pembuka profil penelitian&publikasi kuliah kontemplasi
22 Oct 2007
Suatu Pagi di Surga

Suatu pagi di surga, seorang tokoh NU duduk di teras rumahnya yang asri. Dalam ketenangan pagi, ia khusyuk membolak-balik halaman kitab kuning seperti kebiasaannya di dunia dulu. Di meja sebelah, sepiring kacang rebus dan secangkir kopi susu mengepulkan asap hangat. Sesekali tokoh NU ini menjumput sebutir kacang rebus, membuka kulitnya, dan mengunyahnya pelan-pelan sambil matanya tak beranjak dari halaman buku yang tengah ia pegang.

Ini surga. Pagi di surga pastilah terasa sangat damai.

Tepat di depan rumah si tokoh NU, terdapat pula sebuah rumah yang tak kalah asrinya. Rumah itu terletak di seberang jalan. Bentuk, ukuran, keindahan serta kemewahan rumah itu persis sama seperti rumah jatah si tokoh NU itu. Pastilah kedua rumah itu merupakan hasil investasi yang sepadan.

Pintu rumah di seberang jalan itu membuka pelan. Sang pemilik keluar rumah menuju halaman depannya yang sangat indah. Wajah si pemilik rumah memancarkan cahaya yang menebarkan damai. Dulu di dunia, ia adalah seorang tokoh Muhammadiyah yang cukup dikenal. Intelektual yang rajin berdakwah, itulah dia.

Dan pagi itu, terkejutlah si tokoh Muhammadiyah itu, ketika ia dari halaman rumahnya memandang ke rumah tetangga di seberang jalan.

“Ya Allah, ya Rahman ya Rahim,” gumamnya, “Aku seperti kenal wajah tetangga di depan rumah itu.”

Bergegas, ia berjalan melintasi jalan di depan rumahnya untuk memastikan. Dugaannya benar. Orang di seberang jalan itu memang adalah orang yang dulu ia kenal di dunia.

Maka diucapkanlah salam. “Assalamualaikum.”

Sedikit terkejut, si tokoh NU di seberang jalan mengangkat pandangan dari kitab kuningnya, dan membalas salam, “wa’alaikum salam warahmatullah wabarakatuh.”

Lalu makin terkejutlah ia ketika melihat siapa yang baru saja menyapanya. “Ya akhi, ternyata antum. Ngapain di sini?”

“Lah, itu juga yang saya ingin tanyakan sama panjenengan,” jawab si tokoh Muhammadiyah. “Ngapain anda di sini?”

“Saya tidak tahu mengapa saya ada di sini. Seingat saya semenjak usai yaumul-hisab tiba-tiba saja saya mendapati diri berada di tempat yang indah ini. Sangat menyenangkan.”

“Ya memang menyenangkan. Tapi yang bikin saya bingung, bagaimana anda bisa masuk surga?”

“Kenapa bingung ya akhi?”

“Bukankah di masa hidup dulu anda ini terkenal banget dengan ibadah yang penuh TBC, tahyul-bid’ah-churafat, itu. Anda seingat saya gemar sekali nyampur-nyampur ajaran agama dengan tradisi masyarakat. Anda itu senangnya menyanjung-nyanjung Rasulullah dengan cara yang mengkhawatirkan.”

“Mengkhawatirkan?” Tanya si tokoh NU.

“Iya, mengkhawatirkan, sebab mudah sekali membuat anda terjerumus pada mengkultuskan Muhammad.”

“Jadi, kenapa kalau mengkultuskan Muhammad?”

“Lho, itu kan bisa menggelincirkan orang pada syirik kalau tak hati-hati.”

“Lha iya, kan saya sudah hati-hati biar kultus itu tak berubah jadi syirik.”

“Anda ini gegabah. Dan itu yang bikin saya heran.”

“Heran gimana toh antum ini?”

“Ya saya heran, bagaimana bisa anda masuk surga”

“Lha ya itu. Apa antum kira saya tidak heran juga?”

“Lho kok heran juga. Apa maksudnya?”

