Dari statistik itu juga saya bisa lihat, halaman-maya mana yang merujuk orang untuk mengunjungi website saya.
Pagi ini, saya agak terheran ketika catatan statistik mengatakan bahwa orang mengunjungi website saya karena dirujuk oleh http://ugm.ac.id. Kendati saya menggunakan sub-domain UGM, tapi setahu saya website UGM tak membuat link ke website staff-nya. Penasaran, saya cek ke website UGM. Inilah tampilan yang saya temui.
Gambar di sudut kiri atas itu adalah link ke artikel tentang novel Gajah Mada. Gambar yang ditampilkan itu adalah foto karikatur keluarga yang dulu pernah kami gunakan sebagai kartu ucapan selamat lebaran via internet. Entah kenapa artikel dan gambar itu dimunculkan di website UGM, tapi kalau boleh saya ingin mengucapkan terima kasih pada pengelola website karena telah membuat saya bisa turut narsis di sana... :-)
...baca selengkapnya
Yang barangkali tak banyak kita ketahui, VOC memiliki adik kandung yang tujuan, struktur, serta piranti kekuasaannya sangat mirip.
Adik kandung VOC ini bernama Geoctroyeerde West-Indische Compagnie (GWC), atau terkadang disebut sebagai West-Indische Compagnie (WIC). GWC didirikan 19 tahun setelah VOC, dengan tujuan untuk menyalin sukses yang nampak mulai dicapai oleh VOC di kawasan Nusantara.
Seperti VOC, GWC juga memiliki beberapa kantor yang disebut sebagai kamer. Jika VOC memiliki enam kamer, GWC memiliki lima kamer yang terletak di Amsterdam, Rotterdam, Hoorn, Middelburg dan Groningen. Kendati memiiki jumlah kantor yang lebih sedikit dari VOC, namun GWC memiliki anggota dewan pengurus (yang mewakili kamer) yang lebih banyak. Jika di VOC terdapat 17 orang (yang dikenal sebagai Heeren XVII), maka di GWC terdapat 19 orang (yang karenanya disebut sebagai Heeren XIX).
Perbedaan terpenting antara kedua lembaga ini adalah hak untuk menggunakan kekuasaan militer. Berbeda dari VOC yang berhak sepenuhnya dan secara mandiri melakukan operasi militer, GWC hanya boleh melakukan tindakan-tindakan militer di area kekuasaannya apabila telah memperoleh ijin dari pemerintah Belanda.
Perbedaan terpenting lain tentu saja wilayah kekuasaan mereka. Jika VOC -seperti namanya- mengelola 'pulau-pulau timur', maka GWC ini mengelola kekuasaan perdagangan Belanda di sisi barat. Yang dimaksud dengan West-Indische ini terutama adalah kawasan Laut Karibia, dan sebagian kawasan Samudera Atlantik di bagian selatan.
Sayang, GWC tak terlalu mampu meniru kisah 'sukses' VOC. Yang bisa ditiru adalah persoalan salah-urusnya. Karena masalah itulah GWC dilikuidasi tahun 1674, dan setahun kemudian organisasi ini dihidupkan lagi dengan penataan baru. Penataan baru ini membuat GWC bisa berjalan kembali. Namun setting politik kolonial kemudian membuat ruang lingkup organisasi ini jadi kian terbatas, dan pada tahun 1791 ia pun sepenuhnya dibubarkan.
Beberapa referensi online yang bisa dibaca sebagai pengantar untuk mempelajari GWC atau WIC antara lain adalah:
- http://www.colonialvoyage.com/wicd.html
- http://tripatlas.com/Dutch_West_India_Company
- http://en.wikipedia.org/wiki/Dutch_West_India_Company
...baca selengkapnya
Di Indonesia, sayangnya, fungsi representasi ini masih kalah jauh dibandingkan aktivitas rekrutmen. Dalam masa menjelang pemilu seperti saat-saat ini, kita dapat lihat betapa gigihnya partai politik dan caleg berlomba-lomba berjualan tampang lewat spanduk dan iklan di media massa, serta lewat berbagai cara pendekatan lain yang sangat serius kepada target konstituennya. Betapa hebatnya upaya mereka untuk mensukseskan proses rekrutmen dan memperoleh kemenangan dalam kontestasi politik. Masalahnya, kerap kali relasi para caleg dan parpol di belakang mereka ini cuma sebatas pemilu dan jual tampang saat kampanye. Sangat jarang di antara mereka yang terus bersungguh-sungguh menjaga komunikasi dengan konstituen yang diwakilinya di luar konteks kampanye dan pemilu.
