pembuka profil penelitian&publikasi kuliah kontemplasi
20 Mar 2007
Sakit Gigi di Australia
[Catatan ini dimuat di Kompas Community]

Sakit gigi termasuk sakit yang betul-betul bikin pusing. Tentu saja yang namanya sakit, semua tidak enak. Tapi sakit gigi itu rasanya betul-betul tidak menyenangkan. Senut-senut sudah pasti; kepala pusing itu jelas; sirna nafsu makan itu jaminan; dan yang paling runyam, kita jadi tidak bisa mikir saat sakit gigi. Untung saat nulis cerita ini, saya tidak lagi sakit gigi. Tapi saya pernah dua atau tiga kali sakit gigi, dan rasanya betul-betul tidak karuan. Apalagi kalau sakit gigi di Australia--Rasa sakitnya masih ketambahan rasa pusing memikirkan biaya dokter gigi yang muahalllll...

Mahal sih tidak apa-apa kalau di-cover oleh asuransi kesehatan. Celakanya asuransi saya tidak termasuk yang meng-cover dokter gigi itu. Sebagai penerima beasiswa dari pemerintah Australia, saya sudah dapat asuransi kesehatan gratis. Tapi dengan student health cover yang saya dapat itu, dokter gigi dan optometri tidak termasuk dalam tanggungan asuransi. Jadi kalau perlu ganti kacamata minus/plus yang baru, atau sakit gigi dan perlu ke dentist, tidak ada gunanya deh bawa kartu asuransi itu. Semuanya kita harus bayar sendiri.

Sebenarnya bisa saja kita bayar extra cover sekian ratus Australia dollar, agar asuransi kita itu bisa mencakup juga kedua aspek itu. Tapi sangat jarang orang yang melakukannya. Yang pernah saya dengar malah, ada kawan yang bela-belain pulang ke Jakarta untuk ngobati giginya yang sakit. Sekalian berlibur katanya, daripada uang dihabiskan untuk bayar ekstra itu tadi, atau untuk bayar dokter gigi kalau asuransinya standar. Ada teman yang giginya harus dioperasi ringan, dan untuk itu dia harus menyiapkan biaya sebesar AU$1200. Padahal untuk tiket ke Jakarta pp dia cuma bayar AU$800, dan sakit giginya itu beres dengan biaya Rp. 750 ribu di Jakarta (sekitar AU$100). Jadi masih ‘laba’ AU$300 (plus bisa makan bakso dan mie ayam puas-puas di Jakarta).

Tapi sebenarnya ada beberapa celah yang bisa dimanfaatkan untuk bisa dapat perawatan gigi secara murah bahkan gratis. Ada celah yang memang merupakan bagian dari sistem negara kesejahteraan (welfare state) yang diterapkan di Australia ini, dan ada celah yang merupakan bagian dari jaringan sosial yang khas dimiliki orang Indonesia di sini. Saya pernah manfaatkan dua-duanya untuk dapat perawatan gigi secara terjangkau.

Ketika tinggal di Adelaide, kota kecil yang rapi dan asri ini, saya bisa mendapatkan Healthcare Card (HCC) dari Centerlink. HCC ini semacam ‘kartu miskin’ yang membuat pemiliknya bisa mengakses berbagai fasilitas sosial secara gratis. Oya, Centerlink adalah lambaga semacam ‘Depsos (Departemen Sosial)’ kalau di Indonesia, yang berfungsi untuk mengurusi pelayanan sosial seperti pensiun dan social security. Lembaga inilah yang membantu biaya childcare misalnya, yang per hari sekitar AU$50 dan bisa turun menjadi sekitar AU$10 dengan Childcare Benefit (CCB) dari Centerlink.

Dengan HCC tadi itu kita bisa membeli obat dengan harga sangat murah (nyaris gratis), selama itu adalah obat yang diresepkan oleh dokter, dan bisa memperoleh layanan kesehatan yang tidak ditanggung oleh asuransi.

