pembuka profil penelitian&publikasi kuliah kontemplasi
30 Nov 2008
Gajah Mada
Salah satu target saya yang utama semenjak kembali ke Jogja beberapa waktu lalu adalah mengenali lagi peta kuliner kota tercinta. Target utama lainnya adalah melengkapi rak buku dengan koleksi novel-novel karya satrawan negeri sendiri, yang selama empat tahun saya berada di Perth sangat minim updating.

Yang paling saya gemari tetaplah novel sejarah, yang senantiasa menjadi candu paling menyenangkan ditengah kepenatan pekerjaan. Saya selalu menikmati ekstase yang terasakan saat membaca novel-novel sajarah yang ditulis sangat kuat oleh para sastrawan besar. Sebut saja novel Arus Balik-nya Pramudya Ananta Toer. Novel ini membuat saya sedih ketika membalikkan halaman terakhir, berharap pitutur di dalamnya tak segera usai. Atau bacalah novel Sam Po Kong: Perjalanan Pertama karya Remy Sylado. Betapa memukau, sehingga dulu saya sanggup menenggelamkan diri dalam buku yang tebalnya lebih dari 1000 halaman itu dan menyelesaikannya hanya dalam dua hari. (Sayang, novel terbaru penulis ini tentang Pangeran Diponegoro tak terlalu ‘bertenaga’ seperti karyanya tentang Cheng Ho itu). Tengok juga kekuatan bercerita Romo Mangun dalam trilogi Roro Mendut - Genduk Duku - Lusi Lindri. Di sana saya banyak temukan ilham dalam memahami sejarah Mataram dan worldview orang Jawa. Juga, betapa kuatnya perubahan sosial di Jepang pada era Tokugawa tergambarkan dalam novel Musashi karya Eiji Yoshikawa yang bahkan lebih tebal dari Pelayaran Pertama itu. Bacalah, jika anda belum membacanya.

Yang terakhir saya lengkapi adalah seri novel tentang Gajah Mada, karya Langit Kresna Hariadi. Novel ini terbit pertama kali tahun 2004, beberapa bulan setelah saya meninggalkan Jogja. Tahun 2005 ketika saya melakukan penelitian lapangan di Manado, sempat saya lihat seri pertama novel ini di Gramedia. Sayangnya saya tak langsung membeli saat itu, dan akhirnya terlupakan karena sempitnya waktu hingga saya kembali ke Perth. Ketika melihat seri lengkap novel ini di toko buku Social Agency beberapa waktu lalu, tanpa ragu saya borong semuanya. Diskon 20% yang selalu diberikan oleh toko buku ini lumayan mengurangi tingkat kerusakan dompet untuk membayarnya.

Sejak buku pertama terbit hingga tahun 2007, novel ini telah berkembang menjadi 5 (lima) buku yang masing-masing menuturkan kronologi perjalanan hidup sang Mahapatih. Buku pertama (yang berjudul Gajah Mada) mengenalkan sang tokoh semenjak ia masih seorang bekel muda yang gagah dan menonjol, dan bagaimana ia mulai terlibat dalam intrik-intrik kekuasaan yang melibatkan para bangsawan tinggi kerajaan Majapahit.

Buku kedua, berjudul Gajah Mada: Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara dan terbit pertama kali Februari 2006, mulai mengisahkan peran Gajah Mada dalam menyelamatkan Majapahit dari perpecahan akibat ketegangan yang berlanjut. Yang menarik, dalam buku kedua ini ada bonus peta lanskap kompleks istana Majapahit berukuran cuku besar.

Di buku ketiga, berjudul Gajah Mada: Hamukti Palapa yang terbit pertama kali Juli 2006, dituturkan tentang lahirnya sumpah Palapa yang legendaris itu, beserta konteks-konteks lahirnya ikrar ekspansionis tersebut. Dalam buku ini, terdapat bonus sebuah booklet berisikan saduran kitab Negarakertagama.

Buku keempat, yang agak lebih tipis dibandingkan keempat buku lainnya, membeberkan sebuah kisah yang kelak akan menjadi akar ketegangan kultural antara dua etnis besar di Indonesia, Jawa dan Sunda. Buku ini berjudul Gajah Mada: Perang Bubat (terbit pertama kali September 2006). Seperti judulnya, buku ini menggambarkan silang-silang ambisi, asmara, dan tipudaya politik yang berujung pada meletusnya Perang Bubat yang kisahnya berpangkal pada seorang putri jelita bernama Dyah Pitaloka.