Karena itu, penting bagi masyarakat dan pemilih untuk nanti mampu mengingatkan para caleg dan parpol mereka: ‘berhentilah berpose untuk spanduk-spanduk kampanye, dan mulailah belajar mendengarkan kepentingan kami dengan sebaik-baiknya’.
Mengapa hal itu penting? Alasan yang terutama, tujuan paling akhir seluruh prosedur dan metode demokrasi adalah pada terwujudnya pemerintahan yang mampu menyerap kepentingan rakyat dengan sebaik-baiknya. Proses demokratisasi kerapkali memang mensyaratkan perubahan sistem kepartaian dan pemilu, serta dipercepatnya sirkulasi elit. Namun prasyarat perubahan itu tak bisa cuma berhenti di sana. Perubahan sistem tersebut harus segera mampu membuktikan diri untuk memuluskan salah satu sendi terpenting kegiatan bernegara modern, yakni representasi kepentingan rakyat dengan efektif dan optimal. Keseluruhan dinamika berpartai, berpemilu dan berparlemen sesungguhnya berpangkal pada tujuan dasar terbangunnya representasi tersebut.
Representasi itu sendiri tak cukup hanya berdasarkan pada identitas sosial masyarakat, sebagaimana yang kebanyakan terjadi di Indonesia. Yang lebih penting lagi, representasi itu seyogyanya didasarkan pada pemetaan kepentingan masyarakat. Peta kepentingan dalam masyarakat itu haruslah menjadi dasar bersikap dan bertindak para wakil wakyat di lembaga perwakilan, dan menjadi pijakan kebijakan yang paling utama.
Karena itu, sangat penting bagi kita untuk menjadikan pemilu tak hanya sebagai ruang berpose bagi para calon wakil rakyat, namun yang lebih penting lagi menjadikannya sebagai ajang seleksi bagi wakil rakyat yang memiliki kemampuan dan kemauan untuk mendengar kepentingan rakyat setiap saat. Kita patut khawatir bahwa kemampuan mendengarkan ini sulit diharapkan dari politisi yang dalam proses pencalegan hanya bisa jual tampang serta berdagang jargon kosong tanpa secercah isyarat program sedikitpun.
Untuk mengoreksi hal itu, dipelukan sinergi semua pihak. Dari pihak negara dan penyelenggara pemilu, antara lain diperlukan panduan serta kendali yang lebih kuat tentang substansi yang harus dipenuhi dalam kampanye setiap parpol dan calef. Selama ini penyelenggara pemilu baru sebatas mengelola waktu dan rambu-rambu permukaan kampanye bukan memberikan kisi-kisi substansi yang harus dipenuhi dalam kampanye itu. Selain itu, penting pula bagi negara dan penyelenggara pemilu untuk menyediakan ruang pengawasan secara terlembaga bagi masyarakat atas representasi mereka, semacam posko bersama yang dekat dengan konstituen (misalnya berbasis dapil).
Dari parpol dan para caleg/aleg, diperlukan adanya penegasan program saat kampanye dan sepanjang masa jabatannya. Selama ini parpol dan caleg lebih banyak menonjolkan isu-isu jargonis (semisal merujuk diri sebagai caleg yang “beriman, jujur dan dapat dipercaya”) beserta klaim atas basis sosial/ideologis tertentu. Penting pula bagi parpol dan para anggota legislatif untuk menyediakan saluran komunikasi reguler dengan pemilih (tak hanya berhenti saat pemilu, dan tak hanya searah dan simbolik saat reses), dan menjadikan komunikasi dengan pemilih itu sebagai basis pembuatan keputusan substantif.
Dan yang terakhir bagi para konstituen, penting untuk dalam pemilu nanti menentukan pilihan berdasarkan kejelasan program para caleh, tak sekadar orientasi sosial/ideologis mereka. Yang juga sangat penting, masyarakat pemilih harus mampu menjaga sikap kritis terhadap wakil yang telah dipilihnya. Namun itu saja tidak cukup. Kritisme terhadap para wakil rakyat itu mesti pula dikelola secara terorganisir dan sistematis, dan tidak sendiri-sendiri.
