini tak berada dalam struktur formal-- GMIM yang sangat mengesankan bagi saya adalah Dr. Bert Adriaan Supit yang biasa dipanggil sebagai dokter Supit. Ia adalah tokoh yang memiliki pandangan politik khas, yang berbeda dari cara berpikir umum tokoh GMIM. Seperti kebanyakan orang Minahasa, dokter Supit adalah sosok yang asertif, hangat, dan egaliter.
Saya pertama kali menemui dokter Supit pada suatu sore di kantor ICRES (Institute of Community Research and Empowerment), sebuah LSM yang turut didirikannya. Kantor ICRES ini terletak di Kakaskasen, tak jauh dari Kantor Walikota Tomohon. Di area depan kantor LSM ini terdapat pula Perpustakaan AZR Wenas yang juga menjadi alasan lain mengapa saya datang ke sana.
Bangunan kantor ICRES adalah khas Minahasa--sebuah rumah panggung yang terbuat dari kayu. Saya berbincang-bincang dengan dokter Supit dan sebelumnya dengan Veldy Umbas, direktur ICRES, di sebuah ruangan yang jendelanya menghadap ke pemandangan lembah hijau berlatar belakang Gunung Lokon yang sangat indah di bagian barat kota Tomohon.
Di tengah-tengah buaian angin sore Kakaskasen yang sejuk, dan pemandangan sangat memukau di jendela, bincang-bincang dengan dokter Supit terasa hangat, sebab tokoh senior ini selalu bicara dengan antusias dan kadang meledak-ledak.
Kita berbicara tentang peran politik gereja, dimana dokter Supit menganggap bahwa gereja harus memiliki sikap dan suara politik tegas agar tak mudah dimanfaatkan oleh tarik-menarik kekuasaaan dan politik praktis. Kita berbincang pula tentang federalisme. Dokter Supit memiliki keyakinan bahwa federalisme adalah format yang lebih tepat diterapkan di Indonesia ketimbang unitarianisme. Ia, dalam hal ini, mengingatkan saya pada Prof. Amien Rais dulu.
Usai berdiskusi, dokter Supit memberi saya dua buku karyanya (satu autobiografi dan satu buku kumpulan tulisan) serta beberapa copy jurnal Nga'asan.
Selama berbincang-bincang hingga senja ini, kami ditemani oleh sepiring pisang goreng khas Minahasa, dan cangkir-cangkir berisi indocafe coffee mix. Itulah sebabnya, aroma kopi ini kemarin membawa kenangan saya kembali pada saat-saat mengesankan di Kakaskasean, sore itu.
Lain kali ingin saya bisa kembali ke sana, tapi untuk berlibur tanpa harus memikirkan penelitian...
...baca selengkapnya
21 July 2007
'Ask Your Heart'
Saya termasuk yang percaya betul bahwa kebenaran bisa didapat dari mana saja. Dalam keyakinan Islam, perintah dan petunjuk Allah ada dalam ayat qauliah (yakni kitab-kitab suci-Nya) dan dalam ayat kauniah (yakni fenomena alam --dan sosial-- yang akan memetakan kebenaran bagi sesiapapun yang mau mempelajarinya). Kedua ayat itu memiliki pintu dengan satu anak kunci yang sama, yakni kemampuan untuk membaca --baik membaca aksara maupun membaca fenomena-- dan hati yang senantiasa terbuka.
Karena itu bagi saya, nilai-nilai kebenaran tak hanya bisa kita peroleh dari khutbah-khutbah Jumat misalnya (jujur saja saya sering ketiduran di masjid di hari Jumat, tepat saat khatib berkhutbah). Saya kerap merasakan cahaya kebenaran dari rasa ingin-tahu dan pertanyaan anak-anak saya. Rasa takut dan rasa sakit kerap pula bekerja seperti mesin pemeras yang membawa kita pada satu tetes kebenaran. Obrolan ringan dengan orang lain tak jarang pula memberi inspirasi kita pada suatu kebenaran. Tempo hari, kalimat-kalimat seorang penjaga restoran memberi saya bahan renungan yang sangat dalam.
Di Perth, di sisi Swan River tak jauh dari Swan Bells yang merupakan landmark kota ini, ada sebuah restoran India prasmanan bernama Annalakshmi. Restoran ini berada di lokasi yang sangat strategis yang memungkinkan kita menikmati masakan India sambil memandangi kesibukan di Swan River yang meliuk lebar ke arah kota pelabuhan Fremantle. Masakannya lezat-lezat, dan yang unik, kita boleh makan sepuasnya dan membayar berapa saja kita suka. Satu dolarpun akan diterima dengan senang hati oleh sang kasir yang, sebagaimana pekerja lainnya di restoran ini, adalah sukarelawan.
Pertama kali saya dan Miming ke sana, kami rada kagok juga dengan sistem pembayaran sukarela seperti itu. Karena tidak yakin, saat membayar kami tanya kepada kasir, apa betul kami boleh membayar berapa saja, tanpa ada batas minimal? Jawaban kasir ini sangat menarik.
Dia bilang kira-kira begini: "You pay as you feel it is alright. The amount of money is not the biggest matter; what your heart feel is more important. So, ask your heart."
Ask your heart. Kata-kata ini begitu berkesan bagi saya semenjak itu. Saya sering menggunakannya untuk mengingatkan diri saya untuk senantiasa berlaku jujur, serta bersikap dan berpikir adil. Tiap kali saya berada dalam keraguan, saya ingatkan diri sendiri untuk ask my heart.
Ask your heart. Kata-kata ini begitu sederhana dan nampak mudah dilakukan. Tapi kerap saya dapati diri kita sulit mendengarkan jawaban jujur dari hati kita sendiri. Barangkali kita sudah terlanjur terbiasa mendustai diri.
Ask your heart. Kalau saja semua orang bersedia melakukannya...
...baca selengkapnya
Karena itu bagi saya, nilai-nilai kebenaran tak hanya bisa kita peroleh dari khutbah-khutbah Jumat misalnya (jujur saja saya sering ketiduran di masjid di hari Jumat, tepat saat khatib berkhutbah). Saya kerap merasakan cahaya kebenaran dari rasa ingin-tahu dan pertanyaan anak-anak saya. Rasa takut dan rasa sakit kerap pula bekerja seperti mesin pemeras yang membawa kita pada satu tetes kebenaran. Obrolan ringan dengan orang lain tak jarang pula memberi inspirasi kita pada suatu kebenaran. Tempo hari, kalimat-kalimat seorang penjaga restoran memberi saya bahan renungan yang sangat dalam.
Di Perth, di sisi Swan River tak jauh dari Swan Bells yang merupakan landmark kota ini, ada sebuah restoran India prasmanan bernama Annalakshmi. Restoran ini berada di lokasi yang sangat strategis yang memungkinkan kita menikmati masakan India sambil memandangi kesibukan di Swan River yang meliuk lebar ke arah kota pelabuhan Fremantle. Masakannya lezat-lezat, dan yang unik, kita boleh makan sepuasnya dan membayar berapa saja kita suka. Satu dolarpun akan diterima dengan senang hati oleh sang kasir yang, sebagaimana pekerja lainnya di restoran ini, adalah sukarelawan.
Pertama kali saya dan Miming ke sana, kami rada kagok juga dengan sistem pembayaran sukarela seperti itu. Karena tidak yakin, saat membayar kami tanya kepada kasir, apa betul kami boleh membayar berapa saja, tanpa ada batas minimal? Jawaban kasir ini sangat menarik.
Dia bilang kira-kira begini: "You pay as you feel it is alright. The amount of money is not the biggest matter; what your heart feel is more important. So, ask your heart."
Ask your heart. Kata-kata ini begitu berkesan bagi saya semenjak itu. Saya sering menggunakannya untuk mengingatkan diri saya untuk senantiasa berlaku jujur, serta bersikap dan berpikir adil. Tiap kali saya berada dalam keraguan, saya ingatkan diri sendiri untuk ask my heart.
Ask your heart. Kata-kata ini begitu sederhana dan nampak mudah dilakukan. Tapi kerap saya dapati diri kita sulit mendengarkan jawaban jujur dari hati kita sendiri. Barangkali kita sudah terlanjur terbiasa mendustai diri.
Ask your heart. Kalau saja semua orang bersedia melakukannya...
...baca selengkapnya
19 July 2007
Gus Dur, Lagi-lagi...
[Catatan ini dimuat di harian Kedaulatan Rakyat]
Konflik di 'sayap politik' NU rupanya masih jauh dari usai. Hingar-bingar rivalitas politik masih saja terdengar dari sana. Baru-baru ini kita melihat letupan konflik yang sangat terbuka antara Gus Dur dan Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PKB yang sebelumnya kadang disebut-sebut sebagai 'anak ideologis' Gus Dur.
Padahal rasanya baru kemarin, dalam konfliknya dengan Gus Ipul, Muhaimin tampak dimanja dengan dukungan dari Gus Dur. Kini Gus Dur tak lagi percaya dan tak bersedia memberikan dukungan pada Muhaimin, dan alih-alih menudingnya sebagai agen SBY yang hendak menyingkirkan deklarator PKB ini dari jabatan Ketua Dewan Syuro. Gus Dur pun mengancam Muhaimin dengan Muktamar Luar Biasa.
Sebuah kepercayaan politik telah luntur habis. Namun pertanyaannya, kepada siapa kira-kira sang Patriarch kini akan mempercayakan senjakala politik-nya?
Ini bukan pertanyaan yang memiliki jawaban mudah. Gus Dur adalah tokoh yang kerap penuh kejutan. Orang-orang di lingkaran politiknya juga tak selalu mudah diduga dan dipetakan.