Buku terakhir, Gajah Mada: Madakaripura Hamukti Moksa (terbit pertama kali Mei 2007), melukiskan era akhir dari kejayaan sang Mahapatih. Gajah Mada digambarkan sebagai pihak yang banyak menerima tudingan kekesalan dari banyak orang, akibat gegar politik seusai Perang Bubat. Sang tokoh harus menelan pil pahit. Ia tersingkir dari posisi politik utama dan harus menjalani senjakala hidupnya dalam sepi. Tapi Majapahit pun tak bisa bergembira sepeninggal tokoh ambisius ini…


...baca selengkapnya
23 Nov 2008
Pemilu: Sebuah Token of Membership?
[Pengantar untuk buku karya Sigit Pamungkas, Perihal Pemilu (JIP, 2008)]

Pernahkah kita memperhatikan dengan seksama barang-barang yang kita miliki? Pernahkah kita sadari bahwa mungkin ada barang milik kita yang sebenarnya over-priced dibandingkan dengan fungsi dasarnya? Misalnya, mungkin tak pernah kita tanyakan pada diri sendiri, mengapa kita membeli dan memakai cincin emas atau platinum, padahal cincin dari logam biasa juga bisa dihias indah dan berasa sama di jari yang mengenakannya. Barangkali tak pernah pula kita tanyakan, misalnya, mengapa kita memakai dasi sutra buatan Pierre Cardin dengan jepitan emas produk bertatahkan intan, padahal dasi satin yang dibeli di pasar grosiran pastilah tak akan beda rasanya di kerah baju kita. Atau sangat boleh jadi kita tak pernah tanya mengapa kita pakai pena Montblanc padahal pulpen merek Pilot juga bisa digunakan untuk menanda-tangani kesepakatan proyek bernilai milyaran rupiah sekalipun. Dan seterusnya. Jika kita sempat mempertanyakan semua itu, kira-kira apakah jawabnya?

Mungkin jawabannya karena semua itu adalah token of membership ketika kita ingin diakui sebagai bagian dari suatu level atau kelompok sosial tertentu dalam masyarakat. Barang-barang itu jelas kita bayar dengan harga yang jauh di atas makna fungsionalnya. Yang lebih menentukan pertimbangan kita dalam membeli barang-barang tersebut adalah nilai simboliknya. Uang yang kita keluarkan untuk membeli barang-barang mahal yang merupakan itu adalah membership fee yang telah kita anggap lazim. Mahal tak masalah, yang penting kita telah menjadi bagian dari semuah komunitas setelah membayarnya. Bukankah begitu?

***

Sangat boleh jadi, pemilihan umum (pemilu) pada taraf tertentu telah menjadi sebuah token of membership bagi sebuah negara jika ingin bergabung dalam sebuah mars peradaban bernama demokrasi. Pemilu adalah salah satu ornamen paling penting dalam modernitas politik, semenjak demokrasi dan manifestasi proseduralnya menjadi pilihan yang nyaris tunggal bagi penyelenggaraan negara.

Salah satu kredo paling penting yang banyak dipegang manusia modern adalah apa yang dirumuskan filsuf Prancis René Descartes (1596-1650), ‘cogito ergo sum’ (‘I think, therefore I am; ‘aku berpikir, karenanya aku ada’). Dewasa ini, demokrasi pun bisa dirumuskan dalam kredo senada: ‘aku berdemokrasi, karenanya aku ada’. Sangat sedikit orang, kelompok orang, atau bangsa yang secara tegas menolak sentralitas gagasan demokrasi dalam ide politik modern. Pun dengan cara yang sama, pemilu sebagai salah satu bagian dari prosedur demokrasi telah menjadi harga mati yang tak ditolak kecuali oleh sekelompok kecil kalangan. Pemilu adalah ‘tanda keanggotaan’ yang penting untuk dimiliki oleh banyak negara ketika mereka ingin diakui sebagai bagian dari masyarakat demokrasi dunia. Bahwa sebagai sebuah prosedur demokrasi itu pemilu meminta harga sangat mahal (terlebih dalam sistem presidensiil dimana eksekutif memerlukan mandat langsung dari rakyat, terpisah dari mandat untuk legislatif), barangkali tak lagi dianggap masalah berarti mengingat kebutuhan akan identifikasi diri sebagai negara demokratis. Menariknya, bahkan negara yang sebenarnya non-demokratis sekalipun juga turut melaksanakan pemilu untuk mengisi posisi-posisi politik. Terkait dengan proposisi bahwa kerapkali pemilu sekadar merupakan cara untuk meng-klaim sebagai negara demokratis, dengan sangat tepat Shiveli (2005: 225) menggambarkan:

