pembuka profil penelitian&publikasi kuliah kontemplasi
25 June 2007
Plesetan Semantik Politik Indonesia
Pasti kita pernah mendengar (bahkan sering mendengar) kata 'aparat negara' atau 'aparatur negara'. Tahukah kita apa arti kata itu? Aparatur negara adalah sumberdaya manusia penyelenggara negara, begitulah pengertian yang kita punya selama ini. Aparat adalah pegawai. Bahkan dalam penggunaan sehari-hari, kata aparat bisa berkonotasi polisi atau tentara--atau petugas keamanaan pada umunya. Kalau ditambahi kata 'oknum', maka konotasinya jadi sangat jelek. Coba kita renungi frase 'oknum aparat'. Apa yang kita rasakan?

Kembali pada mana aparat di atas, di Bappenas ada Direktorat Aparatur Negara, yang tugas pokoknya adalah: "melaksanakan penyiapan perumusan kebijakan, koordinasi, sinkronisasi pelaksanaan penyusunan dan evaluasi perencanaan pembangunan nasional di bidang aparatur Negara, serta pemantauan dan penilaian atas pelaksanaannya."

Kita juga punya Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara. Coba kita lihat kalimat yang diambil dari website Kementerian ini: "Baik pada masa Kabinet Reformasi Pembangunan, Kabinet Persatuan Nasional maupun Kabinet Gotong Royong, Kementerian PAN berhasil meneguhkan posisi aparatur negara sebagai unsur perekat bangsa yang profesional, handal dan netral dari kepentingan politik. Di tengah-tengah dinamika politik yang begitu tinggi, kemandirian PNS tetap tak tergoyahkan sehingga roda pemerintahan tetap berjalan melaksanakan amanat konstitusi untuk melayani kepentingan negara dan masyarakat."

Kedua lembaga negara ini meng-afirmasi pemaknaan kata 'aparatur' sebagai pegawai negara. Bahkan header website Direktorat Aparatur Negara Bappenas jelas menggambarkan pegawai negeri sipil sedang berbaris.

Padahal, 'aparatur' tak berarti pegawai negeri atau pegawai negara--paling tidak makna kata tersebut tak terbatas pada 'pegawai'. Sepertinya kata aparatur ini berasal dari kata dalam bahasa Belanda 'apparateur', dan dalam bahasa Inggris adalah 'apparatus' (dari bahasa latin apparare yang berarti 'mempersiapkan'). Kata ini mengacu pada seperangkat sistem yang digunakan oleh penguasa untuk mengelola kekuasaanya. Ia bisa berupa sistem administrasi, pemerintah, pengadilan, radio, televisi, lembaga agama--pendek kata semua perangkat yang digunakan oleh penguasa untuk menerapkan kekuasaan pada masyarakat. Dalam pengertian yang dirumuskan oleh Louis Althusser, state apparatus bisa bersifat represif, bisa pula bersifat ideologis; yang pasti kata ini bukan (cuma) berarti 'pegawai'.

Tapi tenang saja. Kesalah-kaprahan dalam kata aparat atau aparatur ini bukan satu-satunya plesetan semantik dalam istilah politik di Indonesia. Mari kita lihat beberapa kata lainnya, yang juga sangat familiar di telinga kita khususnya beberapa tahun belakangan ini.

Istilah-istilah yang akan kita lihat sekilas ini adalah yang kerap digunakan oleh praktisi politik, birokrasi, dan akademisi kita secara rada tidak pas:


Oposisi

Di Indonesia, PDI-P menyebut diri partai oposisi. Padahal istilah ini merujuk pada partai (atau koalisi partai) dengan kekuatan kedua dalam sistem parlementer, yang memiliki tugas untuk memantau kinerja partai yang berkuasa. Dalam sistem parlementer, partai atau koalisi partai yang menguasai mayoritas kursi di parlemen membentuk pemerintahan (eksekutif). Kekuatan kedua menjadi oposisi dalam debat di parlemen. Partai oposisi ini membentuk pemerintahan bayangan, dan tugas mereka memang menempel ketat pemerintah untuk memberi alternatif kebijakan. Mereka digaji memang untuk mencereweti pemerintah. Di Indonesia, kata oposisi ini digunakan dalam makna generiknya untuk merujuk semua kekuatan yang di luar SBY-JK, atau kalau di DPR, di luar Golkar dan PD (pokoknya yang opposite pemerintah). Padahal dalam sistem presidensiil tak dikenal mekanisme pemerintah-oposisi dalam parlemen. Yang ada ialah mekanisme checks and balances antara eksekutif-legislatif.