Salah satu persoalan dalam lingkup politik PKB dewasa ini adalah sentralitas peran Gus Dur sebagai tokoh di mata massa, saat perannya di tingkat elite sebenarnya telah melemah. Para politisi di partai ini tidaklah semuanya setia kepada Gus Dur--boleh dibilang hanya sedikit yang benar-benar setia padanya. Namun mereka yang paling tidak setia-pun menyadari bahwa Gus Dur masihlah tiket penting untuk tetap berada di dalam gerbong politik.
Salah satu tokoh yang boleh dibilang memiliki loyalitas tinggi pada Gus Dur barangkali adalah Mahfud MD. Kesetiaan Mahfud pada Gus Dur bisa dipahami, mengingat di satu sisi Gus Dur-lah yang membawanya ke puncak karier politik, dan di sisi lain Mahfud semula adalah akademisi yang tak memiliki akar massa terlalu dalam. Para politisi PKB yang memiliki catatan aktifitas politik panjang, serta akar massa lebih kuat seperti Syaifullah, Muhaimin, Choirul Anam, Ali Masykur, dan sebagainya, berpeluang untuk terus menguji di titik mana mereka bisa mengabaikan kesetiaan pada Gus Dur, sambil terus menjaga ekspresi kesetiaan terhadap sang senior di hadapan publik. Di sini ambisi-ambisi politik pribadi, pencarian koneksi politik baru, serta--tak bisa dipungkiri--politik uang, bermain secara saling jalin dan saling kait.
Gus Dur sendiri seyogyanya kini telah berada pada era 'pasca-politik'. Namun, disamping dorongan ambisi pribadinya sendiri, para pendukung maupun penentangnya di PKB tak mudah mengijinkannya angkat kaki dari partai begitu saja. Mereka yang betul-betul setia menganggap bahwa Gus Dur adalah jangkar PKB dari tarik-menarik internal dan eksternal, sekaligus personifikasi haluan ideologis partai. Mereka yang tidak setia menganggap Gus Dur tetap penting sebagai magnet massa; karenanya penyingkiran tokoh ini dari partai haruslah berjalan sangat manis. Kalangan yang tidak setia pada Gus Dur juga beragam dan saling bersilang kepentingan. Hanyasaja persaingan politik di antara politisi PKB selalu dibungkus dalam perlombaan kesetiaan terhadap Gus Dur.
Dalam situasi seperti ini, bisa dipahami jika Gus Dur sebenarnya tak mudah mempercayai siapapun di PKB. Sebagaimana layaknya para patriarch yang sudah mulai kehilangan kepercayaan pada lingkaran terdekatnya, ia pun akan turut memainkan sandiwara kesetiaan orang-orang di sekelilingnya berdasarkan irama yang ia bisa kendalikan. Kali ini tabuhan kendang politiknya memberi keuntungan pada Yenny. Hal ini terjadi bukan semata-mata karena Yenny adalah putrinya, melainkan karena Sekjen PKB yang baru ini memiliki rentang akar dan pengaruh politik yang masih berada dalam jangkauan kendali Gus Dur. Barangkali Gus Dur akan tetap menjadikannya andalan, sampai Yenny tergoda untuk merambah jangkauan politik lebih luas di luar bayang-bayang sang Bapak.
...baca selengkapnya
Konflik di 'sayap politik' NU rupanya masih jauh dari usai. Hingar-bingar rivalitas politik masih saja terdengar dari sana. Baru-baru ini kita melihat letupan konflik yang sangat terbuka antara Gus Dur dan Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PKB yang sebelumnya kadang disebut-sebut sebagai 'anak ideologis' Gus Dur.
Padahal rasanya baru kemarin, dalam konfliknya dengan Gus Ipul, Muhaimin tampak dimanja dengan dukungan dari Gus Dur. Kini Gus Dur tak lagi percaya dan tak bersedia memberikan dukungan pada Muhaimin, dan alih-alih menudingnya sebagai agen SBY yang hendak menyingkirkan deklarator PKB ini dari jabatan Ketua Dewan Syuro. Gus Dur pun mengancam Muhaimin dengan Muktamar Luar Biasa.
Sebuah kepercayaan politik telah luntur habis. Namun pertanyaannya, kepada siapa kira-kira sang Patriarch kini akan mempercayakan senjakala politik-nya?
Ini bukan pertanyaan yang memiliki jawaban mudah. Gus Dur adalah tokoh yang kerap penuh kejutan. Orang-orang di lingkaran politiknya juga tak selalu mudah diduga dan dipetakan.
Salah satu persoalan dalam lingkup politik PKB dewasa ini adalah sentralitas peran Gus Dur sebagai tokoh di mata massa, saat perannya di tingkat elite sebenarnya telah melemah. Para politisi di partai ini tidaklah semuanya setia kepada Gus Dur--boleh dibilang hanya sedikit yang benar-benar setia padanya. Namun mereka yang paling tidak setia-pun menyadari bahwa Gus Dur masihlah tiket penting untuk tetap berada di dalam gerbong politik.
Salah satu tokoh yang boleh dibilang memiliki loyalitas tinggi pada Gus Dur barangkali adalah Mahfud MD. Kesetiaan Mahfud pada Gus Dur bisa dipahami, mengingat di satu sisi Gus Dur-lah yang membawanya ke puncak karier politik, dan di sisi lain Mahfud semula adalah akademisi yang tak memiliki akar massa terlalu dalam. Para politisi PKB yang memiliki catatan aktifitas politik panjang, serta akar massa lebih kuat seperti Syaifullah, Muhaimin, Choirul Anam, Ali Masykur, dan sebagainya, berpeluang untuk terus menguji di titik mana mereka bisa mengabaikan kesetiaan pada Gus Dur, sambil terus menjaga ekspresi kesetiaan terhadap sang senior di hadapan publik. Di sini ambisi-ambisi politik pribadi, pencarian koneksi politik baru, serta--tak bisa dipungkiri--politik uang, bermain secara saling jalin dan saling kait.
Gus Dur sendiri seyogyanya kini telah berada pada era 'pasca-politik'. Namun, disamping dorongan ambisi pribadinya sendiri, para pendukung maupun penentangnya di PKB tak mudah mengijinkannya angkat kaki dari partai begitu saja. Mereka yang betul-betul setia menganggap bahwa Gus Dur adalah jangkar PKB dari tarik-menarik internal dan eksternal, sekaligus personifikasi haluan ideologis partai. Mereka yang tidak setia menganggap Gus Dur tetap penting sebagai magnet massa; karenanya penyingkiran tokoh ini dari partai haruslah berjalan sangat manis. Kalangan yang tidak setia pada Gus Dur juga beragam dan saling bersilang kepentingan. Hanyasaja persaingan politik di antara politisi PKB selalu dibungkus dalam perlombaan kesetiaan terhadap Gus Dur.
Dalam situasi seperti ini, bisa dipahami jika Gus Dur sebenarnya tak mudah mempercayai siapapun di PKB. Sebagaimana layaknya para patriarch yang sudah mulai kehilangan kepercayaan pada lingkaran terdekatnya, ia pun akan turut memainkan sandiwara kesetiaan orang-orang di sekelilingnya berdasarkan irama yang ia bisa kendalikan. Kali ini tabuhan kendang politiknya memberi keuntungan pada Yenny. Hal ini terjadi bukan semata-mata karena Yenny adalah putrinya, melainkan karena Sekjen PKB yang baru ini memiliki rentang akar dan pengaruh politik yang masih berada dalam jangkauan kendali Gus Dur. Barangkali Gus Dur akan tetap menjadikannya andalan, sampai Yenny tergoda untuk merambah jangkauan politik lebih luas di luar bayang-bayang sang Bapak.
...baca selengkapnya
17 July 2007
Mencari Islam di Australia
[Catatan ini dimuat di harian Kedaulatan Rakyat]
Semenjak Bom Bali yang menewaskan 80an orang Australia, kata terorisme menjadi sangat sensitif dan kadang menakutkan di negeri kanguru ini. Kita di Indonesia kerap merasa bahwa negeri kita adalah korban aksi-aksi teror yang dilakukan oleh extremis. Tapi media massa di Australia tak jarang melukiskan Indonesia sebagai negeri sarang teroris. Celakanya kalau mereka menyebut teroris, gambaran tipikal yang diberikan adalah sosok berjubah dan berjenggot ala Osama bin Laden. Kadang menjadi Muslim di Australia, apalagi jika ia berpenampilan seperti gambaran tipikal tersebut, tak selalu menyenangkan.
Padahal, jumlah Muslim Indonesia di Australia cukup banyak. Di Western Australia saja, terdapat hampir 9000 warga Indonesia, yang sebagian besar Muslim. Padahal pula, saya mendapati bahwa sejumlah Muslim Indonesia berada di Australia justru untuk menemukan keislaman yang lebih baik di negeri ini, yang mereka tak bisa temukan di Indonesia.
Dari segi masa tinggal, ada dua macam orang Indonesia di Australia. Pertama adalah mereka yang tinggal sementara di sini, baik untuk tujuan belajar maupun bekerja. Kedua adalah mereka yang tinggal secara tetap di sini, baik dengan status permanent resident (PR) maupun citizen. PR memegang paspor Indonesia dengan visa permanen, sedang citizen sudah memegang paspor Australia. Keduanya memiliki hak dan kewajiban yang sama, kecuali hak dan kewajiban politik yang hanya dimiliki citizen.
Tak jarang, mereka yang semula datang ke Australia untuk tinggal sementara kemudian memutuskan untuk menjadi PR seusai studi, dan mulai bekerja di sini. Mereka yang belajar akuntasi, teknologi informasi, konstruksi dan artitektur, serta pelayanan kesehatan, sangat berpeluang untuk melakukan hal ini.