Suatu ketika, graham kiri bawah saya terasa senut-senut. Graham ini sebenarnya sudah rada bermasalah sejak lama. Dulu ketika sempat nyasar kuliah di Surabaya, graham ini pernah bolong. Namanya mahasiswa S1 yang maunya irit, saya berobat ke Poliklinik Gigi RSU Dr. Sutomo. Ini tempatnya mahasiswa dan mahasiswi (tapi mayoritas mahasiswi) Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Unair praktek. Pendek cerita, graham yang sedang saya ceritakan ini adalah ‘korban’ praktek mahasiswi-mahasiswi FKG itu.

Dengan graham yang senut-senut itu, saya telpon klinik gigi di Flinders Medical Center (FMC). Orang di FMC, setelah tahu bahwa saya pemegang HCC, kemudian menyarankan saya untuk menghubungi sebuah poliklinik gigi di salah satu sekolah yang terletak di Goodwood Rd (saya sudah lupa nama sekolahnya) untuk memperoleh pelayanan cepat. Saya segera telpon poliklinik itu, dan membuat janji untuk bertemu keesokan harinya. Biarpun namanya poliklinik-nya sekolah, tapi peralatan di sini juga terbilang lengkap. Sayang graham saya tak tertolong dan terpaksa dicabut. Apaboleh buat. Untung masih gratis.

Tapi kali lain, keampuhan HCC itu rupanya tak teruji. Saya ingat betul kejadiannya hari Jumat, ketika saya merasa gusi saya di kiri bawah bagian belakang sedikit bengkak dan terasa sakit kalau dibuat mengunyah. Tadinya saya pikir cuma bengkak biasa yang akan segera hilang dalam beberapa jam. Tapi sampai sore habis maghrib pun bengkak itu tidak juga berkurang. Karena tidak tahan sakit, saya segera telpon after hour dental clinic yang terletak di Marion, tidak jauh dari rumah saya di Saint Marys.

Klinik ini memang buka sampai malam untuk menangani emergency. Ke sanalah saya Jumat malam itu menuju, untuk memeriksakan gusi yang sakit. Setelah diperiksa dan di-rontgent, dokter bilang graham saya yang paling ujung di kiri menumbuk sebagian gusi, sehingga menyebabkan gusi radang dan infeksi. Dokter dan menyarankan bahwa graham ujung kiri bawah dicabut sesegera mungkin. Dia merekomendasikan klinik lain yang bisa melakukan dental surgery, untuk saya datangi keesokan harinya.

Maka Sabtu esok paginya saya pun ke sana, dengan membawa surat dari dokter tadi, beserta hasil rontgent gigi. Graham yang bermasalah itu pun dicabut. Kali ini HCC saya sama sekali tak berguna, sebab yang saya datangi ini klinik swasta yang bukan bagian dari sistem pelayanan publik-nya pemerintah. Jadi, dengan asuransi yang tak meng-cover dentist, dan dengan HCC yang tak berfungsi, saya harus membayar biaya perawatan sebesar AU$380. Tidak apa-apa lah, yang penting gusi tidak bengkak lagi, dan saya bisa segera balik ke urusan thesis kembali...

Lama setelah itu, alhamdulillah saya tidak pernah sakit gigi. Ketika melanjutkan studi di Perth, entah aturan yang berubah, entah karena memang beda state beda pula aturannya, tidak bisa lagi saya memiliki HCC yang ampuh itu. Jadi kalau tidak mau tekor jika kebetulan sakit gigi, ya harus bayar ekstra. Atau, rawat gigi baik-baik, dan kontrol ke dokter gigi jika pulang ke Indonesia. Saya ambil pilihan kedua ini. Dan stel yakin bahwa gigi saya tidak akan bermasalah.

Namun malang tak dapat ditolak. Kebetulan graham kanan bawah saya itu pernah bolong dan sudah ditambal di Indonesia. Suatu ketika, tambalan gigi saya ini bermasalah.

Nah ini dia. HCC tak ada, extra cover juga saya tak punya.

Tapi Perth ini beda dari Adelaide. Di sini banyak sekali orang Indonesia. Kata pihak Konsulat RI di sini, orang Indonesia di Western Australia itu 8000 lebih. Nah, entah dari mana di antara 8000 orang itu, saya dapat saja info bahwa ada perawat gigi asal Indonesia yang praktek ngobati gigi di rumahnya. Ada yang bilang dia itu perawat gigi, ada yang bilang dia itu dokter gigi. Entah mana yang benar. Yang jelas beberapa teman yang pernah ke sana mengobati masalah giginya merekomendasikan orang ini. Tak perlu saya sebutkan namanya ya. Sebut saja dia ini Tugimin [singkatan dari TUkang GIgi Murah dari INdonesia :)].

