Tidak, saya tidak sedang menulis tribute untuk Soeharto yang kemarin (26/01) meninggal dunia setelah mengalami sakit parah beberapa waktu. Ide tulisan ini memang datang karena wafatnya Soeharto. Tapi bukan dia yang ingin saya kenang.
Sejak Soeharto dirawat di rumah sakit bulan lalu, saya selalu terbayang akan hari-hari terakhir Bung Karno yang penuh kesulitan dan penderitaan dalam karantina politik, serta kesehatan yang (sengaja dibuat?) kian merosot. Ketika Soeharto meninggal kemarin, saya serta-merta membayangkan seperti apa kira-kira suasana hati saya andai telah cukup dewasa pada tanggal 21 Juni 1970, saat Bung Karno wafat. Saya membayangkan bagaimana perasaan hati andai yang saya dengar kemarin adalah kabar wafatnya pahlawan yang saya sangat kagumi itu. Hal ini memberi ’suasana berkabung’ yang cukup kuat di hati saya.
Salah satu catatan yang sangat mengesankan tentang meninggalnya Bung Karno saya temukan di buku karya Bambang Wijanarko, Sewindu Dekat Bung Karno. Dalam salah satu bab buku ini, Bambang Wijanarko menceritakan saat-saat ia mendengarkabar meninggalnya BK, dan mengantarkan jenzahnya ke Blitar sesuai dengan perintah Jenderal Soeharto kala itu.
Kebetulan pagi ini saya membaca tulisan Dr. Asvi Warman Adam di Jawa Pos tentang perbedaan pemakaman Bung Karno dan Pak Harto. Tulisan yang kebetulan cukup mewakili suasana hati saya ini, dikutip selengkapnya di sini:
Senin, 28 Jan 2008, Beda Pemakaman Pak Harto dan BK Oleh Asvi Warman Adam*
Pada 27 Januari 2008 pukul 13.10, mantan Presiden Soeharto wafat. Jenazahnya disemayamkan di kediamannya, Jalan Cendana, dan dilayat pejabat tinggi negara, mulai presiden, wakil presiden, sampai para menteri. Masyarakat umum berjubel di sepanjang Jalan Cendana menonton para tetamu.
Senin pagi, 28 Januari 2008, ini jenazah mantan orang nomor satu RI itu diterbangkan ke pemakaman keluarga di Astana Giribangun. Ketua DPR Agung Laksono akan bertindak secara resmi dalam pelepasan jenazah di Jalan Cendana, Wakil Presiden Jusuf Kalla memimpin pelepasan di Halim Perdanakusumah. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi inspektur upacara di Astana Giribangun.
Astana Giribangun yang diperuntukkan keluarga Nyonya Suhartinah Soeharto didirikan di Gunung Bangun yang tingginya 666 meter di atas permukaan laut. Cangkulan pertama dilakukan Tien Soeharto Rabu Kliwon, 13 Dulkangidah Jemakir 1905, bertepatan dengan 27 November 1974.
Dengan menggunakan 700 pekerja, bangunan yang merupakan gunung yang dipangkas tersebut diselesaikan dan diresmikan pada Jumat Wage, 23 Juli 1976. Jadi 30 tahun sebelum meninggal, Soeharto telah mempersiapkan tempat peristirahatan yang terakhir. Hal itu dilakukan Soeharto agar “tidak menyusahkan orang lain”.
Soeharto memperoleh hak dan fasilitas sebagai seorang mantan kepala negara. Namun, hal yang berbeda dialami mantan Presiden Soekarno. Sewaktu mengalami semacam tahanan rumah di Wisma Yaso (sekarang Gedung Museum Satria Mandala Pusat Sejarah TNI) di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Soekarno tidak boleh dikunjungi masyarakat umum.
Pangdam Siliwangi H.R. Dharsono mengeluarkan perintah melarang rakyat Jawa Barat untuk mengunjungi dan dikunjungi mantan Presiden Soekarno. Kita ketahui, H.R. Dharsono kemudian juga menjadi kelompok Petisi 50 dan meminta maaf kepada keluarga Bung Karno atas perlakuannya pada masa lalu itu.