Welfare State

Welfare state atau negara kesejahteraan ini adalah kata majemuk yang sudah memiliki makna spesifik, dan tidak bisa lagi ditarik pada makna generik 'welfare' atau 'kesejahteraan' itu. Lagi-lagi PDI-P di awal 2007 lalu berjanji untuk mewujudkan 'negara kesejahteraan'. Belajar dari pengalaman saya dengan kekacauan semantika di kalangan politisi dan media massa Indonesia, saya tak yakin PDI-P memang memaksudkan negara kesejahteraan sebagaimana dimaksud oleh 'welfare state' dimana negara menjamin aspek kesejahteraan dan sekuritas sosial (Seperti di Inggris, Australia, Kanada, Norwegia, dst). Jangan-jangan yang dimaksud adalah mengupayakan kesejahteraan masyarakat (sebagaimana diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945). Tapi 'mewujudkan kesejahteraan masyarakat' dan 'negara kesejahteraan' jelas-jelas beda artinya. Kalau kita ambil contoh, istilah 'Rumah Sakit' adalah kata majemuk yang tidak bisa lagi diartikan satu per satu sebagai 'rumah' dan 'sakit'.


Regime

Nah ini dia. Para aktifis dan demonstran sangat gemar menyebut kata regime atau rezim secara sangat tidak tepat. Misalkan, seberapa sering kita dengat orang menyebut frase 'Rezim Suharto' atau 'Rezim SBY-Kalla'? Misalnya, "rezim SBY-Kalla tidak becus menjalankan pemerintahan, dan harus mundur". Padahal, bagaimana sebuah rezim bisa disuruh mundur? Rezim adalah serangkaian aturan main yang berlaku dan disepakati (misal: 'rezim pasar bebas'), dan bukan personalia pemimpin. Ini yang banyak salah arah. Kata rezim sering digunakan untuk merujuk pada penguasa, dengan konotasi negatif. Repotnya, kalau kita mengira hanya kalangan awam yang sering salah arah menggunakan kata rezim ini, kita salah. Dalam sebuah diskusi ttg RUU Pemilu di tahun 2003, saya pernah mendengar seorang dosen ilmu politik sebuah universitas ternama di Jakarta yang banyak menulis di media massa, mengatakan "RUU ini harus bisa mengkerangkai relasi antara rezim dan oposisi". Saya tercengang... dalam satu kalimat, sudah ada dua blunder akademik...


Good Governance

Ini istilah yang digemari betul oleh birokrasi dari pusat sampai daerah. Coba simak, para Bupati, Walikota, Gubernur, atau Menteri itu tidak mantap rasanya kalau di pidatonya tidak menyebut frase Good Governance. Padalah seperti kita tahu, Good Governance is nothing about 'good' in generic meaning. Ia lebih merupakan derivasi dari ideologi pengelolaan negara yang berhaluan kanan, atau extra kanan. Istilah ini adalah istilah spesifik yang merujuk kepada salah satu buah dalam cabang berpikir neo-liberalisme. Ini yang sama sekali tak dipahami oleh mayoritas kalangan birokrasi Indonesia (dan barangkali akademisi juga). Akibatnya, good governance diterima begitu saja menjadi tema perbincangan untuk mempromosikan tata pemerintahan yg baik tanpa tahu di mana gagasan itu berakar. Apalagi, referensi tentang good governance memang menekankan pada prinsip pemerintahan yg bersih, bebas korupsi, dst. Padahal underpinning spirit-nya adalah untuk menyertakan pasar (dengan segenap kompetisi bebas-nya) dalam proses governance itu, dan meminimalkan peran negara. But who really cares? Di Indonesia sekarang banyak dinyanyikan lagu-lagu salawatan, termasuk salawat badar. Orang-orang (yang Muslim tentu saja) banyak menyanyikannya, dan mungkin hanya sebagian kecil yang tahu bahwa salawatan itu derivasi dari konsep wasilah. Kalau banyak orang di satu sisi menolak konsep wasilah, lagu-lagu salawatan itu jadi salah tempat saja jadinya. Kira-kira sepadan dengan itulah kekeliruan semantik dalam good governance yang banyak digunakan orang di Indonesia.