Saya mengenal banyak teman yang memutuskan untuk menjadi PR di Australia, dan bekerja di sini seusai belajar. Banyak di antara mereka adalah Muslim yang taat dan aktif dalam kegiatan keagamaan di sini, seperti pengajian rutin yang diadakan warga Indonesia serta diskusi intensif di mailing list pengajian. Saya selalu tertarik untuk mengatahui alasan mereka untuk tinggal di Australia, selain mencari kehidupan yang lebih layak.
Mungkin cukup mengejutkan bagi kita bahwa kebanyakan di antara mereka menganggap bahwa banyak sekali sektor bisnis dan pekerjaan di Indonesia yang hanya memberikan penghasilan haram atau minimal subhat. Artinya, banyak sektor bisnis dan pekerjaan di Indonesia yang tak bisa menjamin penghasilan besar yang halal.
Beberapa teman yang pernah bekerja di sektor konstruksi dan arsitektur di Indonesia banyak mengeluhkan hal ini. Mereka selalu gundah melihat banyaknya praktek kotor dalam proyek-proyek pembangunan di negeri kita. Penggelapan bahan dan alat proyek, manipulasi data dan keuangan proyek, dan pengerjaan yang tak sesuai standar konstruksi ideal, adalah hal-hal yang banyak mereka keluhkan. Bagi mereka, penghasilan yang didapat dari bekerja dalam sistem semacam ini sudah sangat tercampur dengan uang haram.
Ketika belajar di Australia, mereka melihat bahwa sistem pengawasan dan pola bekerja di negara ini lebih menjamin tersedianya penghasilan besar secara halal. Itulah sebabnya mereka kemudian memutuskan untuk mengajukan aplikasi sebagai PR agar bisa bekerja dan menetap di Australia. Bagi mereka, Australia jauh lebih ‘Islami’ daripada Indonesia.
Memang Muslim di Australia perlu hati-hati dengan urusan makanan yang tak selalu halal. Namun ini pun bukan masalah besar, sebab dewasa ini toko daging halal dan restoran dengan label atau sertifikat halal sudah sangat mudah ditemui. Justru, pekerjaan dengan label gaji halal yang kata seorang teman masih sulit ditemui di Indonesia.
...baca selengkapnya
Semenjak Bom Bali yang menewaskan 80an orang Australia, kata terorisme menjadi sangat sensitif dan kadang menakutkan di negeri kanguru ini. Kita di Indonesia kerap merasa bahwa negeri kita adalah korban aksi-aksi teror yang dilakukan oleh extremis. Tapi media massa di Australia tak jarang melukiskan Indonesia sebagai negeri sarang teroris. Celakanya kalau mereka menyebut teroris, gambaran tipikal yang diberikan adalah sosok berjubah dan berjenggot ala Osama bin Laden. Kadang menjadi Muslim di Australia, apalagi jika ia berpenampilan seperti gambaran tipikal tersebut, tak selalu menyenangkan.
Padahal, jumlah Muslim Indonesia di Australia cukup banyak. Di Western Australia saja, terdapat hampir 9000 warga Indonesia, yang sebagian besar Muslim. Padahal pula, saya mendapati bahwa sejumlah Muslim Indonesia berada di Australia justru untuk menemukan keislaman yang lebih baik di negeri ini, yang mereka tak bisa temukan di Indonesia.
***
Dari segi masa tinggal, ada dua macam orang Indonesia di Australia. Pertama adalah mereka yang tinggal sementara di sini, baik untuk tujuan belajar maupun bekerja. Kedua adalah mereka yang tinggal secara tetap di sini, baik dengan status permanent resident (PR) maupun citizen. PR memegang paspor Indonesia dengan visa permanen, sedang citizen sudah memegang paspor Australia. Keduanya memiliki hak dan kewajiban yang sama, kecuali hak dan kewajiban politik yang hanya dimiliki citizen.
Tak jarang, mereka yang semula datang ke Australia untuk tinggal sementara kemudian memutuskan untuk menjadi PR seusai studi, dan mulai bekerja di sini. Mereka yang belajar akuntasi, teknologi informasi, konstruksi dan artitektur, serta pelayanan kesehatan, sangat berpeluang untuk melakukan hal ini.
Saya mengenal banyak teman yang memutuskan untuk menjadi PR di Australia, dan bekerja di sini seusai belajar. Banyak di antara mereka adalah Muslim yang taat dan aktif dalam kegiatan keagamaan di sini, seperti pengajian rutin yang diadakan warga Indonesia serta diskusi intensif di mailing list pengajian. Saya selalu tertarik untuk mengatahui alasan mereka untuk tinggal di Australia, selain mencari kehidupan yang lebih layak.
Mungkin cukup mengejutkan bagi kita bahwa kebanyakan di antara mereka menganggap bahwa banyak sekali sektor bisnis dan pekerjaan di Indonesia yang hanya memberikan penghasilan haram atau minimal subhat. Artinya, banyak sektor bisnis dan pekerjaan di Indonesia yang tak bisa menjamin penghasilan besar yang halal.
Beberapa teman yang pernah bekerja di sektor konstruksi dan arsitektur di Indonesia banyak mengeluhkan hal ini. Mereka selalu gundah melihat banyaknya praktek kotor dalam proyek-proyek pembangunan di negeri kita. Penggelapan bahan dan alat proyek, manipulasi data dan keuangan proyek, dan pengerjaan yang tak sesuai standar konstruksi ideal, adalah hal-hal yang banyak mereka keluhkan. Bagi mereka, penghasilan yang didapat dari bekerja dalam sistem semacam ini sudah sangat tercampur dengan uang haram.
Ketika belajar di Australia, mereka melihat bahwa sistem pengawasan dan pola bekerja di negara ini lebih menjamin tersedianya penghasilan besar secara halal. Itulah sebabnya mereka kemudian memutuskan untuk mengajukan aplikasi sebagai PR agar bisa bekerja dan menetap di Australia. Bagi mereka, Australia jauh lebih ‘Islami’ daripada Indonesia.
Memang Muslim di Australia perlu hati-hati dengan urusan makanan yang tak selalu halal. Namun ini pun bukan masalah besar, sebab dewasa ini toko daging halal dan restoran dengan label atau sertifikat halal sudah sangat mudah ditemui. Justru, pekerjaan dengan label gaji halal yang kata seorang teman masih sulit ditemui di Indonesia.
***
Australia, bagi beberapa kalangan Muslim Indonesia, memang negeri yang diidealkan sebagai manifestasi masyarakat yang Islami. Kalangan inilah yang kerap sangat sedih ketika Muslim dikait-kaitkan dengan terorisme akibat ulah segelintir kalangan yang mengaku dirinya Islam dan menghalalkan aksi kekerasan.
...baca selengkapnya
16 July 2007
Perempuan di Jagad Maya
Saya mengagumi banyak sekali figur perempuan dalam sejarah dan peradaban manusia. Saya menghormati perempuan agung, Maryam binti Imran, yang kisahnya diabadikan sebagian dalam surat Ali Imran, dan terlebih lagi dalam surat Maryam yang memang didedikasikan padanya. Saya mengagumi keteguhan hati Fatimah Azzahra binti Muhammad Rasulullah s.a.w. Perempuan inilah 'katub penyeimbang' dalam pembilahan besar di tubuh ummat Islam. Saya juga kerap merenungi garis hidup seorang perempuan setengah misterius dalam sejarah Kristen bernama Mariamne al Magdala, yang kata sebagian pendapat adalah Mary the Magdalene atau Maria Magdalena.
Untuk urusan blog dan website pribadi ini, saya sangat berterima kasih pada dua orang perempuan.
Perempuan yang pertama adalah istri saya, Miming, yang telah mengenalkan saya pada publikasi dunia maya semacam ini. Dia memulai keasyikannya di dunia blogging pada awal 2005, beberapa bulan sejak kami mulai tinggal di Perth. Sama seperti banyak blogger lainnya, ia menjadikan blog sebagai catatan harian digital sekaligus bahan bercerita bagi sahabat dan kerabat di Indonesia. Tapi ternyata ia menemukan manfaat lain, yakni koneksi ke sebuah jaringan komunitas maya yang sangat mengesankan. Dengan blog, teman-teman baru bisa didapat, dan teman-teman lama sebagian bisa dilacak lagi. Belakangan, blogging ini dijadikannya sebagai media untuk memuaskan hobi dia dengan saling berbagi resep dan ide kuliner.
Berbeda dengan Roy Suryo yang pernah mengatakan bahwa blog cuma sebuah trend dan fungsinya terbatas pada ajang curhat, saya melihat adanya energi sosial yang sangat besar dalam blog. Ada kebebasan berpendapat dan kebebasan publikasi dalam dunia blogging. Kalau orang berbicara tentang kebebasan pers, blog-lah salah satu manifestasinya yang paling konkrit. Michael Keren bahkan menyebut dunia blog sebagai arena politik baru. Memang, seperti yang kerap saya intip via blog milik Miming, jejaring perempuan Indonesia di dunia maya lewat blog sangatlah hebat.
Kelak, saya tergugah pula untuk memanfaatkan website pribadi di UGM. Website pribadi ini tentu bisa dimanfaatkan untuk tujuan profesional mendukung kegiatan belajar. Namun jujur saja, godaan awalnya datang gara-gara saya melihat keasyikan Miming di dunia maya. Dialah perempuan pertama yang berjasa dalam urusan publikasi pribadi ini.