Today elections are widespread around the world, even though a number of the world’s states are not democracies. Many non-democratic states, such as the pre-1989 Soviet Union, have held them regularly. Why are elections so in vogue?

Part of the answers, of course, is that democracy is a word that purrs with respectability. Even states that are not democratic wish to appear democratic, and holding elections is one of the easiest ways to follow some of the forms of democracy even if the state is not democratic.

A second reason is that elections can serve more purpose for the state than merely thedemocratic one of allowing the mass of people to help in the selection of leaders and policies. Elections were invented to make democracy possible; but once invented, they turned out to have further uses.

Tentu saja semua ini tak dimaksudkan untuk mengatakan bahwa pemilu bukanlah aspek penting dalam proses politik. Bahkan dapat dikatakan bahwa pemilu merupakan elemen sentral dalam proses rekrutmen politik modern. Pemilu juga merupakan titik penyeimbang antara kebutuhan akan sirkulasi elit di satu sisi, dengan keperluan adanya jaminan kontinyuitas sistem di sisi yang lain. Selain itu, pemilu juga merupakan salah satu ukuran terpenting bagi derajat partisipasi politik di sebuah negara (Axford et al. 2002: 147). Yang tak kalah penting, terwujudnya pemilu yang bebas biasanya merupakan indikator mulai bekerjanya energi-energi reformasi di negara yang sedang mengalami transisi dari otoritarianisme.

***


Indonesia termasuk negara yang kerap diombang-ambing perubahan politik besar-besaran yang berulang. Demokrasi di negeri tercinta ini juga mengalami naik-turun yang cukup signifikan. Tak beda dengan kecenderungan umum di banyak negara, perubahan politik serta naik-turunnya kualitas demokrasi di negara ini juga berimplikasi pada (dan karenanya dapat diamati manifestasinya di) dalam penyelenggaraan pemilu. Keluhan-keluhan utama tentang kualitas demokrasi di masa pemerintahan Orde Baru antara lain dialamatkan pada penyelenggaraan pemilu yang intimidatif dan penuh kecurangan. Sebaliknya, kebanggaan akan era reformasi pun senantiasa dinisbahkan pada kemampuan bangsa kita untuk menyelenggarakan pemilu multi-partai yang bebas, jujur dan adil semenjak tahun 1999.

Kendati begitu, pemilu di Indonesia tak selalu mudah dipahami oleh publik dan para pemilih. Regulasi yang senantiasa berubah-rubah memiliki sumbangsih sangat besar terhadap munculnya kebingungan akan sistem dan tata cara pemilu kita. Sementara itu, informasi yang lengkap tentang pemilu di Indonesia tak selalu mudah untuk ditemui.

Buku yang sedang Anda pegang ini berusaha memotret hal-ihwal pemilu-pemilu di Indonesia dari tahun 1955 hingga 2004. Kontribusi terpenting buku ini bagi kajian politik di Indonesia adalah gambarannya yang menyeluruh tentang berbagai aspek dalam pemilu, mulai dari regulasi (termasuk tata cara pemberian suara dan metode konversi suara menjadi kursi), peta partai politik, hingga konfigurasi politik yang dihasilkan oleh pemilu. Yang juga sangat esensial, buku ini menyajikan ulasan-ulasan teoritik tentang pemilu. Dengan demikian, buku ini akan sangat bermanfaat bagi spektrum pembaca yang luas. Bagi mereka yang berada lingkungan akademik (peneliti, dosen, mahasiswa), buku ini termasuk upaya pionir untuk secara khusus menyediakan referensi konseptual tentang pemilu dalam bahasa Indonesia. Kendati dimaksudkan sebagai ulasan introduktori tentang pemilu, namun elaborasi teoritik dalam buku ini boleh dibilang lengkap. Bagi masyarakat awam, buku ini bisa memberikan gambaran yang sangat utuh tentang bagaimana pemilu Indonesia dikelola. Pembaca bisa membangun pengetahuan yang utuh tentang tata cara penyelenggaraan pemilu di negara ini, dan bagaimana suara mereka dalam pemilu diolah dan diterjemahkan menjadi kursi jabatan publik.