Wallahu a’lam bissawab.
...baca selengkapnya
Beberapa waktu yang lalu saya diundang untuk berbicara di sebuah acara salah satu parpol (berbasis soaial) Islam. Saya diminta untuk menjadi narasumber dalam sesi bedah buku tentang tokoh-tokoh ulama di Indonesia yang memiliki kaitan sejarah dan sosial dengan partai tersebut. Kendati tema intinya adalah seperti itu, tak urung diskusi melebar juga sampai pada performa parpol tersebut dalam Pemilu 2009.
Saat menguraikan kemungkinan performa parpol tersebut dalam pemilu mendatang, saya tekankan pentingnya untuk memahami konteks lebih besar, yakni peluang dan performa parpol-parpol Islam di pentas nasional secara keseluruhan. Salah satu fakta penting dalam hal ini adalah bahwa peluang partai Islam di pentas nasional tak bisa dibilang besar. Yang dimaksud partai Islam di sini adalah partai politik yang memiliki ideologi, atau orientasi program, atau basis sosial ummat Islam, atau gabungan ketiganya.
Dalam tiga kali pemilu multipartai yang dikelola secara bebas (1955, 1999 dan 2004), prosentase total perolehan suara partai-partai Islam relatif stabil, yakni sekitar 38% dari total perolehan suara nasional.
Dalam pemilu 1955, Masyumi memperoleh 20,9% suara dan NU 18,4%. Gabungan keduanya yang 39,3% sebenarnya lebih besar dari suara PNI yang pemenang pemilu dengan 22,3% suara. Artinya, Masyumi tanpa mufarraqah NU tahun 1952 sebenarnya berpeluang memenangkan pemilu.
Dalam pemilu 1999, saluran politik kaum santri menyebar dalam banyak partai, termasuk PPP, PKB, PAN dan PK. Total perolehan suara parpol Islam dalam pemilu ini adalah sekitar 37%. Angka ini sedikit lebih kecil dari angka di Pemilu 1955, antara lain karena magnitude partai nasionalis seperti PDI-P dan partai lama (yakni Golkar) yang masih kuat. Dalam Pemilu 2004, total prosentase perolehan suara partai Islam kembali mendekati angka pemilu 1955, dengan 38,9% suara.
Jika total prosentase perolehan suara partai-partai Islam secara nasional itu relatif stabil dalam ketiga pemilu tersebut, maka komposisi sebaran suara di dalam komunitas partai Islam itu cenderung berubah. Perubahan ini terkait dengan semakin rumitnya pola sebaran partai para kaum santri itu. Dalam pemilu 1955, partai Islam terbagi dengan mudah ke dalam partai Islam ‘modernis’ (Masyumi) dan Islam ‘tradisionalis’ (NU). Dalam pemilu 1999, sebarannya menjadi lebih kaya. Kini klaster besar kaum santri terbilah jauh lebih luas dari dikhotomi Muhammadiyah dan Nahdliyyin, sebab ada kelompok-kelompok baru terutama gerakan Tarbiyah yang termanifestasi dalam PK. Hal ini turut meningkatkan persaingan antara parpol Islam, di dalam belanga suara sekitar 38% itu.
Sementara itu, konflik antara parpol berbasis sosial kelompok-kelompok lama ummat Islam makin lama bukannya makin surut. Suara komunitas Muhammadiyah kini harus dibagi-bagi antara PAN dan PMB, sementara dukungan komunitas Nahdliyin ditarik sana-sini oleh PKB dan PKNU serta beberapa partai lain. Faktor inilah yang turut memerosotkan performa sebagian besar partai Islam dalam pemilu 2004 jika dibandingkan 5 tahun sebelumnya, sementara PKS sebagai partai baru jelmaan PK melaju dengan cepat mengintai posisi partai-partai Islam dengan basis sosial yang lebih matang di kalangan ummat Islam Indonesia. Ancang-ancang PKS belakangan untuk membidik konstituen di luar basis sosial aslinya wajar saja jika menimbulkan rasa gerah bukan saja di kalangan partai-partai Islam lain, namun juga partai-partai ‘sekuler’ yang juga merasa turut terancam.