***

Itu baru sebagian saja dari plesetan semantik dalam dunia politik di Indonesia. Kesalah-kaprahan semacam ini tentu kurang baik kita biarkan begitu saja. Alangkah baiknya kalau kita membiasakan penggunaan istilah secara 'taat'. Tak ada salahnya kita lebih 'resourceful' sebelum menggunakan suatu istilah. Di jaman serba internet seperti sekarang, tentu sangat mudah mencari informasi tentang makna sebuah istilah. Beberapa link situs yang memuat istilah-istilah politik bisa dibuka di menu 'Glosari Politik' di halaman depan. Semoga berguna.

Artikel terkait: Kabinet Bayangan

...baca selengkapnya
21 June 2007
'Batu Jadi Tanaman'
[Catatan ini dimuat di harian Kedaulatan Rakyat]

Sebuah nyanyian lama pernah menggambarkan Indonesia sebagai tanah subur di mana 'tongkat kayu dan batu jadi tanaman'. Benarkah? Sebagian lahan di negeri ini mungkin tak lagi sesubur itu, namun karakter sosial masyarakat Indonesia, khususnya kalangan Islam, masih tetap lahan subur bagi berkembangnya paham keagamaan. Maka tak perlu kita terlalu heran bahwa ketika perkembangan religio-politik global membawa tema terorisme ke meja diskusi, masyarakat Indonesia tak terlepas dari kaitan dengan hal itu. Hingga kinipun isu terorisme dan kaitannya dengan komunitas Islam di Indonesia tetap hangat dan aktual.

Mengapa komunitas Islam Indonesia demikian subur bagi perkembangan paham keagamaan baru termasuk radikalisme sekalipun? Pertumbuhan suatu paham dalam sebuah komunitas selalu bisa dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, sebuah paham bisa diadopsi dari luar komunitas itu, alias diimpor dari luar. Paham itu muncul di luar sana dalam konteks yang berbeda dari keadaan komunitas itu, lalu didatangkan dan disebarkan ke dalam. Kedua, suatu paham bisa pula tumbuh secara organik di lahan milik komunitas itu sendiri, sepenuhnya berdasarkan watak lahan dan cuaca sosial yang ada di situ.

Keadaan di Indonesia nampaknya merupakan perpaduan dari kedua pola tersebut. Yang paling kasat mata adalah fakta demografis. Dengan hampir 160 juta orang penduduk mengaku dirinya Islam, Indonesia adalah negara dengan jumlah Muslim terbesar di dunia. Indonesia adalah target pasar paling menggiurkan bagi paham keagamaan yang tumbuh di dunia Islam secara global. Apapun yang berkembang pada skala internasional, gaungnya tak lama lagi akan sampai ke negeri ini.

Tahun 1990-an, Islam sebagai ideologi yang tadinya memperoleh capaian politik yang sangat kuat di negara-negara seperti Mesir, Algeria dan Afghanistan mulai merosot. Mereka harus berhadapan dengan arus kuat negara yang menolak penerapan Islam sebagai ideologi. Sebagai respons terhadap hal itu, sebagian memilih untuk berakomodasi dengan negara. Kalangan yang lain memilih untuk mengalihkan perwujudan cita-cita ideologi Islam pada konteks supra-nasional (atau transnasional). Sejak itulah gagasan-gagasan transnasionalistik dalam Islam menguat.

Memang kebanyakan ide transnasionalistik ini bersifat nir-kekerasan (ide Khilafah misalnya). Namun sayangnya ada pula yang memang memiliki visi kekerasan di dalamnya, di mana Islam dianggap sedang dalam keadaan perang dengan komunitas non-Islam secara global. Lagi-lagi, untuk tujuan 'perang global' itu Indonesia termasuk sumber pasukan paling potensial secara demografis.

Terlebih lagi, Islam di Indonesia hingga saat ini masih mencari bentuk. Antropolog Robert Hefner pernah menggambarkan bahwa Jawa dan Nusantara masih tetap dalam proses Islamisasi sejak abad 13 atau 14. Islam di sini belum final. Pencarian bentuk dan jati diri Islam Indonesia ini pun memberi kontribusi pada begitu mudah terserapnya paham keagamaan baru di sini, baik yang nir-kekerasan maupun yang menghalalkan kekerasan.