Perempuan kedua adalah orang yang sama sekali tak pernah saya jumpai di dunia nyata. Ia hadir sebagai bagian dari jejaring dunia maya itu. Perempuan ini bernama Ria W. Pardijatmo, yang Miming kenal di dunia blog. Mbak Ria ini lah yang membuatkan rancangan blog untuk Miming, dan belakangan membuatkan rancangan untuk website saya.
Saya melihat semua blog hasil rancangan dia sangat unik, dan hampir tak pernah saya lihat kemiripan antara blog satu dengan yang lain. Ketika membuatkan rancangan blog untuk kami, komunikasi cukup berjalan via email saja. Kami berikan gambaran tentang rancangan yang kami inginkan, lalu Mbak Ria membuatkan desainnya. Tentu, sebagai sebuah proses kreatifitas, ada lempar-lemparan gagasan dan ada obrolan lebih lanjut tentang rancangan yang dibuat. Ketika rancangan website dan blog sudah disepakati, Mbak Ria lalu menuangkannya dalam bentuk template, dan kami tinggal menyalinnya. Tak perlu dikatakan lagi, rancangan yang dibuatnya sangat memuaskan.
Itulah dua perempuan telah membawa saya ke dunia maya...
...baca selengkapnya
Untuk urusan blog dan website pribadi ini, saya sangat berterima kasih pada dua orang perempuan.
Perempuan yang pertama adalah istri saya, Miming, yang telah mengenalkan saya pada publikasi dunia maya semacam ini. Dia memulai keasyikannya di dunia blogging pada awal 2005, beberapa bulan sejak kami mulai tinggal di Perth. Sama seperti banyak blogger lainnya, ia menjadikan blog sebagai catatan harian digital sekaligus bahan bercerita bagi sahabat dan kerabat di Indonesia. Tapi ternyata ia menemukan manfaat lain, yakni koneksi ke sebuah jaringan komunitas maya yang sangat mengesankan. Dengan blog, teman-teman baru bisa didapat, dan teman-teman lama sebagian bisa dilacak lagi. Belakangan, blogging ini dijadikannya sebagai media untuk memuaskan hobi dia dengan saling berbagi resep dan ide kuliner.
Berbeda dengan Roy Suryo yang pernah mengatakan bahwa blog cuma sebuah trend dan fungsinya terbatas pada ajang curhat, saya melihat adanya energi sosial yang sangat besar dalam blog. Ada kebebasan berpendapat dan kebebasan publikasi dalam dunia blogging. Kalau orang berbicara tentang kebebasan pers, blog-lah salah satu manifestasinya yang paling konkrit. Michael Keren bahkan menyebut dunia blog sebagai arena politik baru. Memang, seperti yang kerap saya intip via blog milik Miming, jejaring perempuan Indonesia di dunia maya lewat blog sangatlah hebat.
Kelak, saya tergugah pula untuk memanfaatkan website pribadi di UGM. Website pribadi ini tentu bisa dimanfaatkan untuk tujuan profesional mendukung kegiatan belajar. Namun jujur saja, godaan awalnya datang gara-gara saya melihat keasyikan Miming di dunia maya. Dialah perempuan pertama yang berjasa dalam urusan publikasi pribadi ini.
Perempuan kedua adalah orang yang sama sekali tak pernah saya jumpai di dunia nyata. Ia hadir sebagai bagian dari jejaring dunia maya itu. Perempuan ini bernama Ria W. Pardijatmo, yang Miming kenal di dunia blog. Mbak Ria ini lah yang membuatkan rancangan blog untuk Miming, dan belakangan membuatkan rancangan untuk website saya.
Saya melihat semua blog hasil rancangan dia sangat unik, dan hampir tak pernah saya lihat kemiripan antara blog satu dengan yang lain. Ketika membuatkan rancangan blog untuk kami, komunikasi cukup berjalan via email saja. Kami berikan gambaran tentang rancangan yang kami inginkan, lalu Mbak Ria membuatkan desainnya. Tentu, sebagai sebuah proses kreatifitas, ada lempar-lemparan gagasan dan ada obrolan lebih lanjut tentang rancangan yang dibuat. Ketika rancangan website dan blog sudah disepakati, Mbak Ria lalu menuangkannya dalam bentuk template, dan kami tinggal menyalinnya. Tak perlu dikatakan lagi, rancangan yang dibuatnya sangat memuaskan.
Itulah dua perempuan telah membawa saya ke dunia maya...
...baca selengkapnya
12 July 2007
Mimpi dan Ruang Publik
Erich Fromm, yang sangat dikenal sebagai tokoh penting di mazhab Frankfurt dalam teori kritis, pernah mengatakan bahwa mimpi adalah sebuah mikroskop yang digunakan manusia untuk melihat kejadian yang tersembunyi dalam jiwanya. Tak jauh dari anggapan Fromm, tokoh yang kerap disebut sebagai bapak psikoanalisis, Sigmund Freud, mengatakan bahwa mimpi adalah perwujudan dari keinginan yang terpendam.
Mimpi, boleh kita katakan, adalah saluran setengah ghaib ketika saluran normal dalam dunia nyata tak bisa kita gunakan. Coba ingat-ingat, jika anda pria, dan dulu sering mengalami mimpi basah, bukankan anda tengah menemukan saluran setengah ghaib bagi kebutuhan biologis anda? Dalam kehidupan sosial dan politik-pun, mimpi ternyata bisa menjadi saluran semacam itu, ketika saluran normal bagi komunikasi politik masih belum berfungsi optimal. Mimpi, ternyata, bisa pula menjadi ruang publik.
Dari jauh di Australia, saya melihat dan mengikuti samar-samar bahwa di Indonesia tengah populer acara TV berjudul Republik Mimpi. Saya ikuti beberapa episode acara TV ini melalui YouTube. Dan saya akui, acara ini memang unik, meski bagi sebagian orang mungkin terasa terlalu nakal. Salah seorang diplomat Indonesia di Perth pernah mengeluhkan pada saya bahwa acara ini telah mempermain-mainkan tokoh-tokoh penting di negara kita, yang sebagian adalah simbol kenegaraan.
Keberatan ini tentu bisa dipahami. Namun barangkali kita bisa juga melihat bahwa acara ini adalah refleksi masih mampetnya saluran-saluran komunikasi politik di negeri kita. Saluran politik itu bisa berupa partai politik, parlemen, atau organisasi kemasyarakatan. Saluran politik ini berguna bagi masyarakat untuk menyampaikan kepentingan mereka pada pembuat kebijakan. Kalau saluran ini tak berfungsi, memang diperlukan saluran lain, termasuk kritik via acara TV ala Republik Mimpi itu.
Secara pribadi saya menikmati acara ini. Yang paling saya senangi adalah kelakuan Wapres JK alias Jarwo Kuat. Akting Butet sebagai SBY kok terasa tak sebagus ketika dia menirukan Suharto. Tentu yang paling mirip dan terasa sangat piawai adalah Gus Pur yang menirukan Gus Dur--bukan saja aktingnya yang sangat mirip, namun juga logika berpikir Gus Dur bisa disalin dengan mantap oleh Gus Pur.
Tempo hari, acara ini diulas di salah satu stasiun TV di Australia. Berikut transkripnya:
In Australia, political satire has had an incredibly rich history. Then again, we have been a democracy for over 100 years. But apparently, to our north, our giant neighbour Indonesia - not even a decade since the fall of the Suharto dictatorship - finds itself glued to a television show that actually lampoons the nation's politicians. Up in Jakarta recently, Ginny Stein found local viewers are lapping it up. But, not all that surprisingly, those in power are finding the jokes just a little harder to take.
It is the most controversial program on Indonesian television. The team from 'News.Com' is on a roll, and its young audience loves it. Known for satirising the nation's leaders, even the theme song has a message about free speech.
THEME SONG (Translation): “Criticism’s normal, human beings have their faults.”
The Republic's cast are clever caricatures. Here's President Susilo Bambang Yudhoyono, known as SBY, but on the show he's called Si Butet Yogya. And this is former president and blind cleric Abdurrahman Wahid, known in Indonesia as Gus Dur, but here he's called Gus Pur. As always, the program is introduced by its writer and creator, Effendi Gazali. Tonight there's the News of the Week, including a segment featuring Australia.
EFFENDI GAZALI, ACTOR AND ACADEMIC (Translation): We begin with a report from March 13 about cattle imports that have cost the country 11 billion. The cases involving fictitious items are unbelievable. Just think, there have been fictitious export documents. Then there were fictitious diplomas. In Puncak, there was a fictitious marriage. Right? Now there have been imports of fictitious cattle, a substantial number of them, 2150 fictitious cattle. They are said to come from Australia. What's your opinion, sir?
GUEST, (Translation): This is a difficult issue, Effendi. Yes, yes. Even if the cattle did exist, it would still be difficult. They'd be victims of a crime. We'd have to question them. Question the cattle. Isn't that right? If they existed, we'd have to ask "Hey, where do you come from?"
SBY, (Translation): You're all crazy! What is this? The cows are fictitious. So why argue about them? What sort of leaders are you?
The idea for the program began here at the University of Indonesia where Gazali lectures in politics and marketing. When these post-graduate students began their university career during the 3-decade rule of President Suharto, a program like 'Republic of Dreams' would have been unthinkable.
EFFENDI GAZALI: The 'Republic of Dreams' is a groundbreaking political satire in Indonesia's television landscape. Because we quickly learn that we need this kind of TV program to guarantee the checks and balances mechanisms hand in hand with the checks and balances mechanism in the parliament building.
But even now, nine years after the reign of the seemingly untouchable President Suharto came to an abrupt end, lampooning the nation's leaders remains a risky proposition. Threats have been made to take this show off the air, apparently from people who are very well connected.