“Ya saya ini heran juga. Kok bisa antum ini masuk surga. Padahal antum dulu sukanya beribadah yang minim-minim saja. Tidak ada afdhol-afdholnya sama sekali ibadah antum itu. Antum suka naruh Al Qur’an sembarangan, tergeletak begitu saja di meja, seperti buku-buku biasa. Dan bukankah antum dulu sering sekali salat idul fitri di tanggal 30 Ramadlan? Ck… ck… ck… ”

“Lho, itu hasil hisab.”

“Iya hasil hisab. Kami juga hisab dulu sebelum rukyat. Dan hasil hisab kami gak senekad antum itu.”

“Itu metode anda saja yang sudah ketinggalan jaman.”

“Ah kami selalu belajar ilmu falakh terbaru, dan metode kami juga terbaru. Tapi saya gak heran kalau dalam hal ini. Dari dulu antum ini paling susah kalau diminta untuk tawaddu’ ya akhi…”

“Terus, apa maksudnya?” Tanya si tokoh Muhammadiyah lagi.

“Ya maksudnya, antum ini kok bisa basuk surga. Saya heran.”

Keduanya lalu tertegun. Benar juga. Dengan dua ragam ibadah yang satu sama lain saling berbeda, mengapa keduanya bisa sama-sama masuk surga? Bahkan, rumah mereka pun sangat mirip.

Mereka berdua lalu memutuskan untuk mencari jawaban, apa sebenarnya yang membawa mereka ke surga. Si tokoh Muhammadiyah mengajak tetangganya si tokoh NU itu untuk masuk ke rumahnya. Berdua mereka menuju ke ruang kerja si tokoh Muhammadiyah, dan duduk di depan sebuah superkomputer yang teramat canggih. Komputer itu bisa mendeteksi niat dan tujuan penggunanya. Begitu kedua tokoh ini duduk dan menatap si komputer, alat ini pun mulai mengolah kata kunci yang terbaca di benak keduanya. Tak lama, di layar komputer muncullah hasil pencarian mereka.

Komputer itu mulai dengan menyajikan statistik amal ibadah kedua tokoh ini. Betapa mengesankan nilai ibadah mereka berdua. Masing-masing tersenyum bangga membaca catatan statisitk ibadah mereka.

Tapi senyum itu tak lama. Komputer kemudian mengkonversi prestasi ibadah mereka masing-masing ke dalam nilai tukar untuk membeli tiket ke surga. Ternyata, seluruh nilai ibadah mereka berdua itu tak memiliki nilai tukar yang berarti. Dengan seluruh prestasi ibadah itu, mereka tak akan sanggup membeli sekuntum bunga surga pun–apalagi rumah indah-mewah-megah seperti yang kini mereka tinggali.

Jadi, kata komputer itu, ibadah mereka mungkin bernilai, tapi nilainya sangat kecil.

Lalu apa yang membawa mereka berdua ke surga? Komputer menjawab, yang membawa mereka ke surga adalah ridla Allah.

“Apa yang membuat Allah ridla pada kami?” tanya mereka berdua.

“Hanya Allah yang tahu,” jawab si komputer.

“Lalu tak berguna sama sekalikah ibadah kami itu?”

“Tentu berguna. Ibadah itu adalah cara anda berdua untuk meminta ridla Allah.”

“Lha bagaimana dengan ibadah teman saya ini yang penuh bid’ah?” tanya si tokoh Muhammadiyah.

“Iya,” si tokoh NU menimpali cepat. “Bagaimana pula dengan ibadah dia yang serba minim dan hambar itu?”

“Dalam penilaian Allah yang penting adalah hati yang menggerakkan ibadah itu,” jawab si komputer, “dan bukan ragam-rinci ibadah itu sendiri.”

“Jadi dengan hati yang tulus, Allah me-ridlai kami?”

“Belum tentu juga. Ridla Allah ya sepenuhnya hak Allah.”

“Jadi, wahai komputer, ente pun tak bisa sepenuhnya tahu apa yang membuat Allah ridla?”

“Begitulah.”