Jadi ketika ada masalah dengan graham kanan bawah saya itu, segera saya kontak teman yang dulu pernah diobati Pak Tugimin ini, untuk minta nomer telponnya. Setelah dapat nomer telpon itu, saya segera hubungi Pak Tugimin untuk bikin janji. Saya telpon dia hari Sabtu, dan janjian untuk ketemu Senin sore.

Nah, sore itu berangkatlah saya ke rumah Pak Tugimin yang jaraknya kira-kira 25 menit bermobil dari rumah saya. Ketika tiba di sana, saya dipersilakan masuk ke ruang praktek yang terletak di salah satu ruangan rumah itu. Peralatan prakteknya lengkap, seperti layaknya dokter gigi. Di ruangan itu saya bertemu dengan beberapa orang Indonesia yang sedang tunggu giliran untuk diperiksa giginya. Di tembok saya lihat sebuah pigura yang membingkai sertifikat yang menunjukkan bahwa praktek perawatan gigi Pak Tugimin ini diakui dan diijinkan oleh pemerintah City setempat. Syukurlah, bukan urusan illegal.

Yang unik, ruang tunggu dan ruang praktek tidak dipisahkan. Jadi kita-kita pasien yang sedang menunggu giliran bisa melihat aksi Pak Tugimin dalam mengobati gigi orang. Di sini tak kerahasiaan medis. Kita bisa dengar jelas apa-apa saja masalah gigi orang yang sedang diobati.

Setelah menunggu dengan tegang melihat beberapa pasien diutak-atik giginya, sesekali diiringi suara bor gigi yang rada mengerikan, tibalah giliran saya untuk duduk di kursi pasien. Setelah tengak-tengok dan cual-cuil beberapa kali, bereslah urusan saya sore itu. Namun saya harus kembali lagi lusanya untuk finalisasi.

Setelah dua kali datang ke rumah Pak Tugimin, yang saya harus keluarkan total cuma AU$60. Lumayan. Gigi yang bermasalah bisa dibereskan. Uang juga tidak harus keluar terlalu banyak. Memang tidak gratis seperti dengan HCC itu, tapi juga tidak semahal kalau harus ke poliklinik gigi. Untung ada Pak Tugimin...

...baca selengkapnya
6 Mar 2007
Membincangkan Perbedaan
Sebagaimana kecenderungan global sejak 911, isu relasi antar agama di Australia juga menemukan nuansa baru. Ada kekhawatiran adanya kaitan antara fundamentalisme agama dan terorisme, ada ketegangan baru antara minoritas Muslim dan mayoritas non-Muslim di Australia, dan ada kegundahan yang menguat bahwa jika masalah-masalah ini tak segera diatasi, multikulturalisme yang menjadi kebanggaan negeri kangguru ini akan sedikit terganggu.

Kira-kira dalam semangat itulah tanggal 2-4 Maret yang lalu di Canberra diadakan forum Australia Deliberates: Muslims and non-Muslims in Australia. Dalam forum yang diselenggarakan oleh Issues Deliberation Australia (IDA) inilah, saya hadir bersama tak kurang dari 500 orang dari seluruh penjuru Australia, membicarakan sejumlah hal yang terkait dengan relasi antara Muslim dan non-Muslim di negeri ini, dan dalam konteks lebih luas relasi antar agama pada umumnya.

Sebelum mengikuti forum ini, saya hadir di salah satu roundtable-deliberations yang khusus diadakan untuk Muslim. Acara yang diberi nama Voices of Australian Muslims ini diadakan di setiap negara bagian (state), dan tentu saja saya mengikutinya di Perth. Acara yang diadakan di kampus University of Western Australia, 9 Pebruari lalu, ini juga diselenggarakan oleh IDA berkerja-sama dengan Center for Muslim States and Societies (CMSS). 60-an Muslim di WA hadir dalam acara ini, 10 di antaranya kemudian dipilih secara acak untuk mengikuti forum di Canberra itu. Saya turut terpilih di situ.