Lalu, apakah partai Islam memang sudah waktunya untuk ‘menyerang’ ke luar lingkaran basis sosial lamanya ataukah tetap di dalam lingkup lama? Jawaban bagi pertanyaan ini tidaklah mudah. Langkah PKS yang mulai catch all itu bisa berimplikasi positif bisa pula negatif, dipandang dari sudut pandang perolehan suara. Salah satu keunggulan partai ini di masa lalu adalah kesan sebagai partai santri yang santun. Belakangan, PKS jadi tersimak terlalu ‘jumawa’, dan hal ini bisa mengecewakan sebagian konsituennya.
Bagaimana dengan partai Islam yang lain? Bagi saya sebaiknya partai Islam yang lain menunda dulu strategi ‘menyerang ke luar’ ala PKS, dan lebih baik menggunakan strategi menjaga gawang untuk merawat dan merekondisi akses terhadap basis sosial aslinya. Jika gawang pun ditinggalkan untuk ikut-ikutan menyerang, maka sangat dikuatirkan bahwa gawang ini justru akan jebol dan akan kian banyak parpol Islam yang hadir dengan performa berantakan dalam Pemilu 2004.
Wallahu a’lam bissawab.
...baca selengkapnya
Minggu lalu kebetulan saya ada acara di Magelang, untuk turut memberikan pembekalan tentang Pemilu 2009 kepada DPL (Dosen Pembimbing Lapangan) yang akan memandu mahasiswa KKN pemantau pemilu UGM. Karena di sana saya menginap semalam, maka sekalian saja saya boyong the gank untuk berlibur sebentar. Lumayan sudah lama juga kami tidak berlibur sejak jalan-jalan di Bali tempo hari.
Di Magelang kami menginap di Hotel Puri Asri yang sangat nyaman dan menyenangkan itu (dan gratis hehehe…), namun tujuan utama liburan singkat ini adalah Candi Borobudur. Perdana dan Afkar belum pernah melihat candi ini. Meski sepanjang jalan saya ceritakan bahwa yang akan kita kunjungi adalah “the largest Buddhist temple in the world”, namun tetap saja mereka terkaget-kaget melihat bangunan candi yang besar dan menjulang itu. Kekaguman mereka lalu bercampur sedikit omelan karena harus mendaki candi di tengah suasana panas dan lembab karena mendung…
Sebagian foto-foto di Borobudur dan Magelang saya upload di sini.
...baca selengkapnya
...baca selengkapnya
Yang paling saya gemari tetaplah novel sejarah, yang senantiasa menjadi candu paling menyenangkan ditengah kepenatan pekerjaan. Saya selalu menikmati ekstase yang terasakan saat membaca novel-novel sajarah yang ditulis sangat kuat oleh para sastrawan besar. Sebut saja novel Arus Balik-nya Pramudya Ananta Toer. Novel ini membuat saya sedih ketika membalikkan halaman terakhir, berharap pitutur di dalamnya tak segera usai. Atau bacalah novel Sam Po Kong: Perjalanan Pertama karya Remy Sylado. Betapa memukau, sehingga dulu saya sanggup menenggelamkan diri dalam buku yang tebalnya lebih dari 1000 halaman itu dan menyelesaikannya hanya dalam dua hari. (Sayang, novel terbaru penulis ini tentang Pangeran Diponegoro tak terlalu ‘bertenaga’ seperti karyanya tentang Cheng Ho itu). Tengok juga kekuatan bercerita Romo Mangun dalam trilogi Roro Mendut - Genduk Duku - Lusi Lindri. Di sana saya banyak temukan ilham dalam memahami sejarah Mataram dan worldview orang Jawa. Juga, betapa kuatnya perubahan sosial di Jepang pada era Tokugawa tergambarkan dalam novel Musashi karya Eiji Yoshikawa yang bahkan lebih tebal dari Pelayaran Pertama itu. Bacalah, jika anda belum membacanya.
Yang terakhir saya lengkapi adalah seri novel tentang Gajah Mada, karya Langit Kresna Hariadi. Novel ini terbit pertama kali tahun 2004, beberapa bulan setelah saya meninggalkan Jogja. Tahun 2005 ketika saya melakukan penelitian lapangan di Manado, sempat saya lihat seri pertama novel ini di Gramedia. Sayangnya saya tak langsung membeli saat itu, dan akhirnya terlupakan karena sempitnya waktu hingga saya kembali ke Perth. Ketika melihat seri lengkap novel ini di toko buku Social Agency beberapa waktu lalu, tanpa ragu saya borong semuanya. Diskon 20% yang selalu diberikan oleh toko buku ini lumayan mengurangi tingkat kerusakan dompet untuk membayarnya.