Konflik komunal di tanah air yang manifestasi kekerasannya sangat terasa sejak 1998 juga memiliki kontribusi terhadap penyebaran paham keagamaan bernuansa kekerasan itu. Konflik komunal ini telah mendorong pencarian identitas keagamaan baru, di mana cara pandang lama tak lagi bisa memuaskan. Identitas keagamaan baru ini lalu banyak ditemukan di konteks 'perang global' itu.


Semua fenomena itu tak bisa terhindarkan. Yang bisa dilakukan kini adalah membuat penyeimbangan, dengan terus menguatkan gagasan Islam moderat. Dengan kata lain, kalau lahannya memang subur untuk tumbuhnya semua tanaman termasuk ilalang liar, maka tumbuhan besar harus diperbanyak dan rajin dirawat. Seorang kolega pernah berkata pada saya: "Umat Islam Indonesia akan terus kecolongan kalau banyak penjaganya sering keluyuran di 'luar rumah'. Kalau orang-orang NU terlalu sibuk berpolitik dan orang-orang Muhammadiyah terlalu asyik berbisnis, ya jangan marah jika umatnya salah asuhan di tangan orang lain".

...baca selengkapnya
10 June 2007
Dia Pahlawan, Sebab...
Tulisan ini adalah sebuah tribute untuk seseorang. Tulisan ini bisa terlambat, bisa pula terlalu awal. Mungkin seharusnya tribute ini ditulis pada tanggl 6 Juni. Mungkin malah seharusnys ditulis lebih awal pada 1 Juni. Namun mungkin terlalu dini ditulis sekarang, sebab bisa jadi, tibute ini seharusnya ditulis tanggal 17 Agustus.

Tanggal-tanggal itu penting, sebab orang yang sedang kita bincangkan ini dilahirkan tanggal 6 Juni, memberikan sebuah sumbangsih besar bagi penemuan diri sebagai bangsa pada tanggal 1 Juni, dan menjadi buah bibir paling masyhur karena apa yang dilakukannya bersama tokoh lain pada tanggal 17 Agustus. Ia adalah Sukarno.

Mengapa bagi saya ia adalah seorang pahlawan? Kita bisa memberikan jawaban berdasarkan fakta sejarah secara panjang lebar. Namun kalau boleh, ijinkan saya memberikan jawaban paling subjektif, mengapa saya menobatkannya sebagai seorang pahlawan dalam hati saya yang paling dalam.

Saya 'mengenal' dia pada tahun 1978, nyaris tanpa sengaja. Saat itu saya belajar bersama dengan teman saya di SD, dengan metode tanya-jawab menggunakan sebuah buku himpunan pengetahuan umum. Bergantian, kita melontarkan pertanyaan berdasarkan buku itu. Yang dilontari pertanyaan harus menjawabnya tanpa menyimak buku. Teman saya ini bertanya, "siapakah presiden Indonesia yang pertama?". Saya tak tahu jawaban atas pertanyaan itu. Saya kalah. Dan teman ini memberikan jawabannya: Insinyur Sukarno.

Sukarno. Ini kali pertama saya mendengar nama ini. Dan beberapa saat setelah itu, tahulah saya bahwa ia juga adalah proklamator--orang yang membacakan proklamasi. Saya bertanya kepada Bapak saya, apa itu proklamasi. Bapak menjawab, proklamasi adalah pernyataan kemerdekaan. Bagi seorang anak berusia 8 tahun, gabungan data itu cuma berarti satu hal: Sukarno adalah orang yang memerdekakan bangsa ini.

Kalau tak salah tahun 1979, Bapak membelikan saya sebuah buku berjudul Bung Karno: Bapakku, Kawanku, Guruku karya Guntur Sukarnoputra. Dari buku inilah saya mengenal BK lebih dekat. Pengenalan diri saya pada sosok BK berlanjut dengan buku-buku yang mengupas dia dari sisi humanistik--bukan buku sejarah yang canggih. Buku berikutnya yang saya dapat juga ditulis oleh Guntur, berjudul Bung Karno dan Benda-benda Kesayangannya. Dari buku ini saya tahu tentang peci BK, parfum Shalimar, tongkat komando, mobil-mobil kesukaannya, bahkan pena Parker yang suka ia pakai. Kisah lebih dalam tentang kehidupan tokoh ini saya baca di buku Kuantar ke Gerbang, sebuah otobiografi Inggit Garnasih yang ditulis oleh Ramadhan K.H. Namun buku yang paling mengesankan bagi saya adalah otobiografi BK yang ditulis oleh Cindy Adams berjudul Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Bapak memberi buku ini untuk hadiah ulang tahun saya ke-12, tahun 1982. Ini buku cetakan lama, tahun 1965, yang didapat Bapak dari pedagang buku bekas di Surabaya.