Kalaupun ada kelemahan dalam buku ini, barangkali itu adalah absennya ulasan yang memadai tentang konflik yang muncul dalam pemilu-pemilu Indonesia. Di luar isu-isu elektoral, konflik dalam pemilu sebenarnya sangat menarik untuk dibahas, terutama karena konflik-konflik itu menggambarkan situasi umum politik negeri ini. Pada tahun 1955, misalnya, konflik dalam pemilu kerap terkait dengan ketegangan daerah yang luar biasa marak waktu itu. Atau kalau tidak, konflik dalam pemilu 1955 banyak terkait dengan penyalahgunaan birokrasi oleh PNI yang merupakan partai terkuat waktu itu (Feith 1962, 1977). Selama pemilu Orde Baru, konflik sangat terpola antara negara (yang direpresentasikan oleh Golkar dengan dukungan birokrasi dan militer) dan masyarakat (yang bisa dianggp sebagian terrepresentasi dalam PPP atau PDI). Sementara itu, dalam pemilu-pemilu pasca jatuhnya Soeharto, konflik kerap bersifat horisontal antara elemen masyarakat, terkait dengan proses pemilu maupun ketegangan dalam partai politik yang berimbas pada pemilu.

Meski demikian, kelemahan kecil tersebut sama sekali tak mengurangi makna kontributif buku ini. Kenyataan bahwa tak lama setelah buku ini terbit segera dilangsungkan pemilihan umum yang ketiga di masa reformasi juga memberikan nilai tambah padanya. Bagaimana pergeseran-pergeseran regulasi, dan apa konsekuensinya bagi proses pemilu 2009 bisa dipelajari dari buku ini.

Selamat membaca.[]

Referensi:

  • Axford, Barrie, et al. 2002. Politics: an introduction. New York: Routledge.
  • Feith, Herbert. 1962. The decline of constitutional democracy in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press.
  • Feith, Herbert. 1977. The Indonesian Elections of 1955. Ithaca: Interim Report Series, Modern Indonesia Project, Southeast Asia Program, Cornel University.
  • Shively, W. Phillips. 2005. Power & choice: an introduction to political science. New York: McGraw-Hill.

...baca selengkapnya
17 Nov 2008
Empat Huruf yang Mahal

Dalam perjalanan pulang dari Medan minggu lalu, ada kejadian menarik yang membuat saya sedikit merenung. Kejadian ini berlangsung di pesawat yang membawa saya ke Yogyakarta usai transit selama 2 jam di Bandara Sukarno-Hatta.

Saya duduk di saf nomer 17, di jendela sisi kiri. Berjarak satu kursi di sebelah kanan saya (di isle seat), duduk seorang mantan menteri yang juga akan pergi ke Yogya. Saya sudah duduk dan memasang sabuk pengaman, ketika si mantan menteri ini datang dengan wajah bersungut-sungut. Ia diikuti oleh seorang staf pesawat (bukan cabin crew), yang mempersilakannya duduk di kursi itu. Sesaat sebelum duduk, saya dengar ia berbicara galak pada si staf: “saya tunggu permintaan maaf Anda!”.

“Iya pak, saya minta maaf”, jawab si staf sambil sedikit nyengir.

Sang mantan menteri tampak tak puas. “Anda minta maaf hanya setelah saya marah-marah!” omelnya dengan keras.

Si staf, dengan sedikit salting, memilih diam tak menjawab dan segera berlalu dengan rada gontai.

Pak mantan menteri ini kemudian menghempaskan diri di tempat duduknya dengan menggerutu, “dasar orang-orang gila semua; Garuda ini makin payah.”