Tanggal 1 Maret saya berangkat ke Canberra, setelah istirahat 3 hari di rumah usai mengikuti Voices of Islam in Southeast Asia (VISEA) di Thailand. Ini kali pertama saya ke ibukota pemerintahan Australia ini. Canberra kota yang cantik dan teratur, namun sayang sehari sebelum saya tiba di kota ini, ada hujan es (hail) yang menyebabkan kerusakan di sana-sini dan membuat pemandangan jadi sedikit kurang indah.

Forum Australia Deliberates ini diadakan di Old Parliament House yang bersejarah, dan hingga tahun 1980-an masih digunakan sebagai tempat berkantor dan bersidangnya para wakil rakyat Australia. Gedung ini sangat besar, dengan dua ruang sidang besar dan puluhan ruang rapat kecil. Ruang-ruang ini memenuhi kebutuhan peserta yang selama tiga hari banyak berdiskusi dalam kelompok kecil membahas berbagai topik, untuk kemudian dibawa ke forum paripurna setiap hari.

Dalam setiap kelompok tentu ada yang Muslim, ada yang non-Muslim. Hal yang diperbincangkan dalam kelompok-kelompok kecil itu terutama dimaksudkan untuk memperlebar ruang pemahaman akan perbedaan yang ada dalam masyarakat Australia, dan bagaimana setiap orang bisa mensikapi perbedaan itu secara bijak. Misalnya, kami mendiskusikan topik tentang values. Selama ini media massa (dan pemerintah Australia juga) kadang mengkontraskan antara apa yang mereka sebut sebagai Australian values dan Islamic values. Dalam kelompok kecil itu kami melontarkan pertanyaan untuk dijawab bersama: benarkah kedua value itu berbeda dan memiliki kontras yang tak bisa dijembatani?

Untuk menjawab pertanyaan ini kami membuat rincian kandungan setiap value tersebut. Setelah rincian itu dibuat, kita bisa melihat bahwa kedua value itu tak memiliki kontras apapun. Ada kandungan keadilan, kejujuran, tolong-menolong, sedekah, menjaga lingkungan, dan seterusnya. Semuanya ada di kedua value. Nah, kontrasnya di mana? Diskusi kelompok kami akhirnya memandang bahwa kontras terdapat bukan dalam value, melainkan dalam life-style. Sudah jamak diketahui bahwa orang Australia itu senang sekali ber-pesta, dan di dalamnya tentu ada minum-minum. Jelas, gaya hidup seperti ini tak bisa dianggap selaras dengan panduan hidup seorang Muslim. Orang Australia juga sangat menikmati pantai mereka terutama di musim panas, untuk berenang dan berselancar. Namanya berenang di pantai, sudah pasti semua pakai bikini. Malah tak jarang para perempuan berjemur diri, dengan berbaring tengkurap bertelanjang dada. Di pantai nudis, urusan tentu lebih gawat dari itu. Semua ini berarti bahwa ada aturan tentang aurat yang terlanggar. Bagi kaum Muslim, ada keberatan untuk menselaraskan diri dengan hal itu.

Dari diskusi itu kita lalu bisa memahami bahwa perbedaan antara Muslim dan non-Muslim di Australia sebenarnya tak menyangkut hal mendasar. Tanpa perbincangan yang saling terbuka antara kedua elemen, makan prasangka akan tetap ada, sebagaimana anggapan bahwa Australian values tak cocok dengan Islamic values itu.

Bagi saya manfaat terbesar dari kehadiran di forum ini adalah menguatnya kesadaran bahwa dalam sebuah masyarakat majemuk (termasuk di Indonesia sudah barang tentu), perbedaan itu perlu diterima sebagai kewajaran. Tak bisa perbedaan itu ditutup-tutupi dan dianggap tak ada, namun tak seyogyanya juga perbedaan itu diperbesar akibat prasangka yang tak menemukan jawaban. Jika kita selalu bersedia untuk membincangkan perbedaan dengan kepala dingin, kita insya Allah akan mudah hidup secara sehat dalam perbedaan itu.

Ketika ditanya oleh fasilitator kelompok saya tentang kesan setelah hadir di forum ini, saya jawab, "It's really good to talk about the difference".

...baca selengkapnya