EFFENDI GAZALI: At least we survived two efforts from other parties, we do not want to directly say it is the government, to intervene or to, let’s say have influence on our show. First when they try to approach the television station owner, and the second when they try to approach the main sponsor, but we could survive these two efforts.
The program's most vocal critic is the country's real-life Information Minister, Sofyan Djalil.
SOFYAN DJALIL, INFORMATION MINISTER: The first time I think the program is OK, you know. It's entertaining. But when the same program was shown again and again and then they direct it exclusively on presidents and vice-presidents, on totally the issues of this country, I think the program is not funny anymore.
Indonesia has steadily been making democratic reforms, but the 'Republic of Dreams' is proving a real test for humour and hierarchy.
SONG (Translation): “We all have to understand this country still has problems. But we shouldn't give in. Look on the bright side. Criticism's normal. Human beings have their faults.”
SOFYAN DJALIL: First of all, I think leadership need to be respected at all levels. Because that is the nature of life, you know. Hierarchy is in fact everywhere and we need to respect hierarchy to make the society work.
REPORTER: But don't you think the public can draw the distinction, that they can appreciate that that is humour, that it is political satire?
SOFYAN DJALIL: Oh, yeah, maybe for certain element of Indonesian society, sure. I myself I can differentiate that. But the Indonesian is not me. Not the high-level educated people of Indonesia.
BUTET KARTAREDJASA, ACTOR (Translation): I shouldn't smile much. I have to act using hand gestures to create an artificial sense of dignity.
Leading Indonesian actor Butet Kartaredjasa, who plays the role of President SBY, believes the Minister is living in the past.
BUTET KARTAREDJASA, (Translation): The minister's not ready. The people are ready. If this show's been a success, it's not because of me. It's because of the cohesiveness of the team, the actors in this political parody.
In the old Indonesia, they would have simply shut the program down. But in this new world order, politicians are learning a new way to work with the media, and Effendi Gazali gets a call from the ministry.
EFFENDI GAZALI: So it is good news. I just got a call from the Minister, Ministry of Communication and Informations, told me that he is on the way. So we will have the ministry in our show today. Great then.
REPORTER: Does that mean he supports you?
EFFENDI GAZALI: Um, not sure yet. We just waiting what he will say in our show.
Indonesia's Information Minister wants a chance to state why he believes this show is not good for the country.
SOFYAN DJALIL: I asked the producer to allow me to come to the program, because I want to criticise and to put my perspective in their program so then the people know what is my main argument because I believe that program do more harm to the society than good.
In today's audience, students from a banking college and a private university. But while the show's creators want to make politics palatable for the masses, it doesn't turn away from tough issues such as the plight of victims made homeless after a mud volcano swamped their homes, even when that message is disturbing to hear.
EFFENDI GAZALI (Translation): Could you tell us what's happening here, your experiences?
WOMAN (Translation): At the moment I'm feeling sad. Why? I've been in this camp for almost five months. The effects on my family have been... devastating. Respected gentlemen, you sleep soundly on soft mattresses. The people here don't have mattresses to sleep on. We sleep on mats like these. I have children. My parents-in-law are in poor health. Life is hard.
Somewhere between the heartache and the humour, that the Minister is attempting to get his message across.
EFFENDI GAZALI, (Translation): And now Mr Sofyan Djalil will tell us what he's been wanting to say about this show. Go ahead, sir.
SOFYAN DJALIL (Translation): I think leadership at all levels has to be respected. Why? People need leadership figures. If these leaders are "ridiculed", to use the English term, then our society will have no one to guide it.
But from the show's fans, there's this advice - Indonesia's leaders should toughen up and learn to accept criticism.
LAW STUDENT (Translation): I think that the way 'Republic of Dreams' says things is more civilised than protests involving anarchic behaviour. Protest through comedy and dialogue on the show is better and more educational, I think.
For now, there appears to be no backing down in the conviction of its creators to broadcast and be damned.
GUS PUR (Translation): True leadership can never be satirised. If there is strong leadership, parody won't survive. If there is strong leadership parodists will look like people who need to get a life. Why make such a fuss?
Reporter/Camera
GINNY STEIN
Editors
NICK O’BRIEN
DAVID POTTS
Subtitling
ROBYN FALLICK
Surabaya Fixer
DONNY MAULANA
Jakarta Fixer
TASYA TAMPUBOLON
Producer
ASHLEY SMITH
...baca selengkapnya
Mimpi, boleh kita katakan, adalah saluran setengah ghaib ketika saluran normal dalam dunia nyata tak bisa kita gunakan. Coba ingat-ingat, jika anda pria, dan dulu sering mengalami mimpi basah, bukankan anda tengah menemukan saluran setengah ghaib bagi kebutuhan biologis anda? Dalam kehidupan sosial dan politik-pun, mimpi ternyata bisa menjadi saluran semacam itu, ketika saluran normal bagi komunikasi politik masih belum berfungsi optimal. Mimpi, ternyata, bisa pula menjadi ruang publik.
Dari jauh di Australia, saya melihat dan mengikuti samar-samar bahwa di Indonesia tengah populer acara TV berjudul Republik Mimpi. Saya ikuti beberapa episode acara TV ini melalui YouTube. Dan saya akui, acara ini memang unik, meski bagi sebagian orang mungkin terasa terlalu nakal. Salah seorang diplomat Indonesia di Perth pernah mengeluhkan pada saya bahwa acara ini telah mempermain-mainkan tokoh-tokoh penting di negara kita, yang sebagian adalah simbol kenegaraan.
Keberatan ini tentu bisa dipahami. Namun barangkali kita bisa juga melihat bahwa acara ini adalah refleksi masih mampetnya saluran-saluran komunikasi politik di negeri kita. Saluran politik itu bisa berupa partai politik, parlemen, atau organisasi kemasyarakatan. Saluran politik ini berguna bagi masyarakat untuk menyampaikan kepentingan mereka pada pembuat kebijakan. Kalau saluran ini tak berfungsi, memang diperlukan saluran lain, termasuk kritik via acara TV ala Republik Mimpi itu.
Secara pribadi saya menikmati acara ini. Yang paling saya senangi adalah kelakuan Wapres JK alias Jarwo Kuat. Akting Butet sebagai SBY kok terasa tak sebagus ketika dia menirukan Suharto. Tentu yang paling mirip dan terasa sangat piawai adalah Gus Pur yang menirukan Gus Dur--bukan saja aktingnya yang sangat mirip, namun juga logika berpikir Gus Dur bisa disalin dengan mantap oleh Gus Pur.
Tempo hari, acara ini diulas di salah satu stasiun TV di Australia. Berikut transkripnya:
Republic of Dreams
REPORTER: Ginny Stein
REPORTER: Ginny Stein
In Australia, political satire has had an incredibly rich history. Then again, we have been a democracy for over 100 years. But apparently, to our north, our giant neighbour Indonesia - not even a decade since the fall of the Suharto dictatorship - finds itself glued to a television show that actually lampoons the nation's politicians. Up in Jakarta recently, Ginny Stein found local viewers are lapping it up. But, not all that surprisingly, those in power are finding the jokes just a little harder to take.
It is the most controversial program on Indonesian television. The team from 'News.Com' is on a roll, and its young audience loves it. Known for satirising the nation's leaders, even the theme song has a message about free speech.
THEME SONG (Translation): “Criticism’s normal, human beings have their faults.”
The Republic's cast are clever caricatures. Here's President Susilo Bambang Yudhoyono, known as SBY, but on the show he's called Si Butet Yogya. And this is former president and blind cleric Abdurrahman Wahid, known in Indonesia as Gus Dur, but here he's called Gus Pur. As always, the program is introduced by its writer and creator, Effendi Gazali. Tonight there's the News of the Week, including a segment featuring Australia.
EFFENDI GAZALI, ACTOR AND ACADEMIC (Translation): We begin with a report from March 13 about cattle imports that have cost the country 11 billion. The cases involving fictitious items are unbelievable. Just think, there have been fictitious export documents. Then there were fictitious diplomas. In Puncak, there was a fictitious marriage. Right? Now there have been imports of fictitious cattle, a substantial number of them, 2150 fictitious cattle. They are said to come from Australia. What's your opinion, sir?
GUEST, (Translation): This is a difficult issue, Effendi. Yes, yes. Even if the cattle did exist, it would still be difficult. They'd be victims of a crime. We'd have to question them. Question the cattle. Isn't that right? If they existed, we'd have to ask "Hey, where do you come from?"
SBY, (Translation): You're all crazy! What is this? The cows are fictitious. So why argue about them? What sort of leaders are you?
The idea for the program began here at the University of Indonesia where Gazali lectures in politics and marketing. When these post-graduate students began their university career during the 3-decade rule of President Suharto, a program like 'Republic of Dreams' would have been unthinkable.
EFFENDI GAZALI: The 'Republic of Dreams' is a groundbreaking political satire in Indonesia's television landscape. Because we quickly learn that we need this kind of TV program to guarantee the checks and balances mechanisms hand in hand with the checks and balances mechanism in the parliament building.
But even now, nine years after the reign of the seemingly untouchable President Suharto came to an abrupt end, lampooning the nation's leaders remains a risky proposition. Threats have been made to take this show off the air, apparently from people who are very well connected.
EFFENDI GAZALI: At least we survived two efforts from other parties, we do not want to directly say it is the government, to intervene or to, let’s say have influence on our show. First when they try to approach the television station owner, and the second when they try to approach the main sponsor, but we could survive these two efforts.
The program's most vocal critic is the country's real-life Information Minister, Sofyan Djalil.