Dari semua buku itulah saya memperoleh alasan kanak-kanak, mengapa BK adalah seorang pahlawan. Buat saya, dia adalah pahlawan sebab ia seorang manusia biasa (seperti digambarkan di buku-buku karya Guntur), yang bisa menjadi jagoan dan pembela kebenaran (seperti tergambar dalam karya Ramadhan K.H. dan Cindy Adams). Kanak-kanak lain mengenal Superman, Batman, atau Spiderman: manusia yang sehari-hari adalah orang biasa, namun bisa berubah menjadi jagoan yang sangat hebat dengan sangat cepat. Begitulah gambaran BK dalam benak kanak-kanak saya. Sangat sederhana.

Kelak ketika saya beranjak remaja, kecerdasan BK yang digambarkan oleh banyak buku, serta cara bicaranya yang banyak saya dengar di kaset-kaset rekaman pidato dia, adalah hal-hal yang memberi alasan bagi saya mengapa ia patut menjadi idola. Ia menjadi figur tempat saya membayangkan diri di masa depan. Saya bahkan pernah bercita-cita untuk menjadi insinyur teknik sipil seperti dia. Cita-cita ini saya pegang cukup lama, sampai keinginan untuk belajar ilmu politik mengalahkan segala hasrat belajar lainnya.

Di masa bukan-kanak-kanak dan bukan-remaja, BK tetap ternobatkan sebagai pahlawan bagi saya karena alasan-alasan yang lebih luas. Sejak SMA dan kuliah, saya membaca semakin banyak buku tentang BK dan sejarah Indonesia. Saya semakin mengenali bahwa dialah salah satu kontributor terbesar dalam imaginasi kebangsaan Indonesia. Ia, tentu saja bersama banyak tokoh lainnya, menjadi dream keeper terhadap ide kebangsaan Indonesia. Ia memiliki aura kepemimpinan yang sangat kuat, yang bisa membuat orang menaruh harapan dan kepercayaan padanya. Ia memenuhi kualifikasi pemimpin yang tak bisa dipenuhi oleh tokoh Indonesia manapun setelahnya. Di tengah kedahagaan akan pemimpin yang bisa menjadi kebanggaan diri di dalam, dan menjadi simbol martabat bangsa di luar, tokoh ini sungguh terlihat tak tertandingi. Sekarang tiap kali saya menyimak pemimpin di negeri lain yang begitu gigih meneriakkan martabat bangsa dan negeri-negeri serumpunnya, saya merasa betapa sangat 'sepi'-nya negeri kita kini. Dulu media massa kerap memberitakan pemimpin Libya Muammar Qaddafi karena keberaniannya menyuarakan harga diri negara berkembang di hadapan adikuasa. Kini porsi perhatian itu tertuju, misalnya, pada Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad. Setiap kali tokoh yang bisa dibanggakan oleh negerinya ini diungkap oleh media, saya cuma bisa bergumam dalam hati, "negeriku dulu juga pernah punya pemimpin seperti itu".












...baca selengkapnya
8 June 2007
Tetangga
Pada aras individual, perilaku terhadap tetangga adalah indikator budi seseorang (An-Nisaa' 36). Kalau kita mau mengetahui apakah seseorang itu memiliki budi baik atau tidak, kita bisa lihat bagaimana hubungan orang itu dengan tetangganya. Orang yang senantiasa memiliki masalah dengan tetangga, kiranya bukanlah orang yang memiliki budi teramat baik.

