pembuka profil penelitian&publikasi kuliah kontemplasi
24 July 2007
Sore di Kakaskasen
Tadi malam saya berusaha mengingat-ingat dan mencari tahu lewat google, bagaimana sebenarnya hidung kita mendeteksi bebauan, dan mengapa bebauan itu sangat mudah memanggil kenangan. Saya menemukan beberapa info tentang bagaimana nostril kita bekerja untuk mengenali dan mendefinisikan bebauan. Saya menemukan pula bahwa kenangan yang datang karena kita mencium bebauan itu kerap disebut pula sebagai Proustian memory, mengacu pada novelis Marcel Proust, yang dalam novelnya Swan's Way melukiskan datangnya kenangan akibat bebauan itu dengan sangat memukau.

Saya mencari informasi tentang bebauan dan kenangan itu karena siang tadi di kampus, saya membaui sesuatu dan tiba-tiba saja sebuah kenangan datang tanpa bisa dihalau. Teman satu ruangan saya, Anton Birowo, dosen Universitas Atmajaya yang juga sedang ambil PhD di Curtin University, siang tadi menyeduh indocafe coffee mix. Aroma kopi 3-in-1 itu segera memenuhi ruangan kami, dan saya tertegun sebab aroma itu mengingatkan saya pada sesuatu.

Bukan sekali-dua kali saja saya minum indocafe coffee mix itu di Indonesia. Tapi entah kenapa, aroma kopi itu siang kemarin membawa saya pada kenangan akan suatu sore di Kakaskasen.

Kakaskasen adalah nama sebuah desa di Kota Tomohon, Sulawesi Utara. Ketika melakukan penelitian di Manado untuk keperluan disertasi, saya kerap kali pergi ke Tomohon yang terletak kita-kira satu jam perjalanan dari Manado ini. Sebab utamanya adalah karena Sinode GMIM terletak di kota kecil yang indah ini. Saya harus menemui dan mewawancarai banyak tokoh GMIM di kota ini.

Salah satu tokoh --meski kini tak berada dalam struktur formal-- GMIM yang sangat mengesankan bagi saya adalah Dr. Bert Adriaan Supit yang biasa dipanggil sebagai dokter Supit. Ia adalah tokoh yang memiliki pandangan politik khas, yang berbeda dari cara berpikir umum tokoh GMIM. Seperti kebanyakan orang Minahasa, dokter Supit adalah sosok yang asertif, hangat, dan egaliter.

Saya pertama kali menemui dokter Supit pada suatu sore di kantor ICRES (Institute of Community Research and Empowerment), sebuah LSM yang turut didirikannya. Kantor ICRES ini terletak di Kakaskasen, tak jauh dari Kantor Walikota Tomohon. Di area depan kantor LSM ini terdapat pula Perpustakaan AZR Wenas yang juga menjadi alasan lain mengapa saya datang ke sana.

Bangunan kantor ICRES adalah khas Minahasa--sebuah rumah panggung yang terbuat dari kayu. Saya berbincang-bincang dengan dokter Supit dan sebelumnya dengan Veldy Umbas, direktur ICRES, di sebuah ruangan yang jendelanya menghadap ke pemandangan lembah hijau berlatar belakang Gunung Lokon yang sangat indah di bagian barat kota Tomohon.

Di tengah-tengah buaian angin sore Kakaskasen yang sejuk, dan pemandangan sangat memukau di jendela, bincang-bincang dengan dokter Supit terasa hangat, sebab tokoh senior ini selalu bicara dengan antusias dan kadang meledak-ledak.

Kita berbicara tentang peran politik gereja, dimana dokter Supit menganggap bahwa gereja harus memiliki sikap dan suara politik tegas agar tak mudah dimanfaatkan oleh tarik-menarik kekuasaaan dan politik praktis. Kita berbincang pula tentang federalisme. Dokter Supit memiliki keyakinan bahwa federalisme adalah format yang lebih tepat diterapkan di Indonesia ketimbang unitarianisme. Ia, dalam hal ini, mengingatkan saya pada Prof. Amien Rais dulu.

Usai berdiskusi, dokter Supit memberi saya dua buku karyanya (satu autobiografi dan satu buku kumpulan tulisan) serta beberapa copy jurnal Nga'asan.

Selama berbincang-bincang hingga senja ini, kami ditemani oleh sepiring pisang goreng khas Minahasa, dan cangkir-cangkir berisi indocafe coffee mix. Itulah sebabnya, aroma kopi ini kemarin membawa kenangan saya kembali pada saat-saat mengesankan di Kakaskasean, sore itu.

Lain kali ingin saya bisa kembali ke sana, tapi untuk berlibur tanpa harus memikirkan penelitian...

...baca selengkapnya

1 Comments:

At 15 Aug 2007, 3:46:00 pm, Anonymous Anonymous said...

Saya pernah mengalami hal yang serupa , mas. Berkali-kali. Seperti halnya saya mengalami de ja vu. Nah, masalahnya dulu, saya tidak tahu sebutan apa yang pas untuk pengalaman serupa itu. Beda dengan de ja vu di atas, penamaan itu saya rumuskan sebagai peristiwa berulang yang serasa pernah kita alami sebelumnya. Pada akhirnya, mungkin di sinilah letak kekuatan bahasa: mencoba mengkonkretkan yang sebelumnya abstrak. Thanks atas informasinya.

 

Post a Comment

Kontemplasi