“Ah, payah ente.”

“Lho, tapi saya tahu apa yang bisa membuat ridla Allah lenyap musnah.”

“Apa itu?”

“Kesombongan, dan hati yang merasa diri paling benar sedang orang lain pasti salah.”


...baca selengkapnya
4 Oct 2007
Bidadari itu: "Perempuan Shaleh"

Di bawah ini adalah tulisan lama Kang Jalal. Saya terkesan akan tulisan ini sejak pertama kali membacanya, dan selalu terkesan tiap kali membacanya lagi hingga kini. Saya pernah mengirimkan tulisan Kang Jalal ini ke sebuah milis pengajian, dan memunculkan diskusi yang cukup menarik (baik tentang ide kesetaraan gender dalam tulisan ini; maupun tentang penulisnya --Prof. Jalaluddin Rakhmat-- dan labeling aliran keagamaan yang terlekat padanya). Potongan judul tulisan Kang Jalal ini pernah saya pinjam untuk sebuah tulisan di website ini. Mungkin bagi yang belum pernah membacanya, tulisan ini berguna pula saya kutip selengkapnya di sini.


Bidadari itu: "Perempuan Shaleh"

Jalaluddin Rakhmat

"Benarkah hadis yang mengatakan bahwa kebanyakan penghuni neraka itu perempuan?" tanya seorang murid kepada Imam Ja'far. Fakih besar abad kedua hijrah itu tersenyum. "Tidakkah anda membaca ayat Al-Qur'an - Sesungguhnya Kami menciptakan mereka sebenar-benarnya; Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta dan berusia sebaya (QS 56:36-37). Ayat ini berkenaan dengan para bidadari, yang Allah ciptakan dari perempuan yang saleh. Di surga lebih banyak bidadari daripada laki-laki mukmin." Secara tidak langsung, Imam Ja'far menunjukkan bahwa hadis itu tidak benar, bahwa kebanyakan penghuni surga justru perempuan.

Hadis yang 'mendiskreditkan' perempuan ternyata sudah masyhur sejak abad kedua hijrah. Tetapi sejak itu juga sudah ada ahli agama yang menolaknya. Dari Imam Ja'far inilah berkembang mazhab Ja'fari, yang menetapkan bahwa akikah harus sama baik buat laki-laki maupun perempuan. Pada mazhab-mazhab yang lain, untuk anak laki-laki disembelih dua ekor domba, untuk anak perempuan seekor saja. Mengingat sejarahnya, mazhab Ja'fari lebih tua, karena itu lebih dekat dengan masa Nabi daripada mazhab lainnya. Boleh jadi, hadis-hadis yang memojokkan perempuan itu baru muncul kemudian: sebagai produk budaya yang sangat maskulin?

Karena banyak ayat turun membela perempuan, pada zaman Nabi para sahabat memperlakukan istri mereka dengan sangat sopan. Mereka takut, kata Abdullah, wahyu turun mengecam mereka. Barulah setelah Nabi meninggal, mereka mulai bebas berbicara dengan istri mereka (Bukhari). Umar, ayah Abdullah, menceritakan bagaimana perempuan sangat bebas berbicara kepada suaminya pada zaman Nabi.

Ketika Umar membentak karena istrinya membantahnya dengan perkataan yang keras istrinya berkata: Kenapa kamu terkejut karena aku membantahmu? Istri-istri Nabi pun sering membantah Nabi dan sebagian malah membiarkan Nabi marah sejak siang sampai malam. Ucapan itu mengejutkan Umar: Celakalah orang yang berbuat seperti itu. Ia segera menemui Hafsah, salah seorang istri Nabi: Betulkah sebagian di antara kalian membuat Nabi marah sampai malam hari? Betul, jawab Hafsah (Bukhari).