Putrinya sendiri, Rachmawati, hanya boleh besuk pada jam tertentu. Pada 21 Juni 1970, Bung Karno wafat setelah beberapa hari dirawat di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. Beberapa waktu sebelumnya, Rachmawati menanyakan kepada Brigjen Rubiono Kertapati, dokter kepresidenan, kalau Soekarno menderita gagal ginjal, kenapa tidak dilakukan cuci darah? Jawabannya, alat itu sedang diupayakan untuk dipesan ke Inggris.
Itu jelas sangat ironis. Pada masa revolusi pasca kemerdekaan, Jenderal Sudirman menderita penyakit TBC. Ketika itu, obatnya baru ditemukan di luar negeri, yakni streptomycin. Pemerintah Indonesia dalam keadaan yang sangat terbatas dan berperang menghadapi Belanda berusaha mendapatkan obat tersebut ke mancanegara, tetapi nyawa Panglima Sudirman tidak tertolong lagi. Hal itu tidak dilakukan terhadap Ir Soekarno.
Bung Karno dibaringkan di Wisma Yaso setelah wafat di RSPAD Gatot Subroto dan di situ pula dia dilepas Presiden Soeharto dan Nyonya Tien Soeharto. Situasi saat itu memang sangat tidak kondusif bagi Soekarno dan keluarganya. Beberapa hari sebelumnya, yakni 1 Juni 1970, Pangkopkamtib mengeluarkan larangan peringatan hari lahirnya Pancasila setiap 1 Juni. Soekarno sedang diperiksa atas tuduhan terlibat dalam percobaan kudeta untuk menggulingkan dirinya sendiri. Pemeriksaan tersebut dihentikan setelah sakit Bung Karno semakin parah.
Pada 22 Juni 1970, jenazah sang proklamator dibawa ke Halim Perdanakusumah menuju Malang. Di Malang disediakan mobil jenazah yang sudah tua milik Angkatan Darat, demikian pengamatan Rachmawati Soekarnoputri (di dalam buku Bapakku Ibuku, 1984) yang membawanya ke Blitar.
Sepanjang jalan Malang-Blitar, rakyat melepas kepergian sang proklamator di pinggir jalan. Di sini Soekarno dimakamkan dengan Inspektur Upacara Panglima ABRI Jenderal Panggabean pada sore hari. Sambutan dibacakan sangat singkat.
Soekarno hanya dimakamkan di pemakaman umum di samping ibunya. Seusai acara resmi, rakyat ikut menabur bunga. Karena banyaknya tanaman itu, sampai terbentuk gunung kecil di atas pusara Sang Putra Fajar tersebut. Namun tak lama kemudian, rakyat yang tidak kunjung beranjak dari makam kemudian mengambil bunga-bunga itu sebagai kenangan-kenangan. Dalam tempo singkat, makam Bung Karno kembali rata sama dengan tanah.
Pemakaman di Blitar itu berdasar Keputusan Presiden RI No 44/1970 tertanggal 21 Juni 1970. Keputusan tersebut diambil dengan berkonsultasi bersama pelbagai tokoh masyarakat. Padahal, Masagung dalam buku Wasiat Bung Karno (yang baru terbit pada 1998) mengungkapkan bahwa sebetulnya Soekarno telah menulis semacam wasiat masing-masing dua kali kepada Hartini (16 September 1964 dan 24 Mei 1965) dan Ratna Sari Dewi (20 Maret 1961 dan 6 Juni 1962). Di dalam salah satu wasiat itu dicantumkan tempat makam Bung Karno, yakni di bawah kebun nan rindang di Kebun Raya Bogor.
Di dalam otobiografinya, Soeharto mengatakan bahwa sebelum memutuskan tempat pemakaman Soekarno, dirinya mengundang pemimpin partai. Jelas Soeharto menganggap itu masalah politik yang cukup pelik. Jadi, pemakaman tidak ditentukan keluarga, tetapi melalui pertimbangan elite politik.
Kemudian, Soeharto melalui keputusan presiden menetapkan pemakaman di Blitar konon dengan alasan tidak ada kesepakatan di antara keluarga. Apakah betul demikian? Sebab, pendapat lain mengatakan bahwa hal itu dilakukan Soeharto demi pertimbangan keamanan. Jika dikuburkan di Kebun Raya, pendukung Bung Karno akan berdatangan ke sana dalam rombongan yang sangat banyak, sedangkan jarak Bogor dengan ibu kota Jakarta tidak begitu jauh. Hal tersebut dianggap berbahaya, apalagi saat itu menjelang Pemilu 1971.