Sejak buku pertama terbit hingga tahun 2007, novel ini telah berkembang menjadi 5 (lima) buku yang masing-masing menuturkan kronologi perjalanan hidup sang Mahapatih. Buku pertama (yang berjudul Gajah Mada) mengenalkan sang tokoh semenjak ia masih seorang bekel muda yang gagah dan menonjol, dan bagaimana ia mulai terlibat dalam intrik-intrik kekuasaan yang melibatkan para bangsawan tinggi kerajaan Majapahit.
Buku kedua, berjudul Gajah Mada: Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara dan terbit pertama kali Februari 2006, mulai mengisahkan peran Gajah Mada dalam menyelamatkan Majapahit dari perpecahan akibat ketegangan yang berlanjut. Yang menarik, dalam buku kedua ini ada bonus peta lanskap kompleks istana Majapahit berukuran cuku besar.
Di buku ketiga, berjudul Gajah Mada: Hamukti Palapa yang terbit pertama kali Juli 2006, dituturkan tentang lahirnya sumpah Palapa yang legendaris itu, beserta konteks-konteks lahirnya ikrar ekspansionis tersebut. Dalam buku ini, terdapat bonus sebuah booklet berisikan saduran kitab Negarakertagama.
Buku keempat, yang agak lebih tipis dibandingkan keempat buku lainnya, membeberkan sebuah kisah yang kelak akan menjadi akar ketegangan kultural antara dua etnis besar di Indonesia, Jawa dan Sunda. Buku ini berjudul Gajah Mada: Perang Bubat (terbit pertama kali September 2006). Seperti judulnya, buku ini menggambarkan silang-silang ambisi, asmara, dan tipudaya politik yang berujung pada meletusnya Perang Bubat yang kisahnya berpangkal pada seorang putri jelita bernama Dyah Pitaloka.
Buku terakhir, Gajah Mada: Madakaripura Hamukti Moksa (terbit pertama kali Mei 2007), melukiskan era akhir dari kejayaan sang Mahapatih. Gajah Mada digambarkan sebagai pihak yang banyak menerima tudingan kekesalan dari banyak orang, akibat gegar politik seusai Perang Bubat. Sang tokoh harus menelan pil pahit. Ia tersingkir dari posisi politik utama dan harus menjalani senjakala hidupnya dalam sepi. Tapi Majapahit pun tak bisa bergembira sepeninggal tokoh ambisius ini…
...baca selengkapnya
Pernahkah kita memperhatikan dengan seksama barang-barang yang kita miliki? Pernahkah kita sadari bahwa mungkin ada barang milik kita yang sebenarnya over-priced dibandingkan dengan fungsi dasarnya? Misalnya, mungkin tak pernah kita tanyakan pada diri sendiri, mengapa kita membeli dan memakai cincin emas atau platinum, padahal cincin dari logam biasa juga bisa dihias indah dan berasa sama di jari yang mengenakannya. Barangkali tak pernah pula kita tanyakan, misalnya, mengapa kita memakai dasi sutra buatan Pierre Cardin dengan jepitan emas produk bertatahkan intan, padahal dasi satin yang dibeli di pasar grosiran pastilah tak akan beda rasanya di kerah baju kita. Atau sangat boleh jadi kita tak pernah tanya mengapa kita pakai pena Montblanc padahal pulpen merek Pilot juga bisa digunakan untuk menanda-tangani kesepakatan proyek bernilai milyaran rupiah sekalipun. Dan seterusnya. Jika kita sempat mempertanyakan semua itu, kira-kira apakah jawabnya?
Mungkin jawabannya karena semua itu adalah token of membership ketika kita ingin diakui sebagai bagian dari suatu level atau kelompok sosial tertentu dalam masyarakat. Barang-barang itu jelas kita bayar dengan harga yang jauh di atas makna fungsionalnya. Yang lebih menentukan pertimbangan kita dalam membeli barang-barang tersebut adalah nilai simboliknya. Uang yang kita keluarkan untuk membeli barang-barang mahal yang merupakan itu adalah membership fee yang telah kita anggap lazim. Mahal tak masalah, yang penting kita telah menjadi bagian dari semuah komunitas setelah membayarnya. Bukankah begitu?