SOFYAN DJALIL, INFORMATION MINISTER: The first time I think the program is OK, you know. It's entertaining. But when the same program was shown again and again and then they direct it exclusively on presidents and vice-presidents, on totally the issues of this country, I think the program is not funny anymore.
Indonesia has steadily been making democratic reforms, but the 'Republic of Dreams' is proving a real test for humour and hierarchy.
SONG (Translation): “We all have to understand this country still has problems. But we shouldn't give in. Look on the bright side. Criticism's normal. Human beings have their faults.”
SOFYAN DJALIL: First of all, I think leadership need to be respected at all levels. Because that is the nature of life, you know. Hierarchy is in fact everywhere and we need to respect hierarchy to make the society work.
REPORTER: But don't you think the public can draw the distinction, that they can appreciate that that is humour, that it is political satire?
SOFYAN DJALIL: Oh, yeah, maybe for certain element of Indonesian society, sure. I myself I can differentiate that. But the Indonesian is not me. Not the high-level educated people of Indonesia.
BUTET KARTAREDJASA, ACTOR (Translation): I shouldn't smile much. I have to act using hand gestures to create an artificial sense of dignity.
Leading Indonesian actor Butet Kartaredjasa, who plays the role of President SBY, believes the Minister is living in the past.
BUTET KARTAREDJASA, (Translation): The minister's not ready. The people are ready. If this show's been a success, it's not because of me. It's because of the cohesiveness of the team, the actors in this political parody.
In the old Indonesia, they would have simply shut the program down. But in this new world order, politicians are learning a new way to work with the media, and Effendi Gazali gets a call from the ministry.
EFFENDI GAZALI: So it is good news. I just got a call from the Minister, Ministry of Communication and Informations, told me that he is on the way. So we will have the ministry in our show today. Great then.
REPORTER: Does that mean he supports you?
EFFENDI GAZALI: Um, not sure yet. We just waiting what he will say in our show.
Indonesia's Information Minister wants a chance to state why he believes this show is not good for the country.
SOFYAN DJALIL: I asked the producer to allow me to come to the program, because I want to criticise and to put my perspective in their program so then the people know what is my main argument because I believe that program do more harm to the society than good.
In today's audience, students from a banking college and a private university. But while the show's creators want to make politics palatable for the masses, it doesn't turn away from tough issues such as the plight of victims made homeless after a mud volcano swamped their homes, even when that message is disturbing to hear.
EFFENDI GAZALI (Translation): Could you tell us what's happening here, your experiences?
WOMAN (Translation): At the moment I'm feeling sad. Why? I've been in this camp for almost five months. The effects on my family have been... devastating. Respected gentlemen, you sleep soundly on soft mattresses. The people here don't have mattresses to sleep on. We sleep on mats like these. I have children. My parents-in-law are in poor health. Life is hard.
Somewhere between the heartache and the humour, that the Minister is attempting to get his message across.
EFFENDI GAZALI, (Translation): And now Mr Sofyan Djalil will tell us what he's been wanting to say about this show. Go ahead, sir.
SOFYAN DJALIL (Translation): I think leadership at all levels has to be respected. Why? People need leadership figures. If these leaders are "ridiculed", to use the English term, then our society will have no one to guide it.
But from the show's fans, there's this advice - Indonesia's leaders should toughen up and learn to accept criticism.
LAW STUDENT (Translation): I think that the way 'Republic of Dreams' says things is more civilised than protests involving anarchic behaviour. Protest through comedy and dialogue on the show is better and more educational, I think.
For now, there appears to be no backing down in the conviction of its creators to broadcast and be damned.
GUS PUR (Translation): True leadership can never be satirised. If there is strong leadership, parody won't survive. If there is strong leadership parodists will look like people who need to get a life. Why make such a fuss?
Reporter/Camera
GINNY STEIN
Editors
NICK O’BRIEN
DAVID POTTS
Subtitling
ROBYN FALLICK
Surabaya Fixer
DONNY MAULANA
Jakarta Fixer
TASYA TAMPUBOLON
Producer
ASHLEY SMITH
...baca selengkapnya
6 July 2007
Dinasti
Dari manakah datangnya pemimpin dan tokoh dalam setiap masyarakat? Banyak cara orang menjelaskan bagaimana seorang pemimpin 'tercipta'. Dalam satu cara pandang, pemimpin diyakini muncul karena dibentuk oleh lingkungan. Seseorang menjadi pemimpin karena ia memperoleh gemblengan dan pengalaman untuk memimpin. Kata cara pandang ini, pemimpin itu dibentuk, bukan dilahirkan.
Cara pandang lain menganggap bahwa pemimpin hanya bisa dilahirkan, tak bisa semata-mata dibentuk oleh lingkungannya. Menurut pendapat ini, kepemimpinan hanya bisa muncul dalam jiwa seseorang yang memang dilahirkan sebagai pemimpin atau tokoh. Seseorang ini terlahir sebagai pemimpin karena ia memiliki garis darah sebagai pemimpin dari orang tuanya. Atau paling tidak, ia jelas-jelas menunjukkan watak pemimpin sejak sangat dini.
Tentu, kenyataan sosial jauh lebih beragam daripada dua anggapan teoritik itu. Mungkin memang ada aspek genetika, dan ada pula aspek lingkungan tempat seseorang tumbuh dan berkembang, yang membentuk kepemimpinan. Dua faktor ini yang membuat keturunan seorang tokoh berpotensi menjadi tokoh pula. Dengan kata lain, jika seseorang memang dilahirkan dari bibit yang unggul, dan ia dibesarkan serta dididik dalam lingkungan yang juga unggul, dia telah berada di rute yang 'tepat' untuk menjadi pemimpin. Itulah sebabnya, ada dinasti dalam masyarakat, yakni deretan pemimpin yang tampak lahir turun temurun kendati bukan dalam sebuah monarkhi.
Di panggung politik Amerika ada dinasti Kennedy. Di Australia ada dinasti Downer. Di India ada dinasti Nehru. Di Indonesia, dua generasi Sukarno telah menjadi presiden. Mereka telah memulai pula sebuah dinasti. Selain dinasti Sukarno, salah satu yang bisa kita lihat di pentas politik dan keagamaan di Indonesia adalah 'dinasti Hasyim'. Siapakah mereka?
Dinasti ini dimulai dari tokoh yang di kalangan NU dikenal sebagai Hadratus Syaikh KH Hasjim Asj'ari (biasanya ditulis pula sebagai Hasyim Asy'ari). Dialah yang bersama KH Wahab Hasbullah mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926. Kiai Hasyim lahir dan besar di lingkungan pesantren. Sejak tiga generasi sebelumnya, keluarga Hasyim telah mengelola pesantren di Jombang, tempat tokoh ini dilahirkan. Seperti lazim ditemui dalam tradisi pesantren yang kerap melacak legitimasi sosialnya terhadap para raja dan/atau ulama besar di masa silam, silsilah keluarga kiai Hasyim kerap di-klaim memiliki rantai hingga Jaka Tingkir dan Sunan Giri.
Kiai Hasyim juga mengikuti tradisi putra seorang kiai dengan berguru ke berbagai pesantren sejak usia belia, termasuk pesantren-pesantren besar di Jawa/Madura, hingga ke Mekkah (dimana ia bertemu dan belajar bersama dengan Muhammad Darwisy yang kelak berganti nama menjadi Ahmad Dahlan dan mendirikan Muhammadiyah pada tahun 1912). Sepulang dari Mekkah, Kiai Hasyim mendirikan pesantren Tebuireng yang sangat terkenal itu. Tebuirang dan Kiai Hasyim sangat dikenal sebagai pusat kajian Hadits saat itu, hingga Kiai Cholil (Bangkalan) yang notabene adalah guru Kiai Hasyim senantiasa menyempatkan hadir di setiap kuliah Hadits yang diberikan muridnya itu.
Sumbangan utama Kiai Hasyim terhadap masyarakat adalah dalam dunia pendidikan agama Islam. Sumbangan lain yang juga sangat penting adalah dalam pergerakan nasional meski tetap dalam kerangka komunitas Muslim. 'Investasi' terpenting dia jelas adalah pendirian NU--dimana ia menjadi satu-satunya orang yang pernah memegang jabatan Rais Akbar. Investasi berikutnya dia tanam di lembaga-lembaga seperti Majlisul Islam A'la Indonesia (MIAI), Majlis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), dan Shumubu. MIAI adalah wadah konfederasi ummat Islam Indonesia yang didirikan tahun 1937. Kelak di jaman Jepang, wadah konfederasi ini digantikan oleh Masyumi (bedakan dari Masyumi yang partai politik dan didirikan tahun 1945 pasca proklamasi, dengan Kiai Hasyim juga sebagai ketua umum). Tahun 1942 pemerintah pendudukan Jepang mendirikan Shumubu, kantor urusan keagamaan yang akan menjadi cikal bakal departemen agama kelak. Kiai Hasyim menjadi ketua Shumubu yang pertama. Penting dicatat bahwa di jaman Jepang ini Kiai Hasyim pernah masuk penjara karena menentang upacara Seikerei (ruku' ke arah matahari terbit di pagi hari).
Kendati beberapa jabatan formal dipegang Kiai Hasyim di tahun 1940-an, namun sebagian besar peran riil sebenarnya dilaksanakan oleh putranya, KH Abdul Wahid Hasyim. Orang di generasi kedua dinasti yang sedang kita perbincangkan ini merupakan tokoh sentral di semua lembaga yang dirintis oleh Kiai Hasyim. Di MIAI dan Masyumi, dia memegang peran kunci, begitu pula di Shumubu. Kiai Wahid praktis senantiasa bertindak menjadi proxy ayahnya ketika di tahun 1940-an itu beberapa jabatan penting dipercayakan pada Kiai Hasyim namun beliau lebih banyak berada di Tebuirang. Di pesantren Tebuireng dan NU, Kiai Wahid juga menjadi penerus kepemimpinan ayahnya terutama sejak Kiai Hasyim meninggal tahun 1947. Di NU Kiai Wahid menjadi menjadi Ketua Umum Pengurus Besar hingga beliau meninggal.