Seorang ibu yang duduk di antara saya dan pak mantan bertanya penasaran, “ada apa pak?”

“Nomer tempat duduk saya ke-dobel,” jawab pak mantan. “Sebenarnya ini hal biasa. Tapi mereka berbelit-belit, dan sama sekali tak mau mengucapkan permintaan maaf. Kata ‘maaf’ dari mereka tidak saya dengar. Keterlaluan.”

“Kok bisa kedobel ya pak,” timpal si ibu.

“Bisa saja kedobel. Ini masalah komputer. Tapi kalau mereka minta maaf, kan selesai. Ini tidak.” Pak mantan menjawab dengan bersungut-sungut.

“Iya pak ya, benar-benar mahal kata ‘maaf’ itu. Cuma empat huruf, tapi mahalnya minta ampun.” Si ibu berbicara dengan nada bijak.

Dalam hati, saya mengiyakan kata-kata si ibu itu. Sementara pak mantan tetap tenggelam dalam cemberutnya…

***

Kejadian itu membuat saya merenung cukup lama dalam pesawat siang itu. Ada dua hal yang mewarnai benak saya saat itu.

Pertama, betapa sulitnya kita untuk berpikir dan berbuat adil ketika amarah sedang menguasai hati. Lihatlah si pak mantan itu. Siapapun dalam posisi dirugikan oleh nomer tempat duduk yang dobel itu pasti akan marah. Itu jelas. Jika saya dalam posisi dia pun, saya akan marah (barangkali lebih galak?). Tapi mumpung saya tak dalam posisi dia, ada baiknya kita coba menimbang persoalan dengan adil.

Staf yang menjadi tumpuan marah pak mantan (atau tumpuan marah kita, andai kita dalam posisi si pak mantan) bukanlah sumber utama kesalahan yang terjadi. Dia hanyalah orang yang kebetulan berada di lokasi ketika efek kesalahan itu terasa. Sepantasnya dia atasnama perusahaan meminta maaf, agar masalah segera selesai. Tapi dia cuma seorang pegawai kecil bergaji kecil yang mungkin tak terdorong untuk memiliki etos merasa turut memiliki perusahaan. Kesalahan yang bukan perbuatan dia tentu sulit untuk dia mintakan maaf. Buat dia, yang salah adalah staf di counter yang membuat nomer ganda. Atau bahkan, buat dia kesalahan mungkin ada di komputer yang bisa menyelipkan nomer ganda itu. Itulah sebabnya ia tak merasa perlu untuk secara refleks minta maaf.

Maka, alih-alih memaksa dia minta maaf, bukankah lebih baik kita yang ‘memaksa’ diri agar bisa menimbang persoalan secara adil, kendati sedang marah?

Kedua, seperti kata si ibu tadi, betapa pentingnya bagi kita untuk tak membuat mahal kata ‘maaf’. Kerap kita berada dalam persoalan pelik, yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan mudah hanya dengan permintaan maaf. Tapi jujur, betapa seringnya kita merasa kata maaf begitu berat terasa di lidah. Bukankah kita seringkali merasa amat gengsi untuk meminta maaf? Padahal kata maaf adalah kunci kemenangan kita dalam komunikasi dengan orang. Tak ada orang yang menganggap rendah kita hanya karena mengucap permintaan maaf.

Namun keberanian untuk meminta maaf (dalam rangka menjadi ‘pemenang’ dalam setiap persoalan yang pelik) memang bukanlah sekadar kognisi. Ia adalah keterampilan yang perlu diasah. Dalam perjalanan pulang ke Yogya itu, saya tiba-tiba menyadari manfaat lain dari istighfar. Rasulullah (shalawatullah ‘alaih) mengucap istighfar hingga ratusan kali dalam sehari. Itulah salah satu teladan penting yang diberikannya. Dalam istighfar kita memohonkan ampun bagi diri kita kepada Allah. Essensinya adalah maaf. Dengan pengulangan istighfar secara intens ini, kita pun akan terbiasa untuk mengucap dan meminta maaf apabila kita memang perlu melakukannya.

Jadi, kita bisa berlatih untuk menjadi orang yang berani meminta maaf — berlatih dengan memperbanyak istighfar.

Bagaimana?