Sangat boleh jadi, pemilihan umum (pemilu) pada taraf tertentu telah menjadi sebuah token of membership bagi sebuah negara jika ingin bergabung dalam sebuah mars peradaban bernama demokrasi. Pemilu adalah salah satu ornamen paling penting dalam modernitas politik, semenjak demokrasi dan manifestasi proseduralnya menjadi pilihan yang nyaris tunggal bagi penyelenggaraan negara.
Salah satu kredo paling penting yang banyak dipegang manusia modern adalah apa yang dirumuskan filsuf Prancis René Descartes (1596-1650), ‘cogito ergo sum’ (‘I think, therefore I am; ‘aku berpikir, karenanya aku ada’). Dewasa ini, demokrasi pun bisa dirumuskan dalam kredo senada: ‘aku berdemokrasi, karenanya aku ada’. Sangat sedikit orang, kelompok orang, atau bangsa yang secara tegas menolak sentralitas gagasan demokrasi dalam ide politik modern. Pun dengan cara yang sama, pemilu sebagai salah satu bagian dari prosedur demokrasi telah menjadi harga mati yang tak ditolak kecuali oleh sekelompok kecil kalangan. Pemilu adalah ‘tanda keanggotaan’ yang penting untuk dimiliki oleh banyak negara ketika mereka ingin diakui sebagai bagian dari masyarakat demokrasi dunia. Bahwa sebagai sebuah prosedur demokrasi itu pemilu meminta harga sangat mahal (terlebih dalam sistem presidensiil dimana eksekutif memerlukan mandat langsung dari rakyat, terpisah dari mandat untuk legislatif), barangkali tak lagi dianggap masalah berarti mengingat kebutuhan akan identifikasi diri sebagai negara demokratis. Menariknya, bahkan negara yang sebenarnya non-demokratis sekalipun juga turut melaksanakan pemilu untuk mengisi posisi-posisi politik. Terkait dengan proposisi bahwa kerapkali pemilu sekadar merupakan cara untuk meng-klaim sebagai negara demokratis, dengan sangat tepat Shiveli (2005: 225) menggambarkan:
Today elections are widespread around the world, even though a number of the world’s states are not democracies. Many non-democratic states, such as the pre-1989 Soviet Union, have held them regularly. Why are elections so in vogue?
Part of the answers, of course, is that democracy is a word that purrs with respectability. Even states that are not democratic wish to appear democratic, and holding elections is one of the easiest ways to follow some of the forms of democracy even if the state is not democratic.
A second reason is that elections can serve more purpose for the state than merely thedemocratic one of allowing the mass of people to help in the selection of leaders and policies. Elections were invented to make democracy possible; but once invented, they turned out to have further uses.
Tentu saja semua ini tak dimaksudkan untuk mengatakan bahwa pemilu bukanlah aspek penting dalam proses politik. Bahkan dapat dikatakan bahwa pemilu merupakan elemen sentral dalam proses rekrutmen politik modern. Pemilu juga merupakan titik penyeimbang antara kebutuhan akan sirkulasi elit di satu sisi, dengan keperluan adanya jaminan kontinyuitas sistem di sisi yang lain. Selain itu, pemilu juga merupakan salah satu ukuran terpenting bagi derajat partisipasi politik di sebuah negara (Axford et al. 2002: 147). Yang tak kalah penting, terwujudnya pemilu yang bebas biasanya merupakan indikator mulai bekerjanya energi-energi reformasi di negara yang sedang mengalami transisi dari otoritarianisme.
Indonesia termasuk negara yang kerap diombang-ambing perubahan politik besar-besaran yang berulang. Demokrasi di negeri tercinta ini juga mengalami naik-turun yang cukup signifikan. Tak beda dengan kecenderungan umum di banyak negara, perubahan politik serta naik-turunnya kualitas demokrasi di negara ini juga berimplikasi pada (dan karenanya dapat diamati manifestasinya di) dalam penyelenggaraan pemilu. Keluhan-keluhan utama tentang kualitas demokrasi di masa pemerintahan Orde Baru antara lain dialamatkan pada penyelenggaraan pemilu yang intimidatif dan penuh kecurangan. Sebaliknya, kebanggaan akan era reformasi pun senantiasa dinisbahkan pada kemampuan bangsa kita untuk menyelenggarakan pemilu multi-partai yang bebas, jujur dan adil semenjak tahun 1999.
