Marilah saya berikan contoh data: Sebuah kabupaten di Jawa Timur menghabiskan anggaran sebesar Rp. 200.000.000,- (duaratus juta rupiah) ketika DPRD memilih seorang bupati di tahun 2000. Kabupaten yang sama menghabiskan anggaran sekitar Rp.18.000.000.000,- (delapanbelas milyar rupiah) dalam pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkada langsung) tahun 2005. Artinya, 90 (sembilanpuluh) kali lipat.
Itu baru biaya resmi. Bagaimana dengan biaya kampanye, dan bagaimana pula dengan money politics? Berbeda dari biaya kampanye resmi yang bisa dihitung, money politics tentu saja sangat sulit diketahui angka persisnya.
Dalam pemilihan tak langsung, tak ada biaya kampanye resmi sebagaimana dalam pemilihan langsung. Namun kandidat kerap harus membeli dukungan suara dari anggota dewan. Dalam pemilihan bupati tahun 2000 di kabupaten yang saya maksudkan di atas, salah seorang kandidat adalah bupati yang sedang menjabat. Kandidat ini harus membeli suara dari anggota dewan di luar fraksi yang mencalonkannya. Kira-kira terdapat 10 orang anggota dewan yang suaranya ia ingin beli, dengan harga masing-masing berkisar antara Rp.75.000.000,- (tujuhpuluh lima juta rupiah) hingga Rp.150.000.000,- (seratus limapuluh juta rupiah). Total, ia memerlukan uang sekitar Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Itupun sifatnya baru tawaran, dan tak semua anggota dewan dimaksud bersedia menerimanya. Terbukti, calon ini kalah.
Tahun 2005, di kabupaten yang sama terdapat lima pasang kandidat yang berlaga dalam pilkada langsung. Sebagaimana halnya di daerah lain, setiap paket kandidat memiliki kekuatan finansial berbeda. Kekuatan finansial ini (yang dibutuhkan untuk menutup biaya pencalonan internal partai, biaya kampanye resmi, dan biaya untuk membeli suara) sangat menentukan fitalitas politik kandidat. Pasangan dengan anggaran sebesar Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) biasanya masih masuk dalam kategori kekuatan finansial rendah. Jarang sekali kandidat semacam ini bisa memenangkan pilkada langsung. Pemenang pilkada langsung biasanya adalah mereka yang memiliki akses finansial tak kurang dari Rp.10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah). Hal ini juga terjadi di kabupaten yang saya maksudkan.
Nah, itu baru contoh sebuah kabupaten. Jangan lupa, terdapat total 473 daerah otonom di Indonesia (lihat datanya di sini). Artinya, ada 473 kepala daerah yang harus dipilih secara langsung dalam sebuah putaran (33 gubernur, 349 bupati dan 91 walikota). Berapa biaya total yang harus dikelularkan? Anda bisa membayangkan. Boleh pula anda tambahkan biaya resmi, biaya kampanye dan biaya money politics dalam proses pemilihian presiden. Dan kalau masih punya waktu, boleh anda tambahkan lagi uang yang harus dikeluarkan untuk memilih para angota DPR dan DPRD serta DPD. Jumlah totalnya fantastis.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengatakan bahwa demokrasi adalah sebuah pemborosan. Sama sekali tidak. Yang ingin saya katakan adalah: demokrasi bukanlah barang murah. Ia adalah barang berharga; sangat, sangat berharga. Maka, sudah semestinya kita perlakukan ia sebagai barang berharga, bukan sebagai barang mainan.
Anda setuju?
...baca selengkapnya
Pertemuan ini difasilitasi oleh Kolonel Horie Choso, ketua Shumubu yang merupakan embrio Depag dan jaringan KUA saat ini. Tak pernah sebelumnya tokoh agama Islam, apalagi sebanyak itu, mendapat kehormatan untuk masuk ke gedung bekas kediaman Gubernur Jenderal Belanda tersebut. Sejarah sedang dituliskan.
Pertemuan itu merupakan salah satu momen penting dalam relasi pesantren dengan dunia politik. Pemerintahan pendudukan Jepang saat itu memandang dunia pesantren sebagai salah satu katup mobilisasi massa yang sangat penting, bersama-sama dengan para pemimpin nasionalis seperti Sukarno. Jepang membutuhkan para tokoh agama dan pemimpin nasionalis untuk mengembangkan kendali pemerintahan dan politik atas masyarakat. Sebaliknya, para tokoh agama dan pemimpin nasionalis ini membutuhkan pemerintah pendudukan Jepang untuk memperoleh akses ke posisi politik formal yang sebelumnya tertutup.