Peran terpenting Kiai Wahid dalam pergerakan nasional disumbangkannya ketika dia turut aktif dalam penyiapan kemerdekaan Indonesia. Kiai Wahid adalah angota Panitia Sembilan yang menyusun UUD 1945 serta Pembukaan-nya. Segera setelah kemerdekaan, Kiai Wahid dipercaya untuk menjabat Menteri Agama RI yang pertama (1945, kemudian 1949-1952). Langkah Kiai Wahid memang penuh dengan warna-warni politik. Di bawah kepemimpinannya NU memutuskan untuk keluar dari Masyumi di tahun 1952, dan memutuskan untuk berdiri sebagai partai politik.
Sayangnya, Kiai Wahid tidak berumur panjang. Setahun kurang beberapa hari setelah keputusan NU keluar dari Masyumi, Kiai Wahid meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Dalam mobil yang mengalami kecelakaan itu Kiai Wahid mengajak serta putra pertamanya, Abdurrahman Addakhil. Sang putra yang selamat dalam kecelakaan itu kini dikenal publik sebagai KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Gus Dur adalah generasi ketiga dalam Dinasti Hasyim. Sejak awal dia terekspose kepada dunia politik yang merupakan lingkup pergaulan ayahnya sebagai menteri agama. Ia juga terekspose pada beragam ide karena bacaannya yang sangat luas sejak kecil. Tradisi pendidikan pesantren dijalaninya di Yogyakarta, Magelang dan Jombang. Ia kemudian melanjutkan pendidikan di Universitas Al Azhar, Kairo (di mana dia berteman dekat dengan Gus Mus) dan Universitas Baghdad di Iraq.
Sepulang dari Mesir dan Iraq, Gus Dur memulai kiprahnya di dunia LSM, sebelum akhirnya terlibat intensif dalam kepengurusan NU. Pada tahun 1984, ia memotori keputusan penting NU untuk kembali ke Khittah 1926 dan melepaskan diri dari kaitan formal dengan PPP. Di tahun 1984 pula ia mulai memegang jabatan sebagai Ketua Umum PB NU. Kita mengetahui sejarah Indonesia belakangan membawa Gus Dur ke kursi Presiden RI--yang didudukinya tak terlalu lama.
Peran Gus Dur yang terbesar disumbangkannya dalam lingkup dialog antar agama. Dia termasuk tokoh yang gigih menyuarakan pendapat bahwa semua ummat beragama seyogyanya bisa senantiasa duduk berdampingan secara damai, selama pembenaran agama sendiri tak diikuti dengan penudingan agama lain sebagai salah sehingga penganutnya tak perlu diperlakukan sepadan dengan sesama pemeluk agama sendiri. Ia banyak dipuji sekaligus banyak dicaci karena cara pandang ini. Kontroversi senantiasa menjadi bagian dari hidupnya selama ia berada di puncak karier politik dan keagamaan.
Pada generasi ketiga Dinasti Hasyim, kita juga mengenal KH Salahuddin Wahid. Ia adalah adik kandung Gus Dur yang selepas dari pendidikan di ITB lebih banyak aktif di dunia konstruksi. Gus Solah, demikian ia biasa dipanggil, senantiasa mengakui bahwa dirinya tak terlalu intens mendalami dunia pesantren. Namun demikian, ia tak jauh beranjak dari dunia NU. Keterkaitan dengan dunia NU dijaganya lewat aktifitas di Ansor, PMII dan belakangan di struktur formal kepengurusan sebagai Ketua PB NU. Di tahun 2004 ia sempat menuai kecaman ketika bersedia mendampingi Jenderal (Purn.) Wiranto dalam pemilihan presiden RI. Catatan pelanggaran HAM yang dikaitkan dengan Wiranto menjadi titik keberatan banyak kalangan terhadap keterlibatan Gus Solah yang nota bene adalah Wakil Ketua Komnas HAM. Kini, Gus Solah kembali ke akar genealogis dan sosialnya di dunia pesantren dengan memegang estafet kepemimpinan di Pesantren Tebuireng, Jombang
Di generasi keempat, Dinasti Hasyim mulai menampakkan ragam warna. Ada dua figur yang kita bisa ambil sebagai contoh. Figur pertama adalah Zannuba Ariffah Chafsoh, atau yang banyak orang kenal sebagai Yenny Wahid. Ia adalah putri Gus Dur. Jalur pendidikan perempuan kelahiran 1974 ini kebanyakan berada di luar dunia pesantren. Ia menyelesaikan S1 di Universitas Trisakti, dan gelar Master diperolehnya dari Harvard University. Sebelum sang ayah terpilih menjadi Presiden RI, Yenny lebih banyak berkarier di dunia kewartawanan. Sejak 1999 ia memilih melepaskan pekerjaannya, dan berkonsentrasi untuk menjadi mata dan telinga bagi Gus Dur yang memang memiliki masalah penglihatan dalam makna literer. Yenny kemudian turut aktif dalam pendirian the Wahid Institute, di mana ia kini menjabat sebagai direktur. Ia sempat menjadi staf ahli Presiden SBY, sebelum akhirnya memutuskan untuk lebih memilih posisi sebagai Sekjen PKB yang sejak 2007 ini dijabatnya.
Figur kedua adalah seorang pria bernama lengkap Irfan Asy'ari Sudirman, dan lebih akrab disebut sebagai sebagai Irfan Wahid. Ia adalah putra Gus Solah, yang banyak menekuni dunia seni dan banyak dikenal dalam dunia multimedia. Sebagai putra seorang kiai, dan sebagai bagian dari sebuah dinasti penting dalam dunia pendidikan dan dakwah Islam, Irfan memiliki keperdulian yang tinggi terhadap aktifitas dakwah, dan menggunakan sarana seni untuk kepentingan itu. Pendidikan formal ia jalani di Institute Kesenian Jakarta (IKJ) dan The Art Institute of Seattle, Amerika. Irfan kemudian serius menekuni dunia periklanan dan rumah produksi. Irfan bukan 'orang panggung'. Ia lebih banyak berada di balik layar, dan mungkin karena itulah ia tak setenar Yenny saudara sepupunya itu. Ia kini aktif di PKS sebagai anggota Dewan Pakar partai ini, sekaligus sebagai koordinator kehumasan fraksi PKS di DPR. Irfan-lah yang menciptakan semboyan PKS yang sangat terkenal khususnya dalam masa Pemilu 2004: "Bersih dan Perduli". Sama seperti para pendahulunya dalam garis dinasti Hasyim, Irfan telah pula memberikan kontribusi terhadap sebuah kekuatan baru dalam politik Islam Indonesia.
...baca selengkapnya
Cara pandang lain menganggap bahwa pemimpin hanya bisa dilahirkan, tak bisa semata-mata dibentuk oleh lingkungannya. Menurut pendapat ini, kepemimpinan hanya bisa muncul dalam jiwa seseorang yang memang dilahirkan sebagai pemimpin atau tokoh. Seseorang ini terlahir sebagai pemimpin karena ia memiliki garis darah sebagai pemimpin dari orang tuanya. Atau paling tidak, ia jelas-jelas menunjukkan watak pemimpin sejak sangat dini.
Tentu, kenyataan sosial jauh lebih beragam daripada dua anggapan teoritik itu. Mungkin memang ada aspek genetika, dan ada pula aspek lingkungan tempat seseorang tumbuh dan berkembang, yang membentuk kepemimpinan. Dua faktor ini yang membuat keturunan seorang tokoh berpotensi menjadi tokoh pula. Dengan kata lain, jika seseorang memang dilahirkan dari bibit yang unggul, dan ia dibesarkan serta dididik dalam lingkungan yang juga unggul, dia telah berada di rute yang 'tepat' untuk menjadi pemimpin. Itulah sebabnya, ada dinasti dalam masyarakat, yakni deretan pemimpin yang tampak lahir turun temurun kendati bukan dalam sebuah monarkhi.
Di panggung politik Amerika ada dinasti Kennedy. Di Australia ada dinasti Downer. Di India ada dinasti Nehru. Di Indonesia, dua generasi Sukarno telah menjadi presiden. Mereka telah memulai pula sebuah dinasti. Selain dinasti Sukarno, salah satu yang bisa kita lihat di pentas politik dan keagamaan di Indonesia adalah 'dinasti Hasyim'. Siapakah mereka?
Dinasti ini dimulai dari tokoh yang di kalangan NU dikenal sebagai Hadratus Syaikh KH Hasjim Asj'ari (biasanya ditulis pula sebagai Hasyim Asy'ari). Dialah yang bersama KH Wahab Hasbullah mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926. Kiai Hasyim lahir dan besar di lingkungan pesantren. Sejak tiga generasi sebelumnya, keluarga Hasyim telah mengelola pesantren di Jombang, tempat tokoh ini dilahirkan. Seperti lazim ditemui dalam tradisi pesantren yang kerap melacak legitimasi sosialnya terhadap para raja dan/atau ulama besar di masa silam, silsilah keluarga kiai Hasyim kerap di-klaim memiliki rantai hingga Jaka Tingkir dan Sunan Giri.