Pemugaran makam Bung Karno juga penuh kontroversi. Pemugaran dilakukan pada 1978 dengan memindahkan makam-makam orang lain itu. Menurut Ali Murtopo di depan kader PDI se-Jawa Timur, ide tersebut berasal dari Presiden Soeharto. Masyarakat tentu bisa menduga bahwa itu dilakukan dalam rangka mengambil hati para pendukung Bung Karno menjelang pemilu. Dalam pemugaran tersebut, keluarga tidak diajak ikut serta. Bahkan, dalam peresmian pemugaran itu, putra-putri Soekarno tidak hadir.
Dalam prosesi pemakaman di Blitar, Megawati tidak hadir karena sedang berada di luar negeri. Namun, kabarnya putra tertua Bung Karno, Guntur Sukarno Putra, mewakili keluarga mantan Presiden Soekarno akan datang ke Astana Giribangun. Ketika Soeharto di Rumah Sakit Pertamina, Guruh juga berkunjung. Ini suatu pelajaran sejarah berharga bagi bangsa kita. Jangan lagi kesalahan masa lalu diulang dan marilah kita berjiwa besar.
* Dr Asvi Warman Adam, sejarawan, ahli peneliti utama LIPI
Tanggal 26 Januari adalah Australia Day, yang dirayakan untuk memperingati hari berlabuhnya rombongan pertama para tahanan asal Inggris yang dibuang di Sydney tahun 1788. Rombongan ini dipimpin oleh Kapten Arthur Phillip, yang kelak akan menjadi gubernur New South Wales yang pertama.
Australia Day ini dirayakan sama meriahnya dengan 17 Agustus di Indonesia, atau 4 Juli di Amerika. Tradisi perayaan Australia Day di seluruh Australia dimulai sejak tahun 1935. Mulai tahun 1994, hari ini (atau hari sebelum atau sesudahnya jika kebetulan tanggal ini jatuh di akhir pekan) dijadikan hari libur nasional.
Salah satu lagu yang kerap dinyanyikan di Australia Day adalah I still call Australia home karya Peter Allen. Lagu ini juga pernah digunakan iklan Qantas.
I still call Australia home
I've been to cities that never close down From New York to Rio and old London town But no matter how far or how wide I roam I still call Australia home. I'm always traveling - I love being free And so I keep leaving the sun and the sea But my heart lies waiting, over the foam still call Australia home.
All the sons and daughters, spinning 'round the world Away from their family and friends But as the world gets older, and colder Its good to know where your journey ends.
And some day we'll all be together once more When all the ships come back to the shore I'll realise something I've always known I still call Australia home
Beberapa waktu yang lalu di sebuah toko buku di Perth Airport saya membeli buku berjudul God is not great: How religion poisons everything. Buku yang diterbitkan oleh Allen & Unwin tahun 2007 ini ditulis oleh Christopher Hitchens, seorang penulis kelahiran Inggris yang kini tinggal di Amerika Serikat. Saya pernah melihat buku ini sebelumnya di Angus&Robertson. Tapi waktu itu saya tak terlalu tertarik karena judulnya yang terlalu bombastis. Saya selalu berprasangka bahwa buku dengan judul bombastis isinya tak akan menarik. Apalagi, jelek-jelek begini saya masih merasa cukup religius sehingga buku dengan judul yang melecehkan Tuhan agak malas saya sentuh. Namun saat berada di Airport itu saya masuk ke sebuah toko buku kecil, dan tak melihat cukup banyak buku menarik. Karenanya buku yang semula saya acuhkan itu pun saya sentuh, dan saya buka halaman demi halaman.
Ternyata secara sekilas isinya tampak menarik. Bukan berarti menurut saya isinya benar. Buku itu menarik karena dengan melihatnya sekilas, benak saya tiba-tiba mengeluarkan banyak bantahan terhadap isinya. Saya pikir, bagus lah kalau begitu, isinya cukup layak dibaca. Prasangka saya gara-gara judul yang bombastis itu mungkin tak terbukti. Karenanya, saya bawa buku itu ke kasir dan saya bayar. Selama dua mingguan terakhir ini saya sesekali mengistirahatkan benak dari kepenatan menulis disertasi dengan membaca buku ini.