Bagaimana dengan komunitas atau negara? Bisakah standar budi individual itu kita terapkan pula pada aras negara? Jika bisa, 'budi' sebuah negara barangkali boleh diukur dari cara negara itu berinteraksi dengan tetangganya. Tidak setuju? Tentu kita bisa diskusikan. Namun adopsi standar budi individual pada aras negara inilah yang saya bawa untuk melandasi paparan di sebuah acara diskusi yang diadakan oleh Australia Indonesia Business Council (AIBC) 7 Juni lalu bertempat di Konsulat RI di Perth. Saya diminta di situ untuk menjadi panelis, bersama dua orang lain yang juga PhD candidates di Perth, yakni Mangadar Situmorang (Curtin Uni, Unpar Bandung) dan Mudiyati Rahmatunnisa (UWA, Unpad Bandung). Dalam diskusi yang dimoderatori oleh Prof. Colin Brown ini, Bang Mangadar berbicara tentang multikulturalisme di Indonesia, mbak Mudi tentang otonomi daerah di Indonesia, dan saya mencoba melihat relasi Indonesia dan Australia. Memang tema ini diluar spesialisasi saya. Namun dengan topik diskusi tentang personal expression terhadap masa depan Indonesia di tahun 2030, saya memandang bahwa tema hubungan antara kedua negara itu sangat menggoda. Lagipula jika memang ingin menyampaikan personal expression (Mudi menterjemahkan frase ini secara pas sebagai curhat), maka tema di luar spesialisai mungkin lebih cocok agar kita terhindar dari analisis yang kelewat akademik.

Salah satu impian saya tentang Indonesia di masa depan adalah membaiknya hubungan kita dengan negara-negara tetangga. Dalam sejarah, kita tak selalu memiliki hubungan yang mulus dengan negara tetangga. Kadang kita yang berada dalam posisi merugikan negara tetangga, kadang di kali lain kita yang dirugikan oleh negara tetangga. Dengan Malaysia kita punya sejarah buruk 'ganyang Malaysia'. Hingga kini pun urusan TKI dan perbatasan kedua negara masih banyak mengandung masalah. Dengan Singapura kita juga selalu dipusingkan urusan penambangan pasir. Dengan PNG ada masalah perbatasan dan hal-hal terkait dengan separatisme Papua. Namun sejauh yang saya secara pribadi bisa alami langsung, yang paling bermasalah adalah hubungan Indonesia dengan Australia.

Setiap tahun, ratusan atau mungkin ribuan orang Indonesia datang atau dikirim ke Australia untuk belajar baik undergraduate maupun postgraduate. Di antara yang ribuan itu ada yang datang dengan beasiswa, ada yang datang atas biaya sendiri. Sebaliknya, puluhan atau ratusan orang Australia juga datang ke Indonesia untuk pertukaran pelajar atau melakukan penelitian. Ini belum terhitung yang saling berkunjung sebagai wisatawan.

Adanya lalu-lintas orang semacam itu sebenarnya bisa memberi kontribusi bagi perbaikan hubungan kedua negara, dengan meningkatkan saling pengertian antara kedua-belah pihak. Namun kenyataannya tak selalu sejalan dengan harapan itu. Kendati secara individual orang Indonesia yang datang ke Australia, atau orang Australia yang datang ke Indonesia, biasanya memiliki cara pandang yang positif tentang negara tetangganya, namun kerap di saat yang bersamaan mereka juga saling memiliki cara pandang negatif tentang politik kedua negara. Di titik inilah terdapat salah satu faktor dalam masalah hubungan kedua-negara.

Salah satu sumber terbentuknya cara pandang negatif ini adalah media massa dan beberapa kalangan politisi. Saya tidak tahu bagaimana orang Australia yang tinggal agak lama di Indonesia menilai cara Indonesia memandang Australia secara politik. Namun saya yang tinggal beberapa tahun di Australia kerap merasa tak begitu nyaman dengan cara sebagian media massa dan politisi Australia memandang Indonesia secara politik. Saya merasa tidak nyaman bukan karena apa-apa, melainkan karena hal semacam itu sangat mengganggu hubungan kedua negara yang pada dasarnya agak ringkih itu. Prof Colin Brown suka menyebut hubungan Indonesia-Australia seperti roller-coaster: naik pelan-pelan, lalu anjlok meluncur sangat cepat.