Memang, hubungan pemerintah pendudukan Jepang dengan para pemimpin asli ini tak selalu mulus. Sejarah menceritakan beberapa titik pertentangan serius antara kedua pihak–beberapa di antaranya melibatkan konflik fisik. Namun hal ini tidak merubah kenyataan bahwa pada era inilah, untuk kali pertama dalam sejarah politik dan pemerintahan negeri ini, kalangan pesantren dan agamawan memperoleh peluang peran politik mutualistis secara sangat eksplisit.
Relasi semacam ini tak pernah terjadi di masa sebelumnya, dimana kalangan agamawan sering justru bermusuhan atau minimal berseberangan dengan para penguasa dan gerakan politik. Hal ini ditunjukkan oleh konflik panjang antara raja-raja Mataram dengan para ulama di Bayat, Klaten. Ia juga ditunjukkan oleh eksklusi politik yang secara sistematis dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda, yang membawa pesantren pada politik eskapis. Contoh serupa juga ditunjukkan oleh ketegangan samar-samar namun persisten antara tokoh gerakan nasional dengan para pemimpin Islam di awal abad ke-20 (yang kelak akan tetap muncul dalam perumusan konstitusi dan dasar negara).
Pemerintahan pendudukan Jepanglah yang kini membuka peluang paling besar bagi dunia pesantren untuk memainkan peran politik formal, meski tentu saja peluang itu harus tetap dilihat dalam konteks tujuan-tujuan kooptasi. Momen simbolik perkembangan tersebut adalah pertemuan dengan Gunseikan, bulan ini 65 tahun yang lalu.
Kini pesantren telah mengalami banyak pergeseran peran. Peran politik langsung pesantren dimulai sejak berdirinya Masyumi (1943), yang merupakan substitusi terhadap MIAI (Majlisul Islam A’la Indonesia), lembaga federatif yang didirikan tahun 1937. Pengelolaan Masyumi era Jepang ini banyak diserahkan kepada tokoh-tokoh pesantren. Kelak berdiri Masyumi lain (1945), yakni partai politik dengan dominasi kalangan pesantren hingga mufarraqah NU tahun 1952. Pada era 1960-an, ‘gimnastik politik’ yang sangat meriah membuat dunia pesantren kepayang dengan peran politik langsung.
Pada masa Orde Baru dunia pesantren mengalami tikungan tajam dalam peran sosial-politiknya. Pesantren kerap memainkan peran insulasi sosial untuk mencegah penetrasi kekuasaan yang berlebihan oleh penguasa terhadap masyarakat lokal. Peran ini didorong oleh kebutuhan untuk melindungi kepentingan sosial-ekonomi pesantren sendiri di lingkup lokal. Sambil memerankan diri sebagai humas kebijakan politik Orde Baru seperti KB dan Bimas-Inmas, pesantren memanfaatkan peluang itu untuk membuat membran sosial yang mencegah tangan-tangan penguasa menjamah langsung relasi sosial dan relasi kuasa lokal.
Ruang-ruang lebar yang disediakan oleh liberalisasi dan desentralisasi politik sejak tahun 1998 dimanfaatkan oleh sebagian komunitas pesantren untuk memainkan kembali peran politik secara aktif, kali ini dalam intensitas yang jauh lebih tinggi. Di beberapa unit politik lokal, peran politik pesantren itu sangat eksplisit dan langsung. Peristiwa politik terkini seperti pilkada banyak membuktikan kecenderungan tersebut. Kadang penjelasan atas ketegangan atau kolaborasi politik di tingkat lokal perlu dicari penjelasannya di bilik-bilik pesantren, bukan pada dinamika partai politik semata-mata.[]
Gambar:
- Atas: Istana Gambir di jaman Belanda (perhatikan bendera tiga-warna yang dibawa oleh barisan, dan yang berkibar di atas Istana).
- Bawah: Sampul buku Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan (Endang Turmudi 2004), judul asli: Struggling for Umma (PhD Thesis, ANU, 1996).
Beberapa link:
1. Pendudukan Jepang di Indonesia:
2. Ulama/pesantren dan politik:
...baca selengkapnya