Menurut riwayat lain, sejak itu Umar diam setiap kali istrinya memarahinya. Aku membiarkannya, kata Umar, karena istriku memasak, mencuci, mengurus anak-anak, padahal semua itu bukan kewajiban dia. Anehnya, sekarang, di dunia Islam, pekerjaan itu dianggap kewajiban istri. Ketika umat Islam memasuki masyarakat industri, berlipat gandalah pekerjaan mereka. Berlipat juga beban dan derita mereka. Untuk menghibur mereka para mubalig (juga mubalighat) bercerita tentang pahala buat wanita saleh yang mengabdi (atau menderita) untuk suaminya: Sekiranya manusia boleh sujud kepada manusia lain, aku akan memerintahkan istri untuk sujud kepada suaminya (hadis 1). Bila seorang perempuan menyakiti suaminya, Allah tidak akan menerima salatnya dan semua kebaikan amalnya sampai dia membuat suaminya senang (hadis 2). Siapa yang sabar menanggung penderitaan karena perbuatan suaminya yang jelek, ia diberi pahala seperti pahala Asiyah binti Mazahim (hadis 3). Setelah hadis-hadis ini, para khatib pun menambahkan cerita-cerita dramatis. Konon, Fathimah mendengar Rasul menyebut seorang perempuan yang pertama kali masuk surga. Ia ingin tahu apa yang membuatnya semulia itu. Ternyata, ia sangat menaati suaminya begitu rupa, sehingga ia sediakan cambuk setiap kali ia berkhidmat kepada suaminya. Ia tawarkan tubuhnya untuk dicambuk kapan saja suaminya mengira service-nya kurang baik.

Cerita ini memang dibuat-buat saja. Tidak jelas asal-usulnya. Tetapi hadis-hadis itu memang termaktub dalam kitab-kitab hadis. Hadis 1: diriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud. Tetapi Bukhari (yang lebih tinggi kedudukannya dari Abu Dawud) dan Ahmad meriwayatkan hadis sebagai berikut: Ketika Aisyah ditanya apa yang dilakukan Rasulullah di rumahnya, ia berkata: "Nabi melayani keperluan istrinya menyapu rumah, menjahit baju, memperbaiki sandal, dan memerah susu." Anehnya, hadis ini jarang disebut oleh para mubalig. Karena bertentangan dengan 'kepentingan laki-laki'?

Hadis-hadis lainnya ternyata dipotong pada bagian yang merugikan laki-laki. Setelah hadis 2, Nabi berkata,"Begitu pula laki-laki menanggung dosa yang sama seperti itu bila ia menyakiti dan berbuat zalim kepada istrinya." Dan sebelum hadis 3, Nabi berkata, "Barang siapa yang bersabar (menanggung penderitaan) karena perbuatan istrinya yang buruk, Allah akan Memberikan untuk setiap kesabaran yang dilakukannya pahala seperti yang diberikan kepada Nabi Ayyub." Tetapi, begitulah, kelengkapan hadis ini jarang keluar dari khotbah Mubalig (yang umumnya laki-laki ).

Maka sepeninggal Nabi, perempuan disuruh berkhidmat kepada laki-laki, sedangkan laki-laki tidak diajari berkhidmat kepada perempuan. Fikih yang semuanya dirumuskan laki-laki menempatkan perempuan pada posisi kedua. Beberapa gerakan Islam yang dipimpin laki-laki menampilkan ajaran Islam yang 'memanjakan' laki-laki. Ketika sebagian perempuan muslimat menghujat fikih yang mapan, banyak laki-laki saleh itu berang. Mereka dituduh agen feminisme Barat, budak kaum kuffar. Mereka dianggap merusak sunnah Nabi. Nabi saw berkata, "Samakanlah ketika kamu memberi anak-anakmu. Bila ada kelebihan, berikan kelebihan itu kepada anak perempuan." Ketika ada sahabat yang mengeluh karena semua anaknya perempuan, Nabi berkata, "Jika ada yang mempunyai anak perempuan saja, kemudian ia memeliharanya dengan sebaik-baiknya, anak perempuan itu akan menjadi pengahalang baginya dari api neraka (Muslim).

Pendeknya, dahulukan perempuan, kata Nabi dahulu. Pokoknya utamakan laki-laki, teriak kita sekarang.[]


...baca selengkapnya