Banyak contoh ekspose media yang memicu luncuran roller-coaster itu. Kita masih ingat kasus penyelundupan narkoba di Denpasar yang menurut bukti formal dilakukan oleh orang Australia, yakni kasus Schapelle Corby dan kasus yang di Australia dikenal sebagai 'the Bali Nine'--tapi terutama kasus Corby yang sangat menarik untuk dilihat sejenak. Ketika kasus Corby mencuat, tak sedikit media massa dan politisi Australia yang mencoba membangun opini publik bahwa perempuan ini tak berasalah, dan ia cuma korban dari sebuah jejaring narkotika Internasional. Ketika ada bukti formal yang menunjukkan bahwa Corby bersalah sekalipun, opini publik terlanjur meyakini bahwa kali ini ia jadi korban lagi, yakni oleh Pengadilan Indonesia yang tak bisa berlaku adil.

Bandingkan ketika Abubakar Baasyir dibawa ke Pengadilan dengan tuduhan terlibat dalam aksi terorisme. Beberapa media massa dan politisi Australia sangat nyaring menuntuk agar Pengadilan memberikan hukuman terberat bagi Baasyir. Ketika Baasyir dibebeskan tempo hari, nyaring lagi mereka mempermasalahkannya. Bagi saya terasa aneh bahwa seseorang dipaksakan untuk dianggap terkait dengan terorisme. Bahwa Baasyir memiliki cara pandang keagamaan yang radikal (betapapun istilah ini bisa diperdebatkan), itu hal lain. Saya pribadi tak sependapat dengan jalan berpikir yang radikal dan keras dalam agama. Namun bukan berarti orang yang memiliki visi keagamaan keras dan radikal itu pasti merupakan bagian dari terorisme.

Peristiwa politik lebih besar yang sangat kuat memicu luncuran roller-coaster adalah yang terkait dengan isu seperatisme di Indonesia. Ini tema empuk bagi media massa dan beberapa aktifis serta politisi Australia. Tak seorangpun lupa ketegangan di masa Timor Timur memisahkan diri dari Indonesia. Di masa-masa inilah media massa Australia juga terasa tak begitu menyenangkan untuk dibaca oleh orang Indonesia.

Di masa yang lebih belakangan, separatisme Papua juga kerap ter-ekspose oleh media, dan didukung oleh beberapa aktifis NGO dan politisi di sini. Tentu ini adalah visi politik yang merupakan hak setiap orang. Expresi atas visi politik itu juga hak mutlak setiap orang. Namun sangat bisa dipahami pula bahwa ekspose isu sepaeratisme ini termasuk kontraproduktif terhadap hubungan Indonesia-Australia.

Dan tentu saja, peristiwa paling mutakhir adalah yang terjadi di Sydney dengan Gubernur DKI Sutiyoso, saat dua polisi federal Australia dikabarkan memasuki kamar sang gubernur. Versi kedua pihak sedikit berbeda, dan permintaan maaf dari Premier New South Wales sudah dianggap menyelesaikan masalah ini. Bagi saya, dengan peristiwa ini polisi Australia telah membantu Sutiyoso menggalang solidaritas publik di Jakarta. Tak lebih. Tapi yang jelas, peristiwa ini lagi-lagi menandai sebuah titik menurun dalam hubungan kedua negara.

Kembali ke renungan terpenting dalam tulisan ini: bagaimanakah kita memperbaiki hubungan kedua negara? Tak ada jawaban mudah. Namun saya percaya pada ucapan lama: it takes two to Tango. Kedua pihak harus saling mendekatkan diri dan membangun pengertian yang lebih baik satu sama lain. Tapi kemauan saja tentu tak cukup. Pada langkah konkrit, hubungan kedua negara juga perlu menguntungkan kedua pihak, dan bukan pihak yang satu mengambil keuntungan dari pihak yang lain.

Di ujung diskusi dalam forum AIBC itu, saya tiba-tiba saja teringat ungkapan Vedi R. Hadiz tentang predatorian interest di kalangan politisi dan birokrasi di Indonesia. Predatorian interest adalah kepentingan pribadi yang diutamakan di atas kepentingan bersama, dan pencapaian kepentingan pribadi itu merugikan kepentingan bersama.

Karena kebetulan yang hadir dalam diskusi ini kebanyakan adalah pengusaha Australia yang berbisnis di Indonesia, sekaligus saja saya ajak mereka agar dalam berbisnis di Indonesia, mereka menghindari pemenuhan predatorian interest itu. Mungkin itulah salah satu cara memberbaiki hubungan kedua negara, dari roller-coaster relationship menjadi backyard barbecue relationship yang lebih akrab dan ramah. Semoga.

...baca selengkapnya