Kiai Hasyim juga mengikuti tradisi putra seorang kiai dengan berguru ke berbagai pesantren sejak usia belia, termasuk pesantren-pesantren besar di Jawa/Madura, hingga ke Mekkah (dimana ia bertemu dan belajar bersama dengan Muhammad Darwisy yang kelak berganti nama menjadi Ahmad Dahlan dan mendirikan Muhammadiyah pada tahun 1912). Sepulang dari Mekkah, Kiai Hasyim mendirikan pesantren Tebuireng yang sangat terkenal itu. Tebuirang dan Kiai Hasyim sangat dikenal sebagai pusat kajian Hadits saat itu, hingga Kiai Cholil (Bangkalan) yang notabene adalah guru Kiai Hasyim senantiasa menyempatkan hadir di setiap kuliah Hadits yang diberikan muridnya itu.
Sumbangan utama Kiai Hasyim terhadap masyarakat adalah dalam dunia pendidikan agama Islam. Sumbangan lain yang juga sangat penting adalah dalam pergerakan nasional meski tetap dalam kerangka komunitas Muslim. 'Investasi' terpenting dia jelas adalah pendirian NU--dimana ia menjadi satu-satunya orang yang pernah memegang jabatan Rais Akbar. Investasi berikutnya dia tanam di lembaga-lembaga seperti Majlisul Islam A'la Indonesia (MIAI), Majlis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), dan Shumubu. MIAI adalah wadah konfederasi ummat Islam Indonesia yang didirikan tahun 1937. Kelak di jaman Jepang, wadah konfederasi ini digantikan oleh Masyumi (bedakan dari Masyumi yang partai politik dan didirikan tahun 1945 pasca proklamasi, dengan Kiai Hasyim juga sebagai ketua umum). Tahun 1942 pemerintah pendudukan Jepang mendirikan Shumubu, kantor urusan keagamaan yang akan menjadi cikal bakal departemen agama kelak. Kiai Hasyim menjadi ketua Shumubu yang pertama. Penting dicatat bahwa di jaman Jepang ini Kiai Hasyim pernah masuk penjara karena menentang upacara Seikerei (ruku' ke arah matahari terbit di pagi hari).
Kendati beberapa jabatan formal dipegang Kiai Hasyim di tahun 1940-an, namun sebagian besar peran riil sebenarnya dilaksanakan oleh putranya, KH Abdul Wahid Hasyim. Orang di generasi kedua dinasti yang sedang kita perbincangkan ini merupakan tokoh sentral di semua lembaga yang dirintis oleh Kiai Hasyim. Di MIAI dan Masyumi, dia memegang peran kunci, begitu pula di Shumubu. Kiai Wahid praktis senantiasa bertindak menjadi proxy ayahnya ketika di tahun 1940-an itu beberapa jabatan penting dipercayakan pada Kiai Hasyim namun beliau lebih banyak berada di Tebuirang. Di pesantren Tebuireng dan NU, Kiai Wahid juga menjadi penerus kepemimpinan ayahnya terutama sejak Kiai Hasyim meninggal tahun 1947. Di NU Kiai Wahid menjadi menjadi Ketua Umum Pengurus Besar hingga beliau meninggal.
Peran terpenting Kiai Wahid dalam pergerakan nasional disumbangkannya ketika dia turut aktif dalam penyiapan kemerdekaan Indonesia. Kiai Wahid adalah angota Panitia Sembilan yang menyusun UUD 1945 serta Pembukaan-nya. Segera setelah kemerdekaan, Kiai Wahid dipercaya untuk menjabat Menteri Agama RI yang pertama (1945, kemudian 1949-1952). Langkah Kiai Wahid memang penuh dengan warna-warni politik. Di bawah kepemimpinannya NU memutuskan untuk keluar dari Masyumi di tahun 1952, dan memutuskan untuk berdiri sebagai partai politik.
Sayangnya, Kiai Wahid tidak berumur panjang. Setahun kurang beberapa hari setelah keputusan NU keluar dari Masyumi, Kiai Wahid meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Dalam mobil yang mengalami kecelakaan itu Kiai Wahid mengajak serta putra pertamanya, Abdurrahman Addakhil. Sang putra yang selamat dalam kecelakaan itu kini dikenal publik sebagai KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Gus Dur adalah generasi ketiga dalam Dinasti Hasyim. Sejak awal dia terekspose kepada dunia politik yang merupakan lingkup pergaulan ayahnya sebagai menteri agama. Ia juga terekspose pada beragam ide karena bacaannya yang sangat luas sejak kecil. Tradisi pendidikan pesantren dijalaninya di Yogyakarta, Magelang dan Jombang. Ia kemudian melanjutkan pendidikan di Universitas Al Azhar, Kairo (di mana dia berteman dekat dengan Gus Mus) dan Universitas Baghdad di Iraq.
Sepulang dari Mesir dan Iraq, Gus Dur memulai kiprahnya di dunia LSM, sebelum akhirnya terlibat intensif dalam kepengurusan NU. Pada tahun 1984, ia memotori keputusan penting NU untuk kembali ke Khittah 1926 dan melepaskan diri dari kaitan formal dengan PPP. Di tahun 1984 pula ia mulai memegang jabatan sebagai Ketua Umum PB NU. Kita mengetahui sejarah Indonesia belakangan membawa Gus Dur ke kursi Presiden RI--yang didudukinya tak terlalu lama.
Peran Gus Dur yang terbesar disumbangkannya dalam lingkup dialog antar agama. Dia termasuk tokoh yang gigih menyuarakan pendapat bahwa semua ummat beragama seyogyanya bisa senantiasa duduk berdampingan secara damai, selama pembenaran agama sendiri tak diikuti dengan penudingan agama lain sebagai salah sehingga penganutnya tak perlu diperlakukan sepadan dengan sesama pemeluk agama sendiri. Ia banyak dipuji sekaligus banyak dicaci karena cara pandang ini. Kontroversi senantiasa menjadi bagian dari hidupnya selama ia berada di puncak karier politik dan keagamaan.
Pada generasi ketiga Dinasti Hasyim, kita juga mengenal KH Salahuddin Wahid. Ia adalah adik kandung Gus Dur yang selepas dari pendidikan di ITB lebih banyak aktif di dunia konstruksi. Gus Solah, demikian ia biasa dipanggil, senantiasa mengakui bahwa dirinya tak terlalu intens mendalami dunia pesantren. Namun demikian, ia tak jauh beranjak dari dunia NU. Keterkaitan dengan dunia NU dijaganya lewat aktifitas di Ansor, PMII dan belakangan di struktur formal kepengurusan sebagai Ketua PB NU. Di tahun 2004 ia sempat menuai kecaman ketika bersedia mendampingi Jenderal (Purn.) Wiranto dalam pemilihan presiden RI. Catatan pelanggaran HAM yang dikaitkan dengan Wiranto menjadi titik keberatan banyak kalangan terhadap keterlibatan Gus Solah yang nota bene adalah Wakil Ketua Komnas HAM. Kini, Gus Solah kembali ke akar genealogis dan sosialnya di dunia pesantren dengan memegang estafet kepemimpinan di Pesantren Tebuireng, Jombang
Di generasi keempat, Dinasti Hasyim mulai menampakkan ragam warna. Ada dua figur yang kita bisa ambil sebagai contoh. Figur pertama adalah Zannuba Ariffah Chafsoh, atau yang banyak orang kenal sebagai Yenny Wahid. Ia adalah putri Gus Dur. Jalur pendidikan perempuan kelahiran 1974 ini kebanyakan berada di luar dunia pesantren. Ia menyelesaikan S1 di Universitas Trisakti, dan gelar Master diperolehnya dari Harvard University. Sebelum sang ayah terpilih menjadi Presiden RI, Yenny lebih banyak berkarier di dunia kewartawanan. Sejak 1999 ia memilih melepaskan pekerjaannya, dan berkonsentrasi untuk menjadi mata dan telinga bagi Gus Dur yang memang memiliki masalah penglihatan dalam makna literer. Yenny kemudian turut aktif dalam pendirian the Wahid Institute, di mana ia kini menjabat sebagai direktur. Ia sempat menjadi staf ahli Presiden SBY, sebelum akhirnya memutuskan untuk lebih memilih posisi sebagai Sekjen PKB yang sejak 2007 ini dijabatnya.
Figur kedua adalah seorang pria bernama lengkap Irfan Asy'ari Sudirman, dan lebih akrab disebut sebagai sebagai Irfan Wahid. Ia adalah putra Gus Solah, yang banyak menekuni dunia seni dan banyak dikenal dalam dunia multimedia. Sebagai putra seorang kiai, dan sebagai bagian dari sebuah dinasti penting dalam dunia pendidikan dan dakwah Islam, Irfan memiliki keperdulian yang tinggi terhadap aktifitas dakwah, dan menggunakan sarana seni untuk kepentingan itu. Pendidikan formal ia jalani di Institute Kesenian Jakarta (IKJ) dan The Art Institute of Seattle, Amerika. Irfan kemudian serius menekuni dunia periklanan dan rumah produksi. Irfan bukan 'orang panggung'. Ia lebih banyak berada di balik layar, dan mungkin karena itulah ia tak setenar Yenny saudara sepupunya itu. Ia kini aktif di PKS sebagai anggota Dewan Pakar partai ini, sekaligus sebagai koordinator kehumasan fraksi PKS di DPR. Irfan-lah yang menciptakan semboyan PKS yang sangat terkenal khususnya dalam masa Pemilu 2004: "Bersih dan Perduli". Sama seperti para pendahulunya dalam garis dinasti Hasyim, Irfan telah pula memberikan kontribusi terhadap sebuah kekuatan baru dalam politik Islam Indonesia.
...baca selengkapnya