Kendati begitu, pemilu di Indonesia tak selalu mudah dipahami oleh publik dan para pemilih. Regulasi yang senantiasa berubah-rubah memiliki sumbangsih sangat besar terhadap munculnya kebingungan akan sistem dan tata cara pemilu kita. Sementara itu, informasi yang lengkap tentang pemilu di Indonesia tak selalu mudah untuk ditemui.
Buku yang sedang Anda pegang ini berusaha memotret hal-ihwal pemilu-pemilu di Indonesia dari tahun 1955 hingga 2004. Kontribusi terpenting buku ini bagi kajian politik di Indonesia adalah gambarannya yang menyeluruh tentang berbagai aspek dalam pemilu, mulai dari regulasi (termasuk tata cara pemberian suara dan metode konversi suara menjadi kursi), peta partai politik, hingga konfigurasi politik yang dihasilkan oleh pemilu. Yang juga sangat esensial, buku ini menyajikan ulasan-ulasan teoritik tentang pemilu. Dengan demikian, buku ini akan sangat bermanfaat bagi spektrum pembaca yang luas. Bagi mereka yang berada lingkungan akademik (peneliti, dosen, mahasiswa), buku ini termasuk upaya pionir untuk secara khusus menyediakan referensi konseptual tentang pemilu dalam bahasa Indonesia. Kendati dimaksudkan sebagai ulasan introduktori tentang pemilu, namun elaborasi teoritik dalam buku ini boleh dibilang lengkap. Bagi masyarakat awam, buku ini bisa memberikan gambaran yang sangat utuh tentang bagaimana pemilu Indonesia dikelola. Pembaca bisa membangun pengetahuan yang utuh tentang tata cara penyelenggaraan pemilu di negara ini, dan bagaimana suara mereka dalam pemilu diolah dan diterjemahkan menjadi kursi jabatan publik.
Kalaupun ada kelemahan dalam buku ini, barangkali itu adalah absennya ulasan yang memadai tentang konflik yang muncul dalam pemilu-pemilu Indonesia. Di luar isu-isu elektoral, konflik dalam pemilu sebenarnya sangat menarik untuk dibahas, terutama karena konflik-konflik itu menggambarkan situasi umum politik negeri ini. Pada tahun 1955, misalnya, konflik dalam pemilu kerap terkait dengan ketegangan daerah yang luar biasa marak waktu itu. Atau kalau tidak, konflik dalam pemilu 1955 banyak terkait dengan penyalahgunaan birokrasi oleh PNI yang merupakan partai terkuat waktu itu (Feith 1962, 1977). Selama pemilu Orde Baru, konflik sangat terpola antara negara (yang direpresentasikan oleh Golkar dengan dukungan birokrasi dan militer) dan masyarakat (yang bisa dianggp sebagian terrepresentasi dalam PPP atau PDI). Sementara itu, dalam pemilu-pemilu pasca jatuhnya Soeharto, konflik kerap bersifat horisontal antara elemen masyarakat, terkait dengan proses pemilu maupun ketegangan dalam partai politik yang berimbas pada pemilu.
Meski demikian, kelemahan kecil tersebut sama sekali tak mengurangi makna kontributif buku ini. Kenyataan bahwa tak lama setelah buku ini terbit segera dilangsungkan pemilihan umum yang ketiga di masa reformasi juga memberikan nilai tambah padanya. Bagaimana pergeseran-pergeseran regulasi, dan apa konsekuensinya bagi proses pemilu 2009 bisa dipelajari dari buku ini.
Selamat membaca.[]
Referensi:
- Axford, Barrie, et al. 2002. Politics: an introduction. New York: Routledge.
- Feith, Herbert. 1962. The decline of constitutional democracy in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press.
- Feith, Herbert. 1977. The Indonesian Elections of 1955. Ithaca: Interim Report Series, Modern Indonesia Project, Southeast Asia Program, Cornel University.
- Shively, W. Phillips. 2005. Power & choice: an introduction to political science. New York: McGraw-Hill.
...baca selengkapnya