Si penulis, Hitchens, adalah seorang atheis. Ia secara gamblang menegaskan posisi tersebut dalam buku ini. Buku setebal 307 halaman ini sepenuhnya melihat agama dan kebertuhanan dari sudut pandang atheisme. Bagi para atheis, Tuhan itu tidak ada; agama adalah struktur palsu yang bertujuan untuk mengilusikan keberadaan Tuhan di satu sisi, serta untuk menegakkan hegemoni di atas pengikutnya di sisi yang lain. Sepanjang buku ini, Hitchens memaparkan berbagai fakta untuk mendukung proposisi tersebut.
Di sinilah letak kelebihan buku ini. Selama ini debat antara theisme dan atheisme lebih banyak berpijak pada gagasan. Karya-karya yang berbicara tentang agama (baik menolak ataupun menerima kebenaran agama) kebanyakan didasarkan pada argumentasi dan gagasan yang dihasilkan dari pemikirian. Buku Hitchens ini, sebaliknya, lebih banyak memaparkan fakta sebagai cara untuk menunjukkan ketidak-adaan Tuhan.
Hitchens terutama melihat agama-agama langit yang selama ini dikenal sebagai agama monotheistik, yakni Yahudi, Islam dan Kristen. Namun ia juga mengupas agama-agama lain seperti Hindu dan Buddha.
Ia memulai dengan menjelaskan problematika dalam memahami ‘takdir’ (tentu saja Hitchens tidak menggunakan kata ‘takdir’ - saya pakai kata ini untuk memudahkan saja). Ia ambil contoh: Seorang guru agama mengatakan betapa luar biasanya keadilan Tuhan. Ia ciptakan dedaunan berwarna hijau, sebab mata manusia rupanya paling nyaman melihat warna hijau. Bagi Hitchens, ini salah kaprah. Rasa nyaman melihat warna hijau adalah hasil proses adaptasi mata manusia terhadap lingkungannya yang berwarna hijau, bukan sebaliknya.
Di bagian berikutnya, Hitchens menyoroti kekerasan yang muncul atasnama agama. Ia menggambarkan bahwa agama adalah sumber dorongan sangat besar terhadap timbulnya kekerasan sebagaimana banyak dicatat dalam sejarah. Hitchens mencontohkan beberapa kasus, termasuk (sudah dapat diduga) kasus 911.
Bersama dengan kekerasan ini, agama juga merupakan sumber opresi terhadap kemanusiaan. Agama, kata Hitchens, mengajarkan banyak hal yang mengharuskan manusia memandang dirinya begitu buruk. Ia menggambarkan bagaimana ketiga agama langit mengajarkan bahwa manusia dihadapan Tuhan adalah pendosa, dan bahwa manusia diciptakan dari debu atau lumpur atau gumpalan darah. Menurutnya, seluruh ajaran agama didasarkan pada perendahan manusia sebagai sesuatu yang memang dirancang bermasalah, dan kehidupan bagi manusia semata-mata dimaksudkan sebagai masa tunggu akan datangnya hari kemudian, atau akan datangnya sang juru selamat.
Bagian yang sangat menarik adalah yang mengupas tentang naskah-naskah suci agama. Hitchens membeberkan dengan panjang lebar apa yang dinilainya sebagai cerita-cerita palsu dan fiksional dalam Old Testament (khususnya Musa, 10 perintah Tuhan, dan peristiwa eksodus dari Mesir yang menurutnya mengada-ada), serta keanehan dan kontradiksi yang banyak terdapat dalam New Testament. Hal ini bagi Hitchens adalah bukti yang sangat kuat bahwa agama adalah buatan manusia semata.
Mitos-mitos di kalangan Yahudi dan Kristen, kata Hitchens, banyak disalin begitu saja dalam Al Quran. Islam, tulis Hitchens, ‘builds upon its primitive Jewish and Christian predecessor, selecting a chunk here and a shard there, and thus if these fall, it partly falls also.’ (h. 123).