...baca selengkapnya
16 Nov 2008
Tak Ada Siang…

Perjalanan 3 hari ke Medan minggu lalu sedikit mengecewakan buat saya. Ada target-target pribadi yang tak bisa dicapai dalam perjalanan itu.

Medan adalah kota yang belum pernah saya kunjungi. (Hah!? where have you been?) Sempat terheran-heran juga saya, ketika menyadari bahwa saya belum pernah ke kota Medan. Itulah sebabnya, tugas untuk turut dalam tim perumus dan narasumber dalam sebuah workshop tentang penguatan DPRD tidak saya tolak. Ke Medan; that was all that mattered.

Karena ini kunjungan pertama ke Medan, maka saya minta bisa tersedia cukup waktu luang bagi saya di akhir acara setiap harinya, agar saya bisa menikmati kota Medan. Minimal, saya berharap bisa pergi ke Istana Maimun dan Masjid Raya, dan melemaskan jejari dengan mengambil foto kedua bangunan indah itu.

Keinginan yang sederhana ya? Tapi ternyata keinginan yang sederhana ini pun tak bisa terpenuhi.

Saya tiba di Medan Selasa, sekitar jam 22.30. Saya tak tertarik dengan kehidupan malam, dan tak berminat untuk memulai pengenalan diri pada kota Medan dengan berjalan-jalan saat sudah menjelang tengah malam. Lagipula badan sudah meminta untuk istirahat (setelah seharian di Yogya menguras energi, dengan berbicara di sebuah acara bedah buku tentang Tan Malaka di pagi hari, disusul mengajar hingga jam 14.30, dilanjutkan dengan bergegas pulang ke rumah di Rejodani dan berkemas ke airport mengejar pesawat jam 16.30). Karena itu, malam saat tiba di Medan itu saya putuskan untuk langsung menuju ke Tiara Hotel, tempat workshop sekaligus tempat saya menginap. Usai mandi, saya pun segera tidur, dengan membawa harap bahwa esok hari akan banyak waktu senggang untuk melihat-lihat kota ini.

Tapi esoknya, acara workshop molor-molor selalu, sehingga sesi terakhir di hari pertama yang seharusnya selesai jam 5 sore (meaning: hari masih belum senja dan bisa dimanfaatkan untuk jalan-jalan), baru usai ketika maghrib telah tiba. Alhasil di hari pertama saya cuma bisa jalan-jalan saat malam.

Untungnya pengalaman kuliner di hari pertama ini cukup menyenangkan. Bersama beberapa kolega (termasuk Pak BP), saya pergi ke Kampung Keling, sebuah kawasan warung pinggir jalan yang didominasi warga keturunan India. Di sebuah jalan yang tak lebar, berjejer puluhan warung dengan menu jualan utama martabak atau mie keling — selain sate Padang, seafood, dan sup kambing. Saya hibur hati, yang rada kesal karena jalan-jalan sore yang gagal itu, dengan roti canai berkuah kari kambing, seporsi sate padang, dan limpahan sepiring nasi goreng seafood. Yang terakhir ini adalah pesanan teman yang alergi telur, dan saat memesan nasi goreng itu lupa untuk memintanya tanpa telur. Demi menghindari kesia-siaan (sebab dia harus memesan ulang tanpa telur) akhirnya saya menawarkan diri untuk jadi penampung porsi yang terlanjur jadi itu. Kendati rasa makanannya cukup lezat, buat saya masakan di sini tidaklah terlalu eksotis. Rasa masakan Medan tidaklah sedahsyat masakan di Padang dan Bukittinggi yang selalu mengundang rindu jika dikenang itu.

Rampung makan di Kampung Keling ini, kita minta Pak Ali (sopir mobil milik Pemprov Sulut yang disediakan oleh seorang alumnus PLOD UGM) untuk mengantar kami cari durian. Pak Ali membawa kami ke Jl. Adam Malik, yang kata dia adalah pusat pedagang durian di Medan.