Di bagian akhir, Hitchens menekankan pentingnya suatu kesadaran baru bahwa agama sudah kehilangan justifikasinya di jaman modern. Ilmu pengetahuan dan teknologi (Hitchens secara khusus menyebut ‘the telescope and the micorscope‘ [h. 282] sebagai contoh) bisa memberikan jawaban atas banyak hal penting. Manusia tak lagi memerlukan agama sebagai penjelas. Yang lebih penting lagi kata Hitchens, semua jawaban yang disediakan oleh akal dan rasionalitas itu hanya bisa berguna jika mitos dan agama bisa ditanggalkan.
***
Pada intinya, buku ini berguna bagi siapapun dalam dua kubu: mereka yang atheis, dan mereka yang percaya akan adanya Tuhan. Bagi para atheis, buku ini jelas memberikan referensi yang cukup komprehensif untuk mendukung penolakan atas keberadaan Tuhan dan peran agama. Namun bagi mereka yang bukan atheis, buku ini membeberkan secara lengkap dan mudah dipahami bagaimana seorang atheis berpikir.
Anda berada di posisi yang mana, itu sepenuhnya terserah anda. Tapi saya menutup buku ini sambil bergumam, ‘nice try, Mr. Hitchens‘.
Gaya menulis Hitchens, harus diakui, sangat memukau. Ia memaksa orang untuk terus membaca. Bagi saya ada dua alasan mengapa buku ini begitu dibaca cukup sulit diletakkan. Pertama, di banyak bagian saya mendapati argumen yang mudah untuk disetujui pada tingkat permukaan, namun mengundang pikiran untuk menjelajah lebih jauh dan menyanggahnya. Misalnya, Hitchens betul ketika mengatakan bahwa banyak penganut agama yang terbelenggu pada mitos yang menghalangi mereka untuk berpikir rasional. Yang tidak diselami oleh Hitchens adalah bahwa kehidupan dalam mitos ini kebanyakan adalah produk dari interpretasi yang sempit dan melenceng terhadap agama, dan bukan intensi ajaran agama itu sendiri.
Kedua, buku ini ditulis dengan bahasa yang sangat profokatif dalam membeberkan apa yang dinilainya sebagai keburukan dan kepalsuan agama. Banyak kata-katanya yang kerapkali sangat terasa menjengkelkan. Saya senantiasa terdorong untuk terus mencari halaman demi halaman, apalagi yang akan ditulis Hitchens secara sinis tentang aspek tertentu dalam agama dan kebertuhanan. Entah sengaja entah tidak, Hitchens terasa begitu menjengkelkan ketika ia melompat-lompat dari ilustrasi tentang perilaku individual, ke argumen tentang ajaran agama; atau dari ilustrasi tentang keterbelakangan masyakat, ke irrasionalitas agama; dan seterusnya. Kejengkelan inilah yang saya nikmati dalam membaca buku ini.
Yang jelas, secara umum bagi saya ada satu keberatan mendasar terhadap cara berpikir ala Hitchens: ia menjadikan penolakannya terhadap sebuah agama sebagai dasar untuk menilai dan selanjutnya menolak seluruh agama…
***
Sebagai penutup, video ceramah Hitchins tentang buku ini cukup menarik untuk disimak.
***
Tentang buku ini:
Judul: God is not great: How religion poisons everything
Penulis: Christopher Hitchens
Penerbit: Allen & Unwin, NSW
Tahun: 2007
Isi buku:
1: Putting It Mildly 2: Religion Kills 3: A Short Digression On The Pig; or, Why Heaven Hates Ham 4: A Note On Health, To Which Religion May Be Hazardous 5: The Metaphysical Claims of Religion Are False 6: Arguments From Design 7: The Nightmare Of The Old Testament 8: The “New” Testament Exceeds The Evil Of The “Old” One 9: The Koran Is Borrowed From Both Jewish and Christian Myths 10: The Tawdriness Of The Miraculous And The Decline Of Hell 11: Religion’s Corrupt Beginnings 12: A Coda: How Religions End 13: Does Religion Make People Behave Better? 14: There Is No “Eastern” Solution 15: Religion As An Original Sin 16: Is Religion Child Abuse? 17: An Objection Anticipated 18: A Finer Tradition: The Resistance Of The Rational 19: In Conclusion: The Need for a New Enlightenment