Di jalanan ini, banyak kita jumpai pedagang durian yang menempati petak-petak pinggir jalan yang lumayan luas. Durian ditata secara sangat menggoda, dibantu oleh penerangan lampu yang saling berlomba mengundang perhatian orang lewat. Di setiap petak itu ada deretan meja dan kursi yang ditata mirip warung. Di setiap meja tampak terlihat ember-ember kecil berisi air untuk cuci tangan, serta gelas-gelas plastik air mineral. Di sebelah meja terdapat keranjang persegi untuk membuang biji durian. Tampaknya orang datang ke sana kebanyakan untuk menikmati durian di tempat. Kalaupun dibawa pulang (atau dibawa untuk oleh-oleh), banyak yang memilih untuk membuka duriannya di tempat, dan memindahkan isinya ke dalam kotak plastik yang disediakan juga oleh si penjual.

Kami berhenti di salah satu petak yang kebetulan ada ruang parkir kosong di depannya. Begitu duduk melingkari salah satu meja, tiga buah durian yang sudah dibelah terhidang di depan kami dengan segera. Saya comot sebiji, dan happ… emmm. Lezat betul. Ini kali kedua saya menikmati durian sejak kembali ke Indonesia. Kali pertama adalah di depan TVRI Yogya di Jl. Magelang. Yang di Yogya duriannya kecil dan dagingnya tipis. Yang di Medan ini dagingnya tebal dan rasanya begitu legit. Dan harganya itu lho! Satu durian di Yogya bisa menguras kocek sekitar Rp. 50.000-an. Yang di Medan ini, kami makan empat durian berukuran besar-besat plus beberapa gelas air mineral, kerusakan yang melanda dompet cuma Rp. 60.000,- (”bah, tak kliru hitung kau Bang?”)

Tapi salah saya juga, perut sudah dibikin terlalu penuh sejak di Kampung Keling. Di Adam Malik ini saya hanya sanggup menghabiskan 4 atau 5 suapan durian… Perut sudah tak sanggup. Pun ketika seorang teman di Pemprov menelpon untuk mengajak makan malam, kami angkat tangan. Kami hanya sanggup memenuhi ajakannya untuk kongkow-kongkow dan minum jus. Itu pun saya hanya bisa menyedot jus semangka dengan rasa malas. Hehehe…

Malamnya saya tidur dengan rasa kekenyangan. Tetap saya berharap, esok harinya saya bisa jalan-jalan sebelum malam. Menurut jadwal, acara besok akan selesai jam 15.15. Banyak waktu bagi saya untuk melihat kota Medan secara lebih jelas. Or, is it?

Ternyata lagi-lagi, acara di hari kedua molor. Workshop baru ‘berhasil’ sepenuhnya kami tutup pada pukul 16.30… Saya sudah malas duluan, dan kehilangan mood untuk raun-raun — istilah Medan untuk jalan-jalan. Apalagi saya segera disibukkan oleh kerjaan lain yang membuat saya baru bisa beranjak setelah jam 19.30. Padahal tadinya, saya sempat berencana untuk setidaknya menjajal shalat maghrib di Masjid Raya. Tapi apa boleh buat, inipun tak tercapai. Ya sudah: acara malam sebelumnya sebagian saya ulang. Kami pergi makan ke Kampung Keling (kali ini kami mencoba naik becak motor alias betor). Di sana saya mencoba menghibur diri dengan seporsi martabak Mesir serta jus campuran markisa dan timun Belanda, lalu pulang segera ke hotel karena ada sesuatu yang harus saya kerjakan. Walhasil, di hari kedua ini pun saya sama sekali tak sempat melihat Medan di siang hari.

Kesempatan untuk melihat Medan saat matahari bersinar baru datang keesokan harinya. Tapi inipun sudah percuma. Sinar matahari di atas Medan itu cuma bisa saya lihat dalam perjalanan ke Bandara Polonia, karena saya harus kembali ke Jakarta dan kemudian ke Yogya hari itu. Seperti apa pelosok Medan ketika siang hari, sama sekali saya tak bisa lihat dalam kunjungan pertama ini. Dalam pesawat yang bersiap take off ke Jakarta, saya membaca dua doa: pertama doa naik kendaraan, dan kedua doa semoga lain kali saya bisa kembali ke Medan dan menikmati kota ini di siang hari.

Sabtu pagi ketika saya tiba di kantor di PAU UGM, seorang teman bertanya: “gimana Medan, Mas?”. Saya jawab asal, “tak ada siang di Medan, bah!”


...